Music

4 MUSIK KLASIK EKSPERIMENTAL INI TERINSPIRASI DARI KISAH TRAGIS DALAM SEJARAH

Musik klasik eksperimental ini lebih dahsyat dari efek musik pada film horor. Lagunya mengaduk-aduk emosi. Sejarah kelam yang terangkum dalam karya musik ini adalah dedikasi untuk penyintas kekejaman zaman.

title

FROYONION.COM - Di antara macam-macam seni, bagi Schopenhauer musik adalah puncak dari estetika yang melebihi dari tulisan, lukisan, hingga patung. Musik dapat menjangkau emosi terdalam seseorang. Musik dapat memberikan kebahagiaan yang tak terkatakan. 

Ketika manusia berada di titik paling putus asa karena tak mampu mengendalikan kehendaknya, maka musik adalah kekuatan terakhir yang dapat direngkuh. Tak hanya itu, di sisi lain musik juga dapat memberikan ketakutan yang tak terlukiskan.

Musik tanpa lirik sekalipun bukan berarti ia tidak dapat diserap. Justru seseorang akan dapat terkoneksi dengan musik, meskipun tanpa alasan logis. 

Holocaust
Kamp konsentrasi holocaust Jerman. (Sumber: Ensiklopedia Holocaust)

Satu contoh, misal karya milik John Cage yang berjudul 4’33. Lagu itu dibuat dengan tanpa satu nada pun yang dihasilkan oleh penggubahnya dengan alat musik. Meskipun begitu, para penikmat musik banyak yang memberikan tepuk tangan untuknya. 

Dari situ dapat dibuktikan bahwa musik bukan hanya tentang melodi atau harmoni, tapi sebuah tekstur bahasa baru yang dihasilkan dari berbagai suara yang dapat merangkum emosi. Dalam film horror, musik adalah bagian yang sangat penting. 

Meskipun keberadaannya seakan diabaikan, tapi musik adalah yang utama dalam proses penyuntingan, sinematografi, hingga penentuan adegan. Misalnya melekatkan suara biola yang digesek dengan kasar pada adegan perempuan yang berteriak saat kesurupan, di saat itu juga mentransmisikan keadaan yang seolah-olah benar terjadi ke dalam otak.

Namun ada yang lebih menguras emosi dari soundtrack film horor yakni lagu-lagu yang dibuat dari kepingan-kepingan sejarah kelam umat manusia. Mulai dari karya-karya seniman Indonesia hingga seniman mancanegara. Beberapa seniman mancanegara menggambarkan peristiwa kelam itu pada karyanya dengan aliran musik noise hingga classical. Mulai dari holocaust hingga tragedi gedung WTC, Berikut adalah daftarnya.

1. LAGU TENTANG BOM HIROSHIMA 

Threnody to the Victims of Hiroshima
Ledakan bom yang diluncurkan Amerika Serikat ke kota Hiroshima. (Sumber: The History Channel)

Threnody to the Victims of Hiroshima” adalah lagu yang dibuat pada tahun 1960 oleh Krzysztof Penderecki, seorang komposer asal Polandia. 

Ia menyusun komposisi eksperimental noise yang mampu membangun jembatan emosi melalui musik yang didedikasikan bagi orang-orang yang terdampak dalam tragedi bom atom milik Amerika Serikat yang dijatuhkan di kota Hiroshima, Jepang, pada tanggal 6 Agustus 1945. 

Musik yang ia ciptakan berkaitan erat dengan ingatan masa kecilnya. Ia hidup di era holocaust dan berkecamuknya negara Soviet dalam menindas warga negaranya sendiri. 

Seperti halnya bom, musik yang ia buat menjebol pakem-pakem musik dan membawanya ke dimensi yang lebih luas. Orkestranya menghasilkan nada yang sama dengan pekikan penderitaan ribuan orang. 

2. INGATAN TRAGEDI SERANGAN GEDUNG WTC

9/11
Pesawat yang ditabrakkan ke gedung WTC. (Sumber: France 24)

Lagu bernuansa ambience ini diciptakan oleh Steve Reich, dengan judul “WTC 9//11”. Ia dedikasikan lagu ini untuk para korban peristiwa meledaknya dua gedung pencakar langit di Amerika Serikat, WTC, yang sengaja dihancurkan menggunakan pesawat terbang. 

Jumlah korban menyentuh nyaris 3 ribu jiwa. Tanggal kejadian ini diabadikan pada judul karya Reich, yakni 11 September 2001. Dalam karyanya, ia memasukkan rekaman telepon suara-suara orang panik, alarm darurat, laporan saluran radio, yang diiringi kuartet gesek seperti yang ada pada film-film horror. 

Di dalam komposisi musik juga dihadirkan doa-doa dari sinagog serta suara perempuan yang sedang ritual Shrima, sebuah tradisi orang Yahudi yang membacakan doa-doa untuk jasad sebelum dikuburkan.

Bagi yang mendengarkan, komposisinya secara keseluruhan membawa kita berada dalam situasi bahwa kita sedang berlarian panik di sekitaran gedung WTC sambil menengadah ke atas langit mengkhawatirkan gedung tinggi itu akan ambruk.

3. I NEVER SAW ANOTHER BUTTERFLY

I Never Saw Another Butterfly
Potret di Ghetto Theresienstandt. (Sumber: The Times of Israel)

Lagu berjudul “I Never Saw Another Butterfly” terinspirasi dari kamp kerja paksa dan pemusnahan (holocaust) orang-orang Yahudi oleh Nazi di Ghetto Theresienstadt, suatu tempat di utara Praha. Kamp itu didominasi anak-anak dan orang tua.

Dilaporkan bahwa dari 15 ribu orang di sana, yang selamat hanya 100 orang. Ini adalah kejahatan yang sangat luar biasa.  Puisi yang dibuat anak-anak di sana adalah inspirasi Charles Davidson pada karyanya. 

Nyanyian choir yang disajikan memiliki kekuatan emosi yang signifikan. Meskipun kita tidak berada di sana dan tidak mengalami langsung peristiwa itu, karya Charles Davidson ini mampu menyeret kita masuk dalam pusaran tragedy itu.

4. EVERYWHERE AT THE END OF TIME

Everywhere At The End Of Time
Salah satu sampul dari “Everywhere At The End Of Time”. (Sumber: Pitchfork.com)

“Everywhere At The End Of Time” adalah kisah enam babak pengalaman demensia karena penyakit Alzheimer. Penyakit ini menghancurkan memori dan mental manusia. Gejala-gejalanya terangkum dalam lagu berdurasi enam setengah jam itu. Lagu itu dirilis bertahap dari tahun 2016 hingga 2019. Penulisnya, Leyland James Kirby dengan nama panggung "The Caretaker".

musisi ini memulai karirnya karena terinspirasi karya film horor "The Shining". Karya-karya The Caretaker memang fokus utamanya di film horor. Namun tidak sekadar eksplorasi ketakutan, lebih lanjut mengeksplorasi kenangan dan kesedihan yang mendalam. 

Di dalam lagu ini, dapat dipotong menjadi 50 judul. Di bagian awal, nuansa yang dibawa adalah lagu-lagu jazz santai namun sekaligus membawa perasaan yang pahit. Lagunya dapat membuat pendengar mengingat kenangan-kenangan baik namun efek gema yang ada justru dapat membawa perasaan pahit yang mengobrak-abrik perasaan.

Berikutnya, lagu-lagu yang ditawarkan terdengar indah namun menakutkan. Pada bagian ini, efek gema yang statis perlahan mengambil alih suasana yang indah. Di tahap pertengahan lagu-lagunya mengandung distorsi yang cukup rumit untuk dicerna. 

Iramanya acak-acak, seakan menenggelamkan lalu seketika mengangkat dan kembali ditenggelamkan. Kenangan-kenangan yang disimpan akan terasa cukup sedih dan melelahkan.

Di tahap akhir, tak menyisakan musik jazz. Namun membawa pendengar di ruang pelamunan yang jika diteruskan kita akan sampai di ujung lagu dengan kehampaan total.

itulah empat karya paling pilu yang dibuat dari peristiwa-peristiwa kelam. Bukan untuk mengeksploitasi, namun itu adalah upaya untuk mengenang sejarah. Selain itu, mengacu pada pernyataan Schopenhauer, musik adalah kebenaran. Maka kebenaran sudah seharusnya ditampilkan tanpa tedeng aling-aling. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Ugik Endarto

Pegiat di Perpustakaan Jalanan Wahana Baca juga berkecimpung di Metallagi.com