Movies

SERIAL PEAKY BLINDERS: CERITA TENTANG TRAUMA PERANG DAN GLORIFIKASI KEJAHATAN

Serial ‘Peaky Blinders’ menggambarkan bahwa perang berikan gangguan stres pascatrauma (PTSD) kepada para korban. Termasuk trauma perang yang dialami oleh Tommy Shelby.

title

FROYONION.COM - Salah satu adegan terbaik dalam serial Netflix Peaky Blinders terjadi menjelang akhir musim keempat. 

Setelah berhasil meloloskan diri dari kejaran mafia New York, Tommy Shelby, tokoh utama yang diperankan dengan brilian oleh Cillian Murphy, memutuskan untuk berlibur dan menghabiskan waktunya bermain golf di tanah miliknya. 

Namun, liburan tersebut tidak berlangsung lama. Tommy, seorang gangster yang telah bertransformasi menjadi pebisnis semi-legal, segera merasa bosan dan melempar tongkat golfnya. 

Aksi ini awalnya terlihat sebagai lelucon ringan, hingga suara tembakan memaksanya mencari perlindungan. Ternyata, itu hanyalah suara pemburu lokal yang mengejar buruannya.

BACA JUGA: APAKAH TOKOH THOMAS SHELBY DAN ORMAS ‘PEAKY BLINDERS’ BETULAN ADA?

Sekilas, Peaky Blinders, yang menutup perjalanannya selama sembilan tahun pada Juni 2022, adalah kisah kejahatan keluarga Shelby yang berbasis di Birmingham. 

Namun, di balik cerita kriminalnya, serial ini mempunyai makna yang lebih dalam, mengungkap bagaimana para anggota keluarga Shelby menghadapi trauma yang mereka bawa pulang dari medan perang Eropa setelah Perang Dunia I.

TRAUMA PERANG DAN PTSD DI PEAKY BLINDERS

Perang Dunia I meninggalkan luka mendalam bagi mereka yang terlibat. 

Matt Allen, penulis panduan resmi serial ini, By Order of the Peaky Blinders, menulis, “Laki-laki (yang sebenarnya masih anak-anak) dikirim ke medan perang dalam kondisi yang paling brutal. Ketika mereka kembali ke Inggris, mereka tidak mampu melepaskan pengalaman tersebut.” 

Di rumah, mereka menghadapi gejala seperti ledakan emosi, serangan panik, depresi, mimpi buruk, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD) lainnya. Gejala PTSD tergambar dengan jelas pada karakter Tommy Shelby. 

Reaksinya terhadap suara tembakan pemburu, yang dianggapnya sebagai serangan musuh, adalah contoh textbook dari PTSD. 

Trauma perang membuat Tommy selalu waspada dan sangat sensitif terhadap rangsangan yang mengingatkannya pada pengalaman traumatisnya.

Namun, gejala PTSD dalam Peaky Blinders tidak hanya sebatas itu. Ada nuansa lain yang juga mencerminkan penyakit ini. 

Sebagai contoh, Arthur Shelby, kakak Tommy, secara tidak sengaja membunuh lawannya dalam pertandingan tinju. 

Atau saat Tommy melempar tongkat golfnya, yang bisa ditafsirkan sebagai ketidakmampuannya untuk benar-benar bersantai dan berdamai dengan dirinya sendiri.

BACA JUGA: ALASAN FILM ‘1 KAKAK 7 PONAKAN’ TIDAK MENAYANGKAN VIDEO REAKSI PENONTON

KEMARAHAN YANG TERPENDAM

Selama bertahun-tahun di medan perang Prancis, Tommy membangun cara pandang terhadap dunia yang sepenuhnya dibentuk oleh perang. 

Pandangan ini memengaruhi setiap aspek kehidupannya setelah perang, mulai dari keputusannya terjun ke dunia kriminal hingga caranya berpolitik. 

Dalam musim ketiga, Tommy berkata, “Satu-satunya cara untuk menjamin perdamaian adalah dengan membuat kemungkinan perang menjadi tidak mungkin.”

Steven Knight, pencipta Peaky Blinders, sejak awal ingin menjadikan PTSD sebagai salah satu tema utama serial ini. Pengalaman Knight dengan PTSD bersifat profesional sekaligus personal. 

Saat menulis film Hummingbird, Knight berkonsultasi dengan para veteran perang Afghanistan mengenai pengalaman mereka menghadapi PTSD dan reintegrasi ke masyarakat. 

Selain itu, kisah-kisah yang diceritakan pamannya, seorang veteran Perang Dunia I, turut memengaruhi visinya. 

Salah satu kisahnya menggambarkan perkelahian brutal antara dua pria yang tak lagi memiliki batasan moral, akibat trauma dan kemarahan yang mereka bawa dari medan perang.

STIGMA TERHADAP PTSD DAN REALITAS SEJARAH

Dalam serial ini, anggota keluarga Shelby tidak pernah mendapatkan bantuan psikologis yang mereka butuhkan. 

Sebagai gantinya, mereka beralih pada alkohol, narkoba, dan bentuk pelarian lainnya yang hanya memberikan kelegaan sementara tetapi memperburuk gejala PTSD dalam jangka panjang. 

Realitas ini mencerminkan keadaan nyata di masa itu. Pada periode antara dua perang dunia, PTSD yang saat itu dikenal sebagai shellshock masih dianggap sebagai fenomena baru dan misterius. 

Para prajurit yang menunjukkan gejala PTSD sering kali diejek, bukan diobati, karena dianggap tidak cukup tangguh untuk menghadapi kengerian perang. 

Budaya maskulinitas yang hiper, baik di militer maupun masyarakat luas, membuat PTSD dianggap sebagai tanda kelemahan. 

Persepsi ini memperburuk kondisi para veteran, termasuk tokoh-tokoh dalam Peaky Blinders. Mereka terus hidup dengan kemarahan yang membara di dalam diri, tanpa jalan keluar yang sehat.

BACA JUGA: BEGINI CARA SERIAL ‘BLACK MIRROR’ MEMPREDIKSI MASA DEPAN

Meskipun mendapat pujian dari kritikus dan penonton, Peaky Blinders tidak luput dari kritik. Salah satu kritiknya adalah penggambaran kejahatan yang dianggap terlalu glamor. 

Tokoh Tommy Shelby, dengan karismanya, dikhawatirkan oleh beberapa pihak menjadi contoh buruk bagi penonton muda. 

Namun, bagi banyak penonton yang lebih mendalam, penderitaan fisik dan mental yang dialami Tommy justru menjadi peringatan akan bahaya dunia kriminal dan dampak psikologis dari perang.

PTSD adalah kondisi kronis yang tidak pernah sepenuhnya sembuh. Hal ini tercermin dalam struktur cerita Peaky Blinders yang dimulai dari akhir Perang Dunia I hingga awal Perang Dunia II. 

Ide dasarnya adalah bahwa luka yang tidak terselesaikan dari satu konflik dapat memicu bencana yang lebih besar di masa depan. 

Dalam kisah Peaky Blinders, trauma perang tidak hanya membentuk karakter-karakter utamanya tetapi juga menjadi cerminan bagaimana manusia berjuang menghadapi bayang-bayang masa lalu mereka. 

Serial Peaky Blinders, dengan segala kompleksitasnya, menjadi pengingat akan dampak perang yang berkepanjangan pada individu maupun masyarakat. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Muhammad Nur Faizi

Reporter LPM Metamorfosa dan menjadi Junior editor di Berita Sleman.