Movies

REVIEW ‘HERETIC’: HOROR RELIGI YANG MENDEBAT AGAMA

Studio A24 kembali melepas satu film unik mereka berjudul Heretic. Film yang dibintangi aktor komedi, Hugh Grant ini, mencoba mendebat dan memberi kritik tajam soal agama. Berikut review lengkapnya!

title

FROYONION.COM - Awal tahun ini, Siksa Kubur karya Joko Anwar mencoba mempertanyakan: Apakah alam kubur bersama dua malaikat yang bertugas menanyai si ahli kubur, betulan ada ataukah sekadar karangan?

Bulan ini, Studio A24 yang tak pernah habis bikin kejutan, melepas Heretic yang datang dengan pertanyaan dan perdebatan yang kurang lebih sama.

SINOPSIS FILM HERETIC
(Sumber: IMDb.com)

BACA JUGA: TRAILER ‘ORANG IKAN’ DIRILIS, SUGUHKAN HOROR MONSTER BERLATAR PERANG DUNIA II

Bahkan, film yang ditulis dan diarahkan langsung oleh Scott Beck dan Bryan Woods ini, bukan lagi menyerang salah satu bagian dari semesta agama, melainkan langsung ke intinya. Yaitu konsep agama itu sendiri.

Menggandeng Hugh Grant yang lekat dengan film-film bernada ceria dan komedi sebagai antagonis, apakah film ini akan tampil mengejutkan? Berikut review film Heretic lengkapnya!

SINOPSIS HERETIC

SINOPSIS HERETIC
(Sumber: IMDb.com)

Kisah film ini berpusat pada dua misionaris, yaitu suster Barnes (Sophie Thatcher) dan suster Paxton (Chloe East).

Sebagai penganut Mormon (sempalan lain dari Kristen), keduanya berusaha mengajak orang-orang untuk mau dibaptis menjadi pengikut.

Menit awal di film ini dimulai dengan percakapan kedua orang suster tersebut. 

Obrolan yang dibuka oleh suster Paxton dalam menyinggung soal konten pornografi dan bagaimana itu membawanya pada pencerahan, setidaknya memberi sedikit bocoran soal karakter keduanya.

Berbeda dengan Paxton yang tak sungkan membahas perkara seks, terlihat suster Barnes justru kurang nyaman dengan pembahasan itu.

Hal itu semakin dipertegas di pertengahan film yang menunjukkan bahwa dia ternyata menanam alat kontrasepsi implan di lengannya.

Setelah berkeliling ke sana-kemari mencari pengikut, mereka sampai di rumah Mr. Reed (Hugh Grant) yang mengaku tertarik dengan ajaran Mormon.

BACA JUGA: FILM ‘HUTANG NYAWA’ ANGKAT CERITA SEPERTI KALUNA, TAPI VERSI HOROR

Tampil sebagai sosok bapak-bapak tua yang charming tanpa tanda bahaya, Mr. Reed berhasil membujuk kedua suster tersebut untuk mengobrol di dalam rumahnya.

Namun segalanya menjadi aneh dan canggung, setelah Mr. Reed mengajukan pertanyaan demi pertanyaan yang cukup mengusik terkait konsep agama.

Keanehan kemudian meningkat menjadi ancaman, ketika keduanya tahu bahwa mereka tak bisa meninggalkan rumah tersebut begitu saja.

PSYCHOLOGICAL-HORROR YANG BIKIN KENA MENTAL

HERETIC
(Sumber: IMDb.com)

Sebagai cerita bergenre psychological-horrorHeretic tentunya tak banyak bergantung pada jumpscare dari penampakan sosok seram untuk menebar teror.

Justru, film ini membangun antagonisnya melalui sosok Mr. Reed. Seorang bapak-bapak sepuh dengan sikap hangat dan ramah yang bikin siapa pun tak menolak diundang ke rumahnya.

Namun, siapa sangka di balik sosok dengan penampilan necis dan bersahaja itu, lahir guyonan yang terasa cair sekaligus mengancam. 

Juga dari sosok Mr. Reed, lahirlah dialog-dialog kontroversi yang meragukan konsep agama dan beragam tindakan sadis.

Hal ini tentunya tak lepas dari peran Hugh Grant. Tanpa image komedi yang dibangunnya selama ini, akan susah menghadirkan kesan tersebut dalam sosok Mr. Reed.

Selain itu, jangan lupakan dua pemeran protagonis di sini yang juga mampu memberi dampak lewat akting mereka.

REVIEW HERETIC
(Sumber: IMDb.com)

Namun, segala teror tersebut juga tak akan tercapai tanpa penulisan naskahnya yang cerdik.

Mengangkat tema besar dan kompleks, Heretic berhasil lolos dari jebakan menjelaskan kegelisahan dan segala perdebatan yang mengiringinya melalui kalimat-kalimat njelimet.

Analogi atau perbandingan melalui hal-hal yang dekat dengan mayoritas penonton, dari Burger King hingga lagu populer, mampu menghindarkan penonton dari kebingungan dalam mencerna dialog-dialog dengan bahasan berat tersebut.

Ketegangan juga dibangun lewat visualnya yang banyak mengambil shot-shot close up yang menangkap ekspresi setiap tokohnya.

Bahkan ada permainan tone di sini, dari yang semula terang berganti kelam, untuk menggambarkan momen peralihan antara ‘pencerahan’ dan ‘ketersesatan’.

Scoring musiknya juga punya dampak yang besar untuk menguatkan ambience, utamanya dalam momen hening maupun momen kejar-kejaran.

Segala perpaduan itu sukses menghadirkan ketegangan demi ketegangan yang cukup bikin kena mental.

Jika ada yang terasa kurang, itu terletak pada konklusinya yang menggantungkan segalanya lewat sebuah plot twist.

Meski bagus dan masih masuk akal, plot twist di film ini terasa dangkal dan kurang mind blowing.

Hal ini barangkali karena adanya perubahan plot cerita menjelang akhir. Dari semula yang berupa upaya untuk lolos dari ancaman si antagonis, menjadi upaya untuk memecahkan teka teki terkait plot twist.

Yang terjadi akhirnya, meski pesan dalam film ini tersampaikan, namun tidak dengan emosi yang harusnya ikut mengiringinya.

Selain kekurangan itu, selebihnya film ini adalah tontonan yang cukup lengkap. Heretic menjadi film yang mengusik, baik dalam menciptakan ketegangan maupun dalam menghadirkan materi yang layak didiskusikan.

HOROR ‘RELIGI’ YANG MENDEBAT AGAMA

FILM HERETIC
(Sumber: IMDb.com)

Tanpa melalui film ini pun, pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam Heretic, sebetulnya sudah menjadi obrolan ngalor-ngidul warung kopi pukul tiga pagi.

Jenis pertanyaan yang lahir dari anggapan, bahwa tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.

Namun melalui film ini Scott Beck dan Bryan Woods seolah makin menegaskannya dengan bilang, bahwa yang ada hanyalah hal-hal lama yang diperbarui agar lebih relevan.

Melalui sosok Mr. Reed, keduanya memberi perbandingan lewat gim papan Monopoli yang ternyata terinspirasi dari gim papan The Landlord’s Game karya seorang feminis, Elizabeth Magie.

Juga melalui kasus plagiat yang melibatkan lagu Get Free milik Lana Del Rey yang dituduh menjiplak Creep milik Radiohead.

Pola serupa juga mereka temukan dalam agama. Jadi, mungkinkah hal yang sama juga terjadi dalam agama?

Itulah perdebatan awal yang kali pertama dipantik melalui dialog-dialog panjang antara Mr. Reed dengan kedua suster. Utamanya dalam upaya Mr. Reed menemukan agama paling sejati.

Tak heran jika menit awal dari film ini terasa lambat. Meski begitu, berkat pemilihan kata yang sederhana, segala kegelisahan Mr. Reed terkait agama mudah dipahami.

Mungkin juga, hal itu karena kita sebagai penonton sebelumnya sudah akrab dan relate dengan dialog-dialog semacam itu.

Selanjutnya, pertanyaan berkembang menjadi: Apakah agama layak dipercayai atau tidak? Bahkan Mr. Reed mensimulasikan cara kerja agama versinya, dengan menghadirkan sosok ‘nabi’ bikinannya sendiri.

Namun tak seperti Siksa Kubur yang memberi jawaban multitafsir, Heretic memberi jawaban langsung dan gamblang segala pertanyaan yang diajukan di sepanjang film. Tentunya dari sudut pandang Mr. Reed.

Meski keseluruhan kisah seperti upaya dalam menemukan jawaban dari pertanyaan: Apakah agama adalah kebohongan dan hanya dongeng? Juga, apa agama yang paling sejati?

Sebetulnya, Heretic mencoba menanyakan: Apakah keputusan kita dalam beragama adalah keputusan impulsif yang lebih dipengaruhi oleh emosi ketimbang akal sehat?

Hingga, puncaknya soal apakah agama masih relevan di era sekarang? Ketika banyak rahasia alam semesta bisa diungkap oleh sains dan teknologi?

Sayangnya, kita hanya diberi jawaban antara belief dan disbelief. Dan masing-masing pilihan memengaruhi cara kita menjalani kehidupan.

PEREMPUAN SEBAGAI PIHAK PALING DIRUGIKAN DALAM AGAMA?

REVIEW FILM HERETIC
(Sumber: IMDb.com)

Meski bukan menjadi kritik utama, ada yang menarik dari karakter perempuan yang digambarkan dalam Heretic.

Terlihat betapa timpangnya wawasan antara dua misionaris muda dengan Mr. Reed yang digambarkan sebagai ahli teologi.

Baik suster Barnes maupun Paxton, seolah tak punya kapasitas yang cukup mumpuni untuk beradu debat dengan Mr. Reed yang melahap banyak buku.

Gambaran ini seakan hadir sebagai kritik, bahwa perempuan yang dianggap sebagai makhluk yang lebih banyak mengambil keputusan berdasarkan perasaan, adalah target yang gampang ditipu daya.

Hal ini juga meletakkan dua misionaris muda tersebut dalam posisi yang lemah. Sedangkan Mr. Reed seperti berperan sebagai pemegang kuasa atas mereka.

Tak heran dalam perang psikologis, keduanya sering kewalahan. Bahkan dalam debat, argumen mereka sering kali dibangun dari apa yang mereka rasakan soal isu tersebut dan bukan dari data.

Puncaknya, Mr. Reed seakan mengejek aturan-aturan dalam agama yang banyak mengatur hajat hidup perempuan. Mulai dari cara berpakaian hingga perkara seks dan tubuh perempuan.

Alat kontrasepsi implan yang ditanam dalam lengan suster Barnes, menjadi simbolisme yang terhubung dengan kritik tersebut.

Sebagaimana Mormon yang pelopornya rajin berpoligami, agama lainnya digambarkan sebagai ajaran yang terkesan lebih maskulin. 

Hal tersebut seolah mengesankan bahwa, peran perempuan untuk terlibat dalam menyusun aturan, cenderung minim.

Meski bukan menjadi bahasan utama, hal ini penting dihadirkan sebagai kritik. Terlebih jika kalian mendambakan kesetaraan antar gender yang dijembatani oleh agama.

Itulah review Heretic secara lengkapnya. Selain menghadirkan beragam kritik bernada skeptis terkait agama yang layak didiskusikan, film ini pastinya bikin kalian penasaran dengan lagu The Air That I Breathe karya The Hollies. Terdengar familiar? (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Shofyan Kurniawan

Shofyan Kurniawan. Arek Suroboyo. Penggemar filmnya Quentin Tarantino. Bisa dihubungi di IG: @shofyankurniawan