Movies

SUZANNA, SETAN PEREMPUAN, DAN HASRAT BALAS DENDAM PEREMPUAN

Apakah perempuan harus menjadi setan dulu supaya mendapatkan keadilan?

title

FROYONION.COM - Kurang lebih itulah pesan yang saya dapatkan dari menonton film Suzanna Malam Jumat Kliwon (2023). Film yang dimainkan oleh Luna Maya ini adalah remake dari film tahun 1986 dengan judul sama yang dimainkan Suzzanna Martha Frederika van Osch.

Film-film horor zaman dulu (1980 – 1990-an) memang identik dengan perempuan jadi setan setelah mendapatkan ketidakadilan di dunia nyata. Selain film-film Suzanna, tentu kita akrab dengan sinetron Si Manis Jembatan Ancol  yang dulu diputar di RCTI. 

Kurang lebih sama, perempuan yang dianiaya di kehidupan nyata. Diperkosa, dibunuh, mati, saat sudah mati, jadi arwah penasaran dan menuntut balas.

Film sebagai bentuk dari media adalah refleksi budaya di masa tersebut. Atau juga sebagai alat propaganda, film juga bisa menjadi cara untuk penguasa menanamkan nilai-nilai ke masyarakat. Sedih sekali kalau perempuan harus mati dulu baru mendapatkan apa yang menjadi haknya.

Terlepas dari itu film Suzanna yang dimainkan Luna Maya kalau menurut saya bukan film horor, tetapi lebih kepada drama cinta. Sebab ini bermula dari kisah sepasang kekasih yang terhalang bersatu karena si perempuan harus terpaksa menikah dengan laki-laki tua kaya untuk membayar hutang ayahnya.

Kemudian, si perempuan disantet oleh istri pertama suaminya dan mati penasaran. Di akhir cerita, dendamnya terbalaskan karena dia membunuh orang-orang yang berbuat jahat ke dirinya. 

Again, saat menontonnya, bukannya takut, saya justru malah kasihan dengan karakter Suzanna di film ini. Kok jadi perempuan miris banget ya. Di dunia nyata menderita, lha sesudah mati pun hidupnya harus dirongrongi dengan balas dendam.

Saya tidak mengikuti secara serius horor di luar Indonesia, tapi sepengamatan saya, horor Asia memang didominasi hantu-hantu perempuan. Misalnya Nang Nak (1999), film hantu perempuan dari Thailand yang mengisahkan tentang perempuan yang meninggal setelah melahirkan kemudian menjadi arwah penasaran yang ingin tetap hidup bersama suaminya. 

Nang Nak sebenarnya tidak jahat, dia hanya ingin bersama suaminya, sampai kematian pun tidak dapat memisahkannya. Konon, Nang Nak berasal dari urban legend masyarakat Thailand. Mungkin sebelas dua belas dengan kuntilanak di Indonesia. 

Kemudian, di Jepang ada film The Ring (2002), lagi-lagi hantu perempuan fenomenal yang keluar dari televisi. Oh, ya tidak hanya di Asia, salah satu horor barat yang fenomenal The Exorcism of Emily Rose (2005) juga menggunakan karakter perempuan yang dirasuki oleh setan—terlepas dari film ini konon diangkat dari kisah nyata. 

Lebih jadul lagi, tahun 1968, ada film berjudul Rosemary’s Baby yang mengisahkan tentang perempuan yang dihamili iblis. Perempuan..perempuan…perempuan..kenapa harus selalu perempuan?

Sebenarnya kalau saya berasumsi dan ada juga beberapa penelitian yang pernah mengupas ini dari segi akademisi, representasi hantu dalam film tidak lepas dari budaya dan cerita rakyat yang beredar di tempat tersebut. Dominasi budaya patriarki juga turut menyumbang keberadaan hantu perempuan di negara-negara. 

Seperti kita ketahui patriarki tidak hanya terjadi di Indonesia dan negara Asia, tetapi juga di barat dan eropa sana. Ini yang membuat perempuan menjadi hantu lebih “seksi” ketimbang laki-laki menjadi hantu.

Perempuan sebagai gender yang dianggap sensitif sepertinya sesuai dengan imej hantu yang emosional, menakutkan, penuh kebencian, amarah, dan hal-hal negatif lainnya. Kondisi biologis dan alamiah perempuan seolah mendukung imej tersebut. 

Misalnya, menstruasi, kehamilan, dan melahirkan. Ini adalah fase-fase yang emosional buat perempuan. Emosional dari sisi hormon dan naluriahnya. Para movie maker menjadikan ini sebagai alasan kuat untuk mem-framing film-film horor yang pada akhirnya semakin mengukuhkan stigma-stigma tersebut pada tubuh perempuan. 

Mungkin ke depannya, ketika budaya kita tidak didominasi lagi dengan objektivitas terhadap perempuan dan tubuhnya, perspektif kita sudah lebih equal dan tidak memandang salah satu gender sebagai komoditi yang lebih menjual ketimbang lainnya, jenis hantu di perfilman Indonesia bisa lebih beragam. Karena kan, soal sakit hati tidak hanya dirasakan kaum perempuan ya, laki-laki juga bisa sakit hati. Laki-laki juga mau balas dendam. Laki-laki juga bisa jadi setan. Kenapa masih jarang setan laki-laki? Mungkin ini bisa dipikirkan para movie maker. Siapa tahu ke depannya ada Laki-Laki Dari Tanah Jahanam? (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Ester Pandiangan

Penulis buku "Maaf, Orgasme Bukan Hanya Urusan Kelamin (2022)". Tertarik dengan isu-isu seputar seksualitas.