Film Transformers One garapan Josh Cooley menghadirkan narasi yang fresh tentang sejarah perseteruan Optimus Prime vs Megatron. Berikut review film Transformers One.
FROYONION.COM - Sebelum kedatangannya di bioskop, film Transformers One menghadapi tantangan serius dari para fans Transformers live action bikinan Michael Bay.
Desain robot yang kelewat futuristik dan terkesan mahal, menjadikan film animasi di bawah arahan sutradara Josh Cooley (Toy Story 4) dipandang sebelah mata.
Bahkan meskipun mereka baru mengintip cuplikannya lewat trailer dua menitan.
BACA JUGA: 8 REKOMENDASI TONTONAN PRIME VIDEO BULAN SEPTEMBER, ADA SERIES ORIGINAL INDONESIA
Namun setelah resmi beredar secara global, kebanyakan olok-olokan yang ditujukan pada film ini, tak terbukti benar.
Bahkan dibandingkan film garapan Bay, film ini jauh lebih humanis biarpun tak ditemukan satu pun karakter manusia di sini.
Untuk lengkapnya, berikut review film Transformers One yang tak hanya jualan perkelahian antar robot saja.
Harus diakui, Michael Bay berhutang banyak penjelasan tentang film Transformers garapannya.
Seperti soal sejarah planet Cybertron, juga bagaimana perang saudara antara Decepticon dan Autobots akhirnya bisa terjadi?
Tak seperti Bay yang memulai cerita dengan segerombolan robot Transformers mencari hunian baru setelah kehancuran planet mereka, Transformers One mengambil timeline jauh sebelum perang saudara tersebut berlangsung.
Dikisahkan, bahwa sebelum saling berselisih, Optimus Prime dan Megatron adalah sahabat karib dalam wujud robot penambang bernama Orion Pax (Chris Hemsworth) dan D-16 (Brian Tyree Henry).
Mereka menjadi robot penambang atau kelas bawah karena terlahir tanpa “roda gigi” alias T-cogs (Transformation cog) yang memungkinkan mereka berubah wujud jadi apa pun.
BACA JUGA: REKOMENDASI TAYANGAN NETFLIX BULAN SEPTEMBER, HADIRKAN BANYAK TONTONAN FRESH
Sepanjang hari tugas mereka adalah menambang bebatuan energon akibat hilangnya artefak Matrix of Leadership yang mampu mengalirkan energon secara alami.
Namun, Orion Pax masih menyimpan harapan besar dan melakukan berbagai cara untuk bisa lepas dari perbudakan. Termasuk keinginannya menemukan artefak tersebut.
Perjuangannya itu membawanya ke petualangan seru yang menyibak rahasia besar soal planetnya, membuatnya menemukan kebebasan dan memaksanya mengambil keputusan penting yang akan menentukan nasib Cybertron.
Salah satu kekurangan dari live action garapan Michael Bay adalah sisi humanis dalam tiap karakternya.
Tak hanya dari para robot Transformers yang disebut membawa sifat-sifat manusiawi, melainkan juga dari para karakter manusianya sendiri.
Kekurangan itulah yang kemudian ditebus, bahkan menjadi hidangan utama dalam Transformers One biarpun tanpa seorang pun karakter manusia di sana.
Dari menit awal, penonton sudah diperkenalkan dengan sisi humanis dari dua karakter utamanya, yakni Orion Pax dan D-16. Bahkan digambarkan keduanya memiliki sifat yang cukup berseberangan.
Jika Orion Pax digambarkan sebagai karakter yang dinamis, menyukai tantangan bahkan tak sungkan menerabas aturan. Di lain sisi, D-16 adalah sosok yang taat aturan dan sering kali cari aman.
Perbedaan karakter inilah yang kemudian juga memengaruhi mereka dalam memproses kekecewaan di pertengahan cerita nantinya.
Bahkan bisa dibilang, perbedaan karakter inilah yang memperkaya dinamika dari relasi keduanya sejak masih bersahabat hingga akhirnya menjadi musuh.
Keberhasilan naskah rancangan Erick Pearson, Andrew Barrer dan Gabriel Ferrari lainnya juga terletak pada pemilihan jokes yang cukup menggelitik. Utamanya komedi yang dibawa oleh B-27 alias Bumblebee alias BADASSATRON!
Bahkan tak hanya memilih jokes yang pas, melainkan juga diselipkan di bagian dan momen yang tepat. Dengan begitu, penonton bisa terhindar dari inkonsistensi mood.
Kelebihan lain dari naskahnya yang layak diapresiasi adalah bagaimana penggunaan “roda gigi” alias T-cogs di sini dijadikan simbol bagi kebebasan dan kemerdekaan, tak hanya gaya-gayaan belaka.
Daya tarik lainnya dari Transformers One adalah visualnya sekaligus desain karakternya yang sebelumnya paling gencar dikritik dan diejek.
Meski desain karakternya berkiblat pada film animasi Transformers versi lawas, tampak sekali detail tiap karakter begitu diperhatikan. Maka tak hanya unik, desain robotnya juga terlihat realistis.
Bahkan desain wajah yang sengaja dibuat menyerupai bentuk wajah manusia, menjadi nilai tambah yang membuat tiap karakter mampu mengekspresikan suasana hati mereka lewat mimik wajah yang ditampilkan.
Tampil dengan nyaris sempurna, Transformers One tak luput dari kekurangan. Meskipun kekurangannya terbilang minor dan bisa dimaklumi alasannya.
Kekurangan film ini terletak pada pacing ceritanya yang agak kurang mulus, utamanya pada bagian pertengahan cerita.
Memiliki pacing yang cenderung sabar dan telaten di awal dalam upaya perkenalan karakter, pacing cerita diajak ngebut mengejar durasi di pertengahan hingga menjelang ending.
Alhasil, muncul beragam plot instan yang terasa terburu-buru dan membuat transisi serta development karakter, utamanya dalam kasus D-16 menjadi Megatron, terkesan kurang smooth.
Banyak orang mungkin menyayangkan hal tersebut karena potensi Transformers One untuk menjadi film serius yang punya kedalaman dan cenderung dark.
Namun, mengingat ini merupakan film animasi, ada kemungkinan hal tersebut sesuatu yang disengaja agar mudah dipahami oleh penonton dari kalangan anak-anak.
Terlebih lagi film ini punya tema yang cukup luas dan mungkin akan menjadi kelewat kompleks jika ceritanya digiring ke ranah yang lebih serius.
Jadi, kesimpulan dari review film Transformers One, tak salah lagi film ini merupakan salah satu yang terbaik dan paling humanis dari franchise Transformers.
Ia tak hanya menyajikan visual yang ramah di mata, aksi pertempuran dengan ‘shot-shot’ yang dinamis, melainkan juga narasi yang segar.
Di lain sisi Transformers One menunjukkan bahwa perseteruan antara Autobots vs Decepticons bukan sekadar pertarungan antara pihak baik dan jahat. Namun sebuah benturan antara dua ideologi yang berbeda. (*/)