Sekawan Limo adalah film horor komedi yang memakai bahasa Jawa Timuran. Selipan jokes di dalamnya tak jarang bikin penonton bernostalgia pada jokes ala-ala kesenian ludruk.
FROYONION.COM - Sekawan Limo bukanlah satu-satunya film yang berusaha mengawinkan genre horor dengan komedi, dua genre yang sepenuhnya bertentangan.
Berbulan-bulan lalu, misalnya, kita punya film Agak Laen yang juga mengusung genre sejenis.
Lebih jauh ke belakang, kita punya film-film horor dan mistis dari Suzanna yang kerap menyelipkan adegan komikal nan mengocok perut.
Misalnya lewat tingkah konyol Bang Bokir menghadapi gangguan hantu. Dan jangan lupakan, adegan ikonik makan sate 200 tusuk dan menenggak kuah soto yang mendidih.
BACA JUGA: FILM DOKUMENTER ‘ALL ACCESS TO ROSSA 25 SHINING YEARS’ AKAN TAYANG PADA 1 AGUSTUS
Menyeberang ke Thailand, kita mungkin akan menyebut Pee Mak sebagai film horor komedi yang memimpin dalam barisan ini.
Dan sejujurnya, cerita dalam Sekawan Limo soal pendakian lima orang amatir yang ternyata salah satunya adalah hantu, memang agak bikin kita bernostalgia pada film Pee Mak.
Namun, Sekawan Limo menawarkan banyak hal pada penonton sebagai jualannya. Bukan sekadar tingkah konyol tokoh-tokohnya saat berhadapan dengan hantu (bahkan joke model begini cukup minim).
Ibarat sebuah etalase, di film ini tersaji bahasa Jawa Timuran yang nyaris mengisi keseluruhan dialognya beserta joke dan guyonannya, tebak-tebakan yang berujung plot twist, pesan moral yang sentimentil hingga ruh dari kesenian ludruk.
Bisa dibilang cerita dalam Sekawan Limo terbilang cukup sederhana dan ringan, seperti kebanyakan film komedi lainnya.
Meski punya plot twist di akhir, alur ceritanya tidak njelimet apalagi rumit. Begitu juga dengan isian materinya yang tema bahasannya tidak kelewat berat. Menonton film ini seperti mengendarai mobil di jalan tol: mulus dan tak butuh banyak mikir.
Sementara itu sebagian besar cerita horor yang disajikan merupakan jahitan dari kisah-kisah horor soal pendakian di gunung yang sudah banyak tersebar di media sosial.
Misalnya seperti mitos soal pantangan menoleh ke belakang hingga kisah disesatkan oleh hantu penunggu gunung.
Yang akhirnya membuat film ini menjadi penuh dan mampu bertahan hingga nyaris dua jam adalah joke Jawa Timuran antar tokohnya. Guyonan (candaan) yang rasanya bakal relate dengan mereka yang biasa cangkruk (nongkrong) di warung kopi.
Setidaknya ada tiga tokoh yang menopang kelucuan dan komedi dalam film ini yaitu: Dicky, Bagas, dan Juna. Mengingat ketiga pemerannya punya background sebagai komedian, bagi yang mengerti dengan bahasa Jawa Timuran, joke yang mereka sampaikan sangat menggelitik.
Hal inilah yang bikin penulis yakin bahwa suatu joke yang lucu akan berhasil jika disampaikan dengan cara yang juga lucu. Itu bekerja di film Agak Laen dan kembali berhasil di film Sekawan Limo ini.
Berkat isian joke yang begitu melimpah, setiap scene bisa memicu tawa dari penonton. Namun bagi sebagian orang, peralihan suasana dari horor ke komedi yang berulang ini, mungkin bakal kerasa mengganggu.
Barangkali inilah kelemahan dari Sekawan Limo. Tidak seperti Agak Laen yang memberi sekat yang jelas antara scene horor dan komedinya, joke di Sekawan Limo bisa muncul seenak jidat bahkan di adegan menegangkan.
Hal ini cukup menahan atmosfer horornya untuk mewabah ke benak penonton. Mereka yang mungkin sebelumnya bersiap untuk takut duluan, mendadak dimentahkan kembali oleh sisipan joke.
Bagi para sinefil yang rajin menonton film, Sekawan Limo jelas bukanlah sajian yang istimewa. Ceritanya cenderung medioker dan ala kadarnya, treatment dramanya masih kurang, banyaknya ejekan body shaming bahkan endingnya terkesan buru-buru.
Namun, bagi orang Jawa Timuran, terlebih mereka yang pernah bersinggungan dengan ludruk, Sekawan Limo adalah sajian yang indah dan bikin terharu.
Setidaknya kesan itulah yang penulis dapatkan dari film ini, sebagai orang yang masa kecilnya pernah dicekoki ludruk era Kartolo CS dan Kirun yang disiarkan di teve maupun radio.
Meski tak ada kidung (nyanyian Jawa) yang kerap dijadikan monolog pembuka sebelum menu utama ludruk ditampilkan, Sekawan Limo punya joke dan guyonan yang begitu khas dengan ludruk.
Seperti misalnya, selipan joke dari Bayu Skak yang alih-alih menyebut: “Sedia payung sebelum hujan.” justru mengatakan: “Sedia garasi sebelum beli mobil, supaya nggak menyusahkan tetangga.”
Guyonan ini betulan relate dengan keseharian warga kampung seperti di Surabaya, yang kerap menemukan tetangganya memarkir mobil di gang seenak jidatnya.
Selain itu tak jarang, trio komedi di sini (Bayu Skak, Firza, dan Benidictus) saling bertukar joke satu sama lain. Sepanjang film, ketiganya saling ledek, saling ejek dengan candaan yang memel (keterlaluan) bahkan banyak yang mengarah ke perundungan fisik, utamanya pada Juna.
Namun mendengarkan kelakar yang mereka lemparkan kadang membuat penonton kagum karena beberapa cukup mind blowing dan jarang kepikiran sama orang lain.
Misalnya, seperti bagaimana kealpaan Juna yang tidur tanpa menutup tenda, bisa dikaitkan dengan kemasukan pejabat blusukan. Atau saat mereka berkomentar soal tahi milik Juna yang merupakan tanda kalau mereka tersesat di gunung.
Semua joke yang tersaji di film ini seperti mengambil inspirasinya dari ludruk. Meski sebetulnya, joke itu juga bisa saja ditemukan di cangkrukan (tongkrongan).
Tapi memang begitulah tujuan ludruk. Ia mewartakan candaan seru ala tongkrongan kepada publik yang mungkin tak seberuntung kita yang diberkahi teman-teman yang asyik.
Hal inilah yang kemudian membuat treatment drama, development karakter hingga plotnya tak terlalu ‘wah’. Sama seperti di ludruk yang tak terlalu fokus pada penceritaan dan cenderung terkesan ‘pokoknya ada ceritanya’.
Cerita di Sekawan Limo hanya berfungsi sebagai kendaraan yang mengantarkan jokes Jawa Timuran yang luar biasa ngawur itu. Bahkan rasanya sulit mendapat hitungan pasti berapa kali tokoh Dicky misuh karena saking seringnya.
Mungkin ini terkesan kepedean, tapi jujur saja rasanya Sekawan Limo dibuat untuk mereka yang ngerti bahasa Jawa. Bahkan tak hanya ngerti bahasanya melainkan mengenal culture dan akrab dengan kebiasaannya.
Jika tak percaya coba saja nonton film ini hanya bermodalkan subtitle. Kurang lucu dan hanya bikin senyum-senyum doang? Loh, kan! (*/)