Setelah begitu banyak live action anime yang begitu mengecewakan, live action One Piece garapan Netflix seakan memberi secercah harapan. Apalagi setelah diketahui kalau live action ini diawasi langsung oleh kreator aslinya yaitu Eiichiro Oda.
FROYONION.COM - Memahami konteks adalah langkah awal sekaligus terbaik untuk bisa menikmati cerita dalam medium apapun. Dengan konteks live action, maka kita bisa mensetting kepala bahwa cerita yang akan dinikmati adalah adaptasi untuk kebutuhan sinematik. Artinya karakter, alur cerita dan tampilan diatur untuk kebutuhan sinema.
Begitu pula dengan live action One Piece yang hadir dengan kebutuhan sinema dan harus mematuhi berbagai pakem yang ada. Ia tidak bisa melewati pagar yang selama ini tidak ada di manga ataupun anime.
Mengkreasikan live action artinya menyusun ulang puzzle demi puzzle yang sudah terbentuk dari karya aslinya. Di sinilah dibutuhkan kepekaan dan rasa respek yang tinggi terhadap karya asli agar susunan puzzle tidak berubah berantakan.
Untungnya, kreator dari live action ini memiliki rasa cinta dan respek yang tinggi terhadap sumber aslinya. Hal itu dapat terlihat dari berbagai easter eggs yang mustahil ditampilkan apabila kreatornya tidak mengetahui seluk beluk tentang One Piece.
BACA JUGA: 5 TEORI TERGILA DI ANIME ONE PIECE
Sebut saja seperti latar belakang lagu Bink Sake yang sayup-sayup terputar di kedai ketika Shanks dan Luffy kecil bertemu. Atau ketika Nami membaca buku dongeng Norland Si Pembohong kepada Zoro yang sedang sekarat di Baratie.
Itu adalah kepingan-kepingan puzzle yang hanya bisa disusun oleh kreator yang mengikuti One Piece dengan hati. Tanpa adanya rasa cinta, One Piece akan diperlakukan tak ubahnya sebuah cerita Bajak Laut yang sedang bermain-main mencari harta karun.
Namun, bagi setiap penggemar akan tahu kalau One Piece akan selalu lebih dari sekadar cerita Bajak Laut. Kepingan puzzle yang disusun dengan respek dan rasa cinta, membuat live action ini terasa berbeda dengan live action anime lainnya yang terasa serampangan.
Sayangnya, kepingan puzzle yang sudah disusun dengan penuh rasa cinta tersebut bukannya hadir tanpa cela. Ada beberapa momen yang terasa janggal dan mungkin terasa mengganjal bagi penikmat anime atau manganya.
Bagi saya sendiri, momen mengganjal itu diawali dengan character development Usopp yang hadir tanpa ada 3 karakter anak kecil sebagai pengikuti setianya. Dalam live action kali ini, karakter Usopp hanya bertumbuh dengan adanya karakter Kaya di sampingnya.
Padahal 3 karakter anak kecil ini adalah pembentuk jati diri Usopp yang sesungguhnya. Bertahun-tahun bersama mereka, inilah yang membuat Usopp selalu berusaha tampil superior di antara rasa insecurity yang jauh di dalam lubuk hatinya.
Rasa mengganjal itu memuncak ketika adegan Sanji harus meninggalkan restoran Baratie. Pada anime atau manga, momen ini begitu mengharu biru sekaligus menghangatkan hati. Sanji merobohkan semua egonya sebagai laki-laki untuk bersujud berterima kasih di depan Zeff.
Ia hanya melakukan ini pada seorang pria tua yang rela memotong sebelah kakinya sendiri untuk dimakan agar Sanji bisa terus bertahan hidup. Momen ini terasa menggetarkan dada karena Sanji mengajari bahwa berterima kasih dengan penuh kebanggaan adalah jalan terbaik menjadi pria dewasa.
Sayangnya, momen ini di live action diubah dengan hanya perpisahan kecil Sanji dan Zeff yang saling mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal. Masih terasa haru memang, tapi tidak memberikan efek menggetarkan seperti yang diberikan pada anime atau manganya.
Untungnya, moment of truth ketika Nami meminta tolong ke Luffy sambil memberikan topi jeraminya masih terasa menggetarkan. Terlihat semua actor memberikan effort terbaiknya pada adegan ini karena tahu betapa pentingnya scene ini.
Akhir kata, One Piece Live Action adalah susunan puzzle yang dibuat sepenuh hati meski belum sempurna. Namun, yang menjadi angin segar adalah, live action ini memberikan standar tersendiri bagi setiap kreator manapun yang ingin mengadaptasi live action anime.
Bahwa untuk menciptakan adaptasi yang baik harus diawali dengan memberikan respek dan rasa cinta terhadap karya aslinya. (*/)