Tak hanya menghibur, film Sewu Dino juga memberikan pengalaman baru dengan perubahan karakter dan plot yang berbeda dari novelnya. Simak ulasan berikut, jika kalian ingin mendapatkan spoilernya sebelum menonton!
FROYONION.COM - Sewu Dino adalah film horor Indonesia yang tayang pada masa lebaran bulan April 2023. Film ini merupakan spin off dari film KKN di Desa Penari yang juga diadaptasi dari thread twitter karya SimpleMan. Film ini disutradarai oleh Kimo Stamboel yang dikenal sebagai salah satu sutradara horor terbaik di Indonesia.
Film ini bercerita tentang Sri (Mikha Tambayong), seorang gadis miskin yang harus bekerja keras untuk menghidupi ayahnya yang sakit-sakitan. Suatu hari, ia mendapat tawaran pekerjaan sebagai pembantu di rumah keluarga Atmojo yang kaya raya. Sri berharap bisa mendapat gaji besar untuk membayar biaya pengobatan ayahnya.
Namun, ternyata pekerjaan Sri bukanlah sebagai pembantu biasa. Ia harus melakukan ritual basuh sudo untuk Della (Gisellma Firmansyah), cucu keluarga Atmojo yang terkena santet selama 1.000 hari atau Sewu Dino. Della dikutuk oleh Sengarturih, roh jahat yang menghantui desa tempat ia tinggal.
Sri bersama dua pembantu lainnya, Erna (Agla Artalidia) dan Dini (Marthino Lio), harus tinggal di sebuah rumah terpencil dan mengurus Della yang kerap berubah menjadi ganas dan menyerang mereka. Mereka harus bertahan hidup dari teror Della dan Sengarturih hingga ritual basuh sudo selesai.
Film Sewu Dino menawarkan horor yang berbeda dari film-film horor Indonesia lainnya. Film ini tidak mengandalkan jumpscare atau efek suara yang mengejutkan untuk membuat penonton merinding. Film ini lebih mengandalkan atmosfer dan mood yang gelap dan suram untuk menciptakan ketegangan.
Film ini juga berhasil membangun karakter-karakternya dengan baik. Sri adalah tokoh utama yang mudah disukai karena ia memiliki motivasi yang kuat dan relatable. Ia juga memiliki perkembangan karakter yang menarik sepanjang film. Della adalah tokoh antagonis yang mengerikan karena ia tidak bisa dikendalikan dan tidak bisa diprediksi. Ia juga memiliki latar belakang yang tragis dan membuat penonton merasa kasihan padanya.
Namun, film ini juga memiliki beberapa kekurangan yang membuatnya tidak sempurna. Salah satunya adalah film ini kurang memberikan penjelasan tentang asal-usul Sengarturih dan alasan mengapa ia mengutuk Della.
Selain itu, film ini juga memiliki ending yang kurang memuaskan dan menyisakan beberapa pertanyaan. Film ini tidak menjelaskan apa yang terjadi dengan Sri dan keluarganya setelah ritual basuh sudo selesai. Secara keseluruhan, film Sewu Dino adalah film horor Indonesia yang layak ditonton bagi para pecinta genre horor.
KARAKTER DAN PLOT YANG BERBEDA DARI NOVEL
Sewu Dino merupakan sebuah film horor Indonesia yang baru dirilis dan masih menjadi topik hangat di kalangan penggemar film horor. Namun, ada satu karakter yang menjadi sorotan karena tampilannya yang berbeda dengan deskripsi dalam novel yaitu Karsa Atmojo.
Dalam novel Sewu Dino, Karsa Atmojo digambarkan sebagai seorang wanita yang anggun dan kharismatik dengan mengenakan kebaya dan sanggul serta kacamata tebal. Namun, dalam versi film Karina Suwandi yang memerankan karakter Karsa Atmojo tampil dengan wajah borok dan kehilangan sisi anggun dan karismatiknya. Hal ini mengecewakan para penggemar novel yang merasa bahwa karakter Karsa Atmojo tidak diwakili dengan baik dalam film.
Meskipun demikian, ada juga karakter lain dalam film yang cukup sesuai dengan karakternya seperti Sabdo Kuncoro yang diperankan oleh Marthino Lio dan Della Atmojo yang diperankan oleh Gisellma Firmansyah.
Selain itu, ada beberapa momen penting dan karakter yang dihilangkan dalam film, seperti plot tentang Erna yang berusaha membunuh Sri dengan cara memanggil Sengarturih dan plot tentang upacara 1000 hari yang seharusnya dilakukan di Rumah Joglo, tempat kelahiran Della Atmojo akan tetapi dilakukan di sebuah rumah ditengah hutan.
Ketika menonton Sewu Dino, penonton juga merasa bahwa Mbah Tamin tidak digambarkan dengan baik dalam film. Padahal, Mbah Tamin adalah sosok penting dalam novel karena dia adalah tangan kanan Karsa Atmojo yang mengantarkan rahasia-rahasia penting mengenai keluarga Atmojo dan santet Sewu Dino.
Namun, dalam film, Mbah Tamin diperlakukan seperti karakter yang tidak penting dan hanya muncul di awal dan akhir cerita saja. Hal ini membuat kengerian dari santet 1000 hari terasa kurang maksimal karena karakter Mbah Tamin yang penting dalam cerita justru dihilangkan dari film.
Perubahan alur seperti ini memang sudah biasa dilakukan oleh MD Pictures dalam adaptasi film, namun banyak yang merasa bahwa skenario yang ditulis oleh Agasyah Karim dan Khalid Kashogi kurang berhasil dalam menyajikan cerita yang sesuai. Bahkan, adegan akhir antara Sri dan Sabdo Kuncoro dianggap kurang memuaskan dibandingkan dengan versi novel yang lebih menegangkan dan mengerikan.
Meskipun Sewu Dino adalah sebuah film yang menarik untuk ditonton, namun penggambaran karakter dan plot dalam film ini masih perlu diperbaiki agar lebih sesuai dengan deskripsi dalam novel dan dapat memuaskan penggemar film dan novelnya.
Kritik terhadap film Sewu Dino ini dapat menjadi pelajaran bagi produsen film dan penulis skenario di Indonesia untuk lebih memperhatikan pengadaptasian karya sastra menjadi film. Terutama dalam menjaga keaslian karakter dan alur cerita agar tidak menghilangkan momen penting dan mengecewakan para penonton yang telah memahami dan mencintai karya aslinya. (*/)