Movies

SQUID GAME 2: SEBUAH REFLEKSI DISTOPIA DARI SISI GELAP KAPITALISME

Seperti di musim pertamanya, Squid Game 2 masih setia menyelipkan kritik terhadap sisi gelap kapitalisme yang membawa dampak dehumanisasi, hingga matinya kemanusiaan. Simak lengkapnya!

title

FROYONION.COM - Pada tahun 2021 lalu, series Squid Game berhasil menarik minat penonton dan dalam waktu singkat menjadi salah satu series paling populer. 

Meski Hwang Dong-hyuk, selaku kreator series tersebut, sempat tidak yakin akan melanjutkannya. Pada akhirnya menjelang tutup tahun 2024 lalu, Squid Game 2 resmi dirilis dengan total 7 episode saja.

(Sumber: Netflix)

Sebetulnya, jika dibandingkan series lainnya yang mengambil konsep serupa, game kematian yang ditawarkan Squid Game masih kalah seru dan menantang.

Misalnya, apabila diadu dengan game kematian ala kartu remi dari Alice In Borderland, jelas game kematian ala permainan anak-anak dari Squid Game berada satu level di bawahnya. Namun daya tarik utama Squid Game memang bukan berada di konsep permainannya. 

Melainkan dari makna implisit yang bersembunyi di balik serangkaian metafora yang terasa relate dengan kebanyakan kelas menengah bawah. Tak hanya di Korea Selatan saja, namun di banyak negara.

Serangkaian metafora yang ditebar sepanjang alur cerita tersebut, mencerminkan kritik terhadap banyak hal. Mulai dari kapitalisme, dehumanisasi, memudarnya kemanusiaan, hingga isu ketimpangan sosial dan ekonomi.

Bahkan sepertinya, akan ada banyak lagi isu kemanusiaan yang bakal diangkat di Squid Game 3 nantinya.

POTRET ISU SOSIAL DAN EKONOMI DI KORSEL

(Sumber: Netflix)

Di tengah gemerlap industri hiburan yang bersinar lewat Kpop dan Kdrama, Korea Selatan ternyata menyimpan sisi gelap terkait isu sosial dan ekonomi warganya.

Walaupun dianggap sebagai salah satu negara yang maju, kenyataannya kemakmuran Korea Selatan ternyata tidak dirasakan secara merata oleh semua lapisan masyarakat.

Kelas menengah-bawah negara tersebut, merasakan tekanan tinggi akibat biaya hidup yang mencekik, harga rumah yang tidak terjangkau, hingga berbagai persoalan lainnya.

Masalah tersebut membuat masyarakat kelas menengah-bawah mereka terjerat utang guna menutupi kebutuhan untuk bisa bertahan hidup. 

Hal inilah yang kemudian menjadikan Korea Selatan menjadi negara dengan rasio utang rumah tangga tertinggi, seperti yang diungkap dalam laman BNN Bloomberg.

Meski bank sudah membatasi kredit, namun masyarakat kelas menengah-bawah mereka justru beralih pada pinjaman rentenir dengan bunga tinggi.

Dalam Squid Game, keinginan untuk melunasi utang yang besar pada rentenir, menjadi salah satu motif para peserta bergabung dalam permainan.

Namun bukan utang rumah tangga saja saja yang menjadi alasan, melainkan juga “perjudian” dalam investasi kripto dan sebangsanya juga menjadi alasan orang-orang ini berutang.

Sebagaimana kita tahu, Thanos dkk. punya utang yang membengkak karena tergiur keuntungan instan yang ditawarkan kripto namun berujung boncos. 

Fenomena tersebut tentunya relate di kalangan anak muda. Tak hanya di Korea Selatan tetapi juga di Indonesia.

(Sumber: Netflix)

Selain karena utang rumah tangga dan tergiur investasi, alasan lain yang membuat orang-orang ini bergabung dalam permainan juga didorong karena adanya masalah  dengan pelayanan kesehatan di Korea Selatan.

Menurut laporan dari laman The Lancet, sistem layanan kesehatan di Korea Selatan sedang dalam krisis. Mulai dari kesulitan finansial yang dihadapi rumah sakit hingga banyaknya dokter muda yang mengundurkan diri.

Masalah ini membuat mereka yang membutuhkan perawatan maupun tindakan operasi khusus, jadi terhambat.

Isu tersebut terhubung dengan masalah yang dihadapi Front Man yang sebelumnya pernah ikut game kematian tersebut demi membiayai operasi istrinya.

Bahkan lebih luas lagi, motif karakter lainnya yang bergabung karena utang judi, melunasi biaya operasi gender, hingga kehamilan di luar nikah, juga ikut menampilkan keterdesakan yang dibawa setiap peserta game.

Dalam situasi itulah, para elit menjanjikan kemenangan besar yang bisa menjadi jalan keluar bagi masalah finansial yang mereka hadapi.

Meskipun untuk mendapatkannya mereka harus saling bersaing dan menanggung segala risiko yang menunggu.

ILUSI PILIHAN

Dilansir dari laman The Conversation, seorang kolumnis bernama Dirk Matten mencoba mengupas kritik yang diselipkan dalam Squid Game 2.

Matten menyebut, bahwa serial tersebut berusaha menyorot sistem kapitalis yang dibangun atas dasar persaingan yang sebetulnya tak bisa dimenangkan oleh siapapun.

Mereka yang terlibat dalam persaingan itu adalah orang-orang yang tertarik ke dalamnya karena janji kemenangan besar. 

Mereka menganggap itu bisa mengubah hidup mereka menjadi jauh lebih baik. Dan tentunya menghapus utang mereka.

Meskipun pada akhirnya, persaingan itu justru lebih banyak mengakibatkan kerugian dan membuat mereka saling menghancurkan satu sama lain.

Gambaran ini ditampilkan lewat aturan permainan dalam Squid Game. Para peserta yang gagal menuntaskan permainan, akan tereliminasi. 

Mereka yang telah tewas dan tersingkir, memberi keuntungan bagi peserta yang bertahan lewat uang yang dijatuhkan dalam celengan babi.

(Sumber: Netflix)

Hal tersebut menunjukkan, bagaimana kapitalis menggunakan iming-iming besar untuk mengeksploitasi kerentanan manusia, yaitu naluri bertahan hidup.

Sehingga meski tampak sebagai pilihan sukarela, sebetulnya para peserta bergabung dalam permainan karena dipaksa oleh keadaan yang menjerat mereka.

Ketimpangan sosial yang semakin lebar dan himpitan ekonomi yang, diciptakan dan dilanggengkan oleh kapitalis adalah penggerak bagi orang-orang untuk saling “memakan” satu sama lain.

Didesak keinginan untuk bertahan hidup, harapan sekecil apa pun bisa dianggap menjadi pilihan yang masuk akal. Bahkan apa yang semula hanya untuk mempertahankan hidup, justru berubah menjadi keserakahan karena akhirnya setiap orang selalu menginginkan lebih.

Ingat, bagaimana kesalnya Salesman (Gong Yoo) ketika orang-orang memilih keuntungan besar dengan peluang kecil (lotre), dibandingkan pilihan sebaliknya (roti) di episode pertama Squid Game 2.

Tak heran ketika Gi-hun berusaha mengubah keputusan peserta yang tersisa untuk menghentikan permainan, banyak yang kemudian menolaknya.

Keputusan yang sama diambilnya dalam Squid Game season 1. Setelah dipulangkan, Gi-hun dan peserta lainnya justru kembali ke permainan.

Kenyataanya, tekanan yang mereka hadapi dalam realitas kehidupan mereka, jauh lebih “mematikan” ketimbang join dalam permainan hidup-mati bikinan para VIP.

DEHUMANISASI DAN MATINYA KEMANUSIAAN DEMI KEUNTUNGAN PRIBADI

Melalui ketimpangan sosial dan himpitan ekonomi, para pemilik modal mengubah orang-orang menjadi aset (dehumanisasi) yang dapat mereka manfaatkan demi keuntungan pribadi.

Bergabungnya para peserta dalam game hidup-mati dengan mengorbankan diri sendiri, orang lain bahkan kemanusiaan; menjadi metafora sempurna yang menggambarkan bagaimana orang-orang memilih ikut dalam sistem ekonomi kapitalisme, dengan risiko yang sama.

Dengan janji kesuksesan besar yang hanya bisa diraih seorang pemenang, mendorong orang lain mementingkan keuntungan pribadi jauh di atas kepentingan bersama atau semangat solidaritas.

Inilah yang kemudian membuat semua peserta, baik di Squid Game 1 maupun Squid Game 2 lebih memilih menyelamatkan diri sendiri, ketika mereka dihadapkan dilema antara menyelamatkan nyawa sendiri atau menyelamatkan kemanusiaan mereka.

Kita bisa melihatnya saat Gi-hun mengorbankan peserta 001 dalam game kelereng di Squid Game 1 meski itu bertentangan dengan nuraninya.

(Sumber: Netflix)

Jangan lupakan juga perpisahan menyesakkan dan menyedihkan dengan Ali karena ditipu oleh Cho Sang-woo. Bahkan karakter Ali mencontohkan bagaimana nasib menjadi satu-satunya orang yang menjunjung solidaritas dalam sistem ekonomi kapitalis yang memuja individualitas.

Di Squid Game 2, kita mendapatkannya dari anak yang tega mengorbankan ibunya dalam game komedi putar.

(Sumber: Netflix)

Pada akhirnya, keegoisan menjadi watak kita dalam sistem ekonomi kapitalis. Jika hal tersebut dibiarkan tanpa kontrol, manusia akan menganggap bahwa menghancurkan orang lain demi keuntungan pribadi adalah hal yang wajar belaka.

Bahkan, jika itu kemudian membawa seseorang menjadi satu-satunya pemenang, yang tersisa setelahnya hanya perasaan hampa dan kosong, seperti kemenangan peserta 456 di Squid Game 1.

Di lain sisi, di atas sana, para elit kapitalis merayakan hancurnya kemanusiaan di dunia distopia yang mereka bangun untuk menjebak orang-orang di bawahnya. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Shofyan Kurniawan

Shofyan Kurniawan. Arek Suroboyo. Penggemar filmnya Quentin Tarantino. Bisa dihubungi di IG: @shofyankurniawan