Movies

REVIEW ‘RED ONE’: UPAYA MENDAMAIKAN INNER CHILD LEWAT MISI PENYELAMATAN NATAL

Warner Bros baru saja merilis film libur Natal dan Tahun Baru berjudul ‘Red One’. Film yang dibintangi Dwayne Johnson dan Chris Evans ini punya world building yang menarik. Berikut review lengkapnya!

title

FROYONION.COM - Entah apa alasannya, Warner Bros akhirnya melepas film libur Natal dan Tahun Baru, berjudul Red One di awal bulan November ini.

Layaknya film berlabel blockbuster lainnya, film ini adalah sebuah mega proyek dengan budget tak main-main. Bukan hanya karena CGI-nya yang mewah, melainkan juga karena hadirnya deretan bintang besar di sana.

POSTER FILM RED ONE
(Sumber: IMDb.com)

BACA JUGA: 8 REKOMENDASI TAYANGAN BARU NETFLIX BULAN NOVEMBER, ADA FILM IPAR ADALAH MAUT!

Duet Dwayne Johnson dan Chris Evans hanyalah salah satunya. Selain mereka, film yang diarahkan oleh Jake Kasdan (Jumanji 2017 dan 2019) juga menghadirkan Kiernan Shipka, Lucy Liu bahkan J.K. Simmons.

Tak heran jika modal produksi film ini menggembung hingga mencapai USD 250 juta. Belum termasuk biaya marketing dan semacamnya yang kemungkinan membutuhkan USD 500 juta agar bisa impas.

Meski hadir dengan segudang kemegahan, film ini gagal menuai pujian dari para reviewer dan kritikus. Bahkan film ini mendapat skor memprihatinkan di Rotten Tomatoes.

Namun setelah menontonnya, ternyata film tersebut tak seburuk reputasinya sejauh ini. Berikut review film Red One secara lengkapnya!

SINOPSIS RED ONE

POSTER RED ONE
(Sumber: IMDb.com)

Punya trailer yang bikin takjub, dengan aksi melimpah, film Red One justru memulai menit awalnya lewat scene yang relatif tenang.

Penonton disuguhi dengan masa kecil dari Jack O’Melley (Chris Evans) yang merayakan Natal tanpa sosok ayah di sampingnya.

Absennya figur ayah mengubah Jack menjadi Anak Nakal Stadium Empat alias superbandel yang bahkan tak lagi peduli soal Natal maupun Sinterklas.

Usai scene singkat yang terasa sentimental, scene beralih ke cerita sesungguhnya. 

Karena ulah Jack yang sukses membobol sistem keamanan dengan caranya sendiri, lokasi Sinterklas (J.K. Simmons) yang tersembunyi akhirnya diketahui oleh musuh-musuhnya.

BACA JUGA: REVIEW ‘ONE PIECE FAN LETTER’: SEMESTA ONE PIECE DI MATA ORANG BIASA

Penculikan terhadap Sinterklas pun terjadi dan anak-anak baik di seluruh dunia terancam batal mendapatkan hadiah Natal.

Untuk menyelamatkan Natal, Callum Drift (Dwayne Johnson) alias Komandan E.L.F. bersama Jack yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya, berusaha membebaskan Sinterklas.

Berhasilkah kombinasi maut keduanya menyelamatkan Natal?

FILM DENGAN WORLD BUILDING YANG EPIC 

SINOPSIS FILM RED ONE
(Sumber: IMDb.com)

Suatu hari, penulis pernah melihat sekilas sebuah cuplikan dari interview yang tengah membahas bagus-tidaknya film kucing oyen Garfield.

Si narsum yang merupakan seorang ayah, mengeluhkan soal pemberian skor buruk untuk film yang dianggap bagus oleh anaknya di Rotten Tomatoes.

Film anak-anak yang mungkin dinilai buruk oleh para orang dewasa karena dianggap alurnya kelewat sederhana dan sudah ketebak dan tak punya kedalaman; bisa jadi adalah film yang menarik di mata anak-anak.

Nasib yang sama sepertinya terulang kembali untuk film Red One. Setidaknya hingga sejauh ini dengan gelombang ulasan buruk yang menghantamnya.

Memang, jika dilihat dari kacamata orang dewasa, Red One adalah film dengan formula generik dan tanpa punya cukup kedalaman, layaknya kebanyakan film yang pernah dibintangi Dwayne Johnson.

Bahkan akting The Rock yang sering menggandeng tandem demi menciptakan tek-tokan komedi, mungkin akan mengingatkan kita pada perannya di Red Notice atau film yang lebih lawas, The Rundown.

Begitu juga dengan Chris Evans yang makin ke sini, makin mendekati perannya sebagai Johnny Storm dengan kesan slengean. Rasanya sudah pas untuk menyebutnya sebagai pesaing Ryan Reynolds.

Selain itu, film ini juga agak menyiakan-nyiakan kehadiran Kiernan Shipka. 

Berperan sebagai villain, ia kurang mendapatkan screentime yang cukup. Kehadirannya hanya sebatas jadi pembikin masalah.

SINOPSIS RED ONE
(Sumber: IMDb.com)

Namun, jika kita hadir menonton Red One dengan ekspektasi seorang anak kecil yang lagi rajin-rajinnya mengeksplorasi dunia, film ini menghadirkan pengalaman menjelajah dunia fantasi yang imajinatif.

Terlebih lagi, film ini punya konsep world building yang epic dengan menggabungkan teknologi canggih ala agen rahasia dan kisah mitologi.

Kisah mitologi yang diambil dari budaya bangsa Eropa (bangsa Nordik salah satunya), sukses menghadirkan karakter-karakter unik.  Sekaligus secara tak langsung memperkenalkan cara kerja sebuah mitos, utamanya yang berkaitan dengan Natal.

Misalnya, lewat sosok Sinterklas, kita tahu kalau anak-anak yang berkelakuan baik layak mendapatkan apresiasi. Dalam hal ini hadiah di malam Natal.

Namun di lain sisi, ada mitos yang memperkenalkan konsep hukuman dengan aturan bahwa setiap anak yang nakal akan diculik oleh makhluk jahat dan berwajah seram.

Semua tak hanya menjadi gimmick belaka, melainkan juga mampu menjadi plot yang berdampak pada pengembangan jalan ceritanya.

Red One memperjelas identitasnya sebagai film yang menargetkan penonton usia anak-anak, lewat tone visualnya yang cenderung cerah. Bahkan dalam kegelapan sekalipun.

Pemilihan Dan Mindel yang jago menangani visual film-film blockbuster, untuk mengurusi sinematografi film ini merupakan keputusan yang tepat.

Berkat kerja kreatifnya, segala aksi yang ditampilkan tak hanya menghibur tapi juga mudah untuk dinikmati.

Identitas film ini sebagai film anak-anak juga terlihat dari selipan jokes yang dihadirkan lewat tek-tokan antara The Rock dan Chris Evans yang terbilang sopan tanpa adanya penggunaan ‘f word’.

Bagi penonton dewasa, jokes yang mereka tampilkan memang cenderung predictable. Namun pastinya lebih mudah dicerna oleh penonton anak-anak.

Bahkan konsep cerita film ini cenderung sederhana, dengan dinamika hubungan antara ayah dan anak yang tak kelewat dibikin kompleks.

FILM RED ONE
(Sumber: IMDb.com)

Barangkali ini memang disengaja untuk membuat penonton anak-anak betah mengikuti jalinan ceritanya dari awal hingga akhir, tanpa bikin mereka bingung.

Jangan lupakan juga sajian aksinya yang seru dengan segala keajaiban yang mengiringinya. Seperti mengubah mobil mainan menjadi mobil sungguhan, hingga melawan manusia salju berhidung wortel.

KITA SEMUA BOCIL

Meski banyak penonton dewasa mengeluhkan bahwa film ini kurang punya kedalaman dan tak memberi pengalaman batin yang cukup menusuk, sebetulnya ada refleksi diri yang bisa direnungkan.

Penulisan naskahnya bisa dibilang cerdik. Naskahnya tak hanya memberi motif dan backstory di balik setiap tindakan dua tokoh utamanya (Jack dan Callum), tapi juga membenturkannya.

Misalnya, di awal Callum dikisahkan ingin resign dari pekerjaannya sebagai bodyguard Sinterklas yang dijalaninya selama ratusan tahun.

Hal ini tak lepas dari kekecewaannya karena semakin bertambah banyaknya anak nakal di seluruh dunia.

Sedangkan di awal, Jack yang diceritakan sebagai anak nakal karena tumbuh tanpa sosok ayah, justru berperilaku sama pada putranya, Dylan.

Keputusan buat menghilang dari kehidupan putranya, didasari karena ia tak ingin mengecewakan putranya. Jack menganggap dirinya tak bisa menjadi role model yang layak.

Segalanya direfleksikan di momen-momen deep talk antara Jack dan Callum atau Callum dan Sinterklas, yang dapat mendorong penonton menemukan pesan moralnya.

RED ONE
(Sumber: IMDb.com)

Dari sekian banyak wejangan yang ditebar, quotes yang paling mengena berasal dari Sinterklas yang bilang pada Callum, “Kita semua anak kecil. Baik yang besar dan kecil.

Quotes ini seolah menyinggung soal inner child. Bahwa dalam diri orang dewasa, terdapat sosok anak kecil. Dan tugas kita hanya untuk tak berhenti percaya.

Selain menyinggung soal inner child yang perlu didamaikan, Red One juga mengangkat soal free will atau kehendak manusia untuk menentukan nasibnya sendiri. Dalam hal ini, soal keputusan menjadi anak nakal maupun anak baik.

Perbandingan ini diperlihatkan melalui dinamika ayah dan anak (Jack dan putranya Dylan) dengan refleksi diri yang diinisiasi oleh momen deep talk antara Jack dan Callum.

Meskipun bagi penonton dewasa pesannya mungkin disampaikan kelewat gamblang dan kurang punya kedalaman.

Namun bagi penulis, menonton Red One seperti sedang mengulang kembali masa anak-anak. Ketika diri kita masih penuh dengan rasa penasaran untuk mencari tahu soal dunia di sekitar.

Yang perlu kalian lakukan saat akan menontonnya adalah meninggalkan segala hal yang kita tahu (sebagai orang dewasa) di luar pintu bioskop.

Kalian hanya perlu duduk anteng dan menyaksikannya dengan ekspektasi seorang anak-anak yang siap dibawa mengeksplorasi dunia fantasi.

Selama dua jam durasi film Red One ini, biarkan imajinasi bekerja dan menuntunmu! (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Shofyan Kurniawan

Shofyan Kurniawan. Arek Suroboyo. Penggemar filmnya Quentin Tarantino. Bisa dihubungi di IG: @shofyankurniawan