Film “The Shadow Strays” karya Timo berhasil melegakan dahaga para penikmat film aksi. All out, explosive, and crazy; itulah 3 kata yang menggambarkan film tersebut. Berikut review The Shadow Strays.
FROYONION.COM - Timo Tjahjanto kembali dengan film brutalnya, “The Shadow Strays”.
Setelah sukses dengan “The Big 4” yang mengkombinasikan action dan komedi, kali ini Timo kembali dengan nuansa yang lebih gelap dan dua kali lebih berdarah.
Mengisahkan tentang seorang pembunuh bayaran perempuan bernama 13 (Aurora Ribero). Dididik dengan keras oleh Umbra (Hana Malasan), 13 menjalani kehidupan sebagai pembunuh sejak kecil tanpa mengenal kasih sayang atau hubungan dengan manusia lain.
Sayangnya, di sebuah misi di Jepang, Umbra menilai bahwa 13 gagal menjalankan misi tersebut–yang membuatnya harus dibebastugaskan sementara di Jakarta.
Di masa-masa depresif inilah, 13 bertemu dengan Monji (Andi Mashadi), seorang anak remaja yang menjadi teman pertamanya.
Sejak bertemu Monji, 13 mulai merasakan emosi dan perasaan manusia yang asing baginya. Ia mulai mempertanyakan arti hidup dan tujuan hidupnya sebagai pembunuh bayaran. Dengan masa lalu yang masih terus menghantui, 13 kemudian harus menghadapi berbagai ancaman musuh sambil mencari jati dirinya.
BACA JUGA: FILM HOROR ‘HERETIC’ KARYA A24 SEGERA RILIS, BAWA UNSUR THRILLER PSIKOLOGIS
“The Shadow Strays” akan tayang di Netflix pada 17 Oktober 2024, namun pada 15 Oktober lalu, film ini sudah diputar di Toronto International Film Festival dan menuai standing ovations dari penonton yang hadir di sana.
Apakah film Timo satu ini juga pantas mendapat standing ovations dari penonton di rumah? Mari kita bahas dari 3 sisi: plot, penyutradaraan, dan moral cerita.
Timo menulis “The Shadow Strays” dengan plot yang cukup sederhana, yaitu tentang perempuan bernama 13 yang ingin mencari arti dan makna hidup serta haus akan kasih sayang.
Dalam perjalanan mencari jawaban inilah, 13 menghadapi berbagai ancaman yang bisa merenggut nyawanya. Sebagai penonton, kita seperti diajak untuk menyaksikan perkembangan psikologis 13 yang semakin lama semakin menjadi manusia.
BACA JUGA: SINOPSIS FILM DANYANG ‘MAHAR TUKAR NYAWA’, AKIBAT PESUGIHAN DEMI MENGEJAR CINTA
Darah dingin yang mengalir di tubuhnya sebagai pembunuh bayaran lama-lama menjadi hangat karena disentuh oleh Monji yang baru ia kenal selama 2 hari–yang rupanya cukup untuk mengubah robot pembunuh menjadi perempuan yang penuh kelembutan.
Selama 145 menit, kita juga akan menyaksikan laga 13 yang selalu berhasil mengalahkan setiap musuhnya. Aurora Ribero tampak sangat prima dengan stamina yang tak ada habis-habisnya. Lucunya, bahkan banyak penonton yang kebingungan dari mana 13 mendapat energi, karena sepanjang film ia tidak pernah istirahat maupun makan.
Kembali ke poin plot, menurut penulis “The Shadow Strays” sangat mudah untuk diikuti dan dipahami. Aksi laga yang intens juga membuat film ini penuh adegan berdarah yang bikin meringis.
Walau mungkin film action dengan durasi 145 menit ini akan membuat penonton terbagi menjadi 3 kelompok: tim yang selalu menutup mata, tim yang sangat menikmati, dan tim yang merasa lelah saking banyaknya adegan berantem.
Menyenangkan sekali menyaksikan karya Timo yang satu ini.
Jika “The Big 4” memadukan aksi dengan komedi, maka tidak heran jika tone yang dipakai di “The Big 4” juga tidak terlalu mencekam, malah cenderung cerah dan berwarna-warni dengan latar pantai. Mood filmnya fun khas adventure walau tetap bertema action.
Tapi di “The Shadow Strays”, sejak awal penonton disuguhkan dengan suspenseful tone. Warna coklat, kuning, dan hitam kerap mendominasi layar–selain warna merah dari darah.
Suasana kota yang korup dan slump menambah informasi akan pemahaman penonton tentang seberapa chaos-nya Jakarta tempat 13 tinggal.
Di sini, aksi laga yang disuguhkan mayoritas adalah perkelahian jarak dekat. Maka, kita akan sangat dipuaskan dengan berbagai teknik martial arts hasil workshop selama 4 bulan yang dilewati para casts.
Berbagai senjata api yang digunakan di sini juga turut menambah poin plus pada sinematografi–dimana penonton akan disuguhkan dengan slow motion scene saat peluru dilepaskan.
Tak ketinggalan unsur ledakan, pemenggalan kepala, hingga suara siul dari leher yang digorok, menambah kengerian “The Shadow Strays”.
BACA JUGA: INDIAN DRAMA ‘GIRLS WILL BE GIRLS’ RAIH BEST FILM DI JAKARTA WORLD CINEMA
Salah satu scene paling iconic adalah pemenggalan kepala yakuza di atas salju. Warna merah darah dan putihnya salju yang kontras tampak indah sekaligus ngeri.
“Karena apa yang lebih romantis dibanding kekontrasan itu kan?” tutur Timo.
Film action dengan pemeran utama seorang perempuan, aksi laga berdarah, dan level violence dengan rate 25+ ini rupanya memiliki satu pesan sederhana: ungkapan cinta antar-perempuan.
Sungguh unik bagaimana Timo menggabungkan dua sisi yang bertolak belakang. Bagaimana hubungan 13 dan mentornya Umbra (Hana Malasan) yang menjadi final boss di film ini mencerminkan bagaimana perempuan bisa menjadi tangguh seperti laki-laki, tapi juga bisa menunjukkan sisi feminimnya lewat empati dan cinta.
Tak diragukan, penulisan Timo kali ini sangat matang dan memuaskan. Kalian juga pasti akan sepakat setelah menonton “The Shadow Strays” di Netflix mulai 17 Oktober 2024.
BACA JUGA: REVIEW FILM ‘I, THE EXECUTIONER’: HADIRKAN ACTION DENGAN NUANSA SLAPSTICK
Sebagai penutup dari review panjang ini, penulis rasa walau dibalut dengan kekerasan, Timo tetap ingin menyuarakan bahwa kekuatan perempuan sejatinya terletak pada kelembutan hatinya. (*/)