Terinspirasi dari kisah nyata, film ‘Sara’ suarakan kisah seorang transpuan yang identitas dirinya terombang-ambing oleh kenyataan.
FROYONION.COM - Film Sara tampil secara perdana di Jakarta pada pagelaran acara Plaza Indonesia Film Festival (PIFF). Pada Selasa (20/2), Sara bersama Women from Rote Island, sebagai dua film perwakilan Indonesia di Busan International Film Festival pada 2023 lalu, menarik perhatian para cineville.
Pasalnya, Sara juga mengangkat isu sosial yang kerap dianggap sensitif oleh masyarakat Indonesia. Karena tak bisa dipungkiri, menjadi seorang transpuan di Indonesia tidaklah mudah. Banyak hak yang diambil dan banyak mata sinis yang memandang.
Lewat film berdurasi 99 menit ini, kita dapat menyaksikan kisah hidup seorang transpuan yang harus merelakan jati dirinya terombang-ambing demi orang yang ia cintai–sang ibu.
Film karya Ismail Basbeth ini mengangkat cerita seorang transpuan bernama Sara (Asha Smara Darra) yang sudah hampir 20 tahun meninggalkan kampung halamannya. Hingga akhirnya Sara harus kembali bertemu keluarganya pada hari kematian sang ayah.
Ditemani sahabatnya, Ayu (Mian Tiara), Sara harus mengumpulkan keberanian untuk bertemu dengan sang ibu, Muryem (Christine Hakim), yang telah kehilangan memori tentang Sara.
BACA JUGA: REVIEW FILM ‘WOMEN FROM ROTE ISLAND’, ANGKAT ISU PELECEHAN SEKSUAL YANG DEPRESIF
Demi mengembalikan memori sang ibu, Sara pun dihadapkan dengan pilihan sulit–untuk kembali mengubah penampilannya menjadi sosok laki-laki yang dahulu adalah Panca, atau tetap mempertahankan identitas dirinya sebagai perempuan bernama Sara.
Permasalahan yang tampak sederhana inilah yang ingin diangkat oleh film ini. Tentang bagaimana kehidupan bermasyarakat seorang transpuan yang tidak mudah, tentang bagaimana Sara harus merelakan dirinya menjadi orang lain demi cinta kepada sang ibu.
Dalam acara press conference Plaza Indonesia Film Festival yang diadakan pada Selasa (20/2) lalu, Charlie Meliala selaku salah satu produser film Sara bersama Lyza Anggraheni, mengaku bahwa cerita ini terinspirasi dari kisah Shinta Ratri.
Shinta adalah seorang transpuan asal Yogyakarta yang dikenal karena pesantren khusus transpuan yang ia dirikan, Pesantren Al-Fatah.
BACA JUGA: ALASAN MENGAPA CEWEK MENYATAKAN PERASAAN LEBIH DULU KE COWOK ITU SAH-SAH SAJA
Kepedulian Shinta untuk memberikan rumah kepada para transpuan yang tersingkir membuat Pesantren Al-Fatah ada untuk menjadi rumah kedua mereka. Walau sempat diprotes organisasi masyarakat karena kehadirannya yang dianggap tabu, namun akhirnya Shinta dapat mempertahankan rumah itu hingga akhir hayatnya.
Saat berkunjung ke Pesantren Al-Fatah, Ismail, Charlie, dan Lyza, menemukan kesamaan pada cerita hidup Shinta dengan Sara.
Ismail sukses menyuguhkan potret hidup transpuan yang nyata terjadi di Indonesia.
Mulai dari rasa malu Sara saat harus bertatap mata dengan warga di kampung halamannya yang menganggapnya aneh.
Harapan orang sekitar agar Sara kembali seperti ‘semula’--sebagai Panca–juga turut ditunjukkan secara gamblang. Hal ini diperlihatkan saat Ayu, teman masa kecil Sara, yang masih menyukainya sebagai Panca dan berharap ia dapat menaruh hati juga pada Ayu.
Tentu dilema ini juga dialami oleh para transpuan di luar sana yang kerap menerima tekanan dan ‘doa’ dari orang sekitar agar mereka bisa kembali kepada identitas mereka yang dulu–tanpa mempertimbangkan alasan mereka menjadi transpuan
BACA JUGA: PENGKATEGORIAN CEWEK KUE, MAMBA, DAN BUMI ITU BUKAN STYLE FESYEN
Kemudian sulitnya Sara untuk beribadah di Masjid sebagai perempuan, yang ditegur oleh Ustad Said (Landung Simatupang) karena dianggap membuat warga sekitar tidak nyaman. Maka demi ‘kebaikan bersama’, Sara diminta untuk tidak beribadah ke masjid
Kenyataan pahit yang sama juga dialami oleh Shinta Ratri, sebagai the living inspiration dari film Sara, saat pesantren yang didirikannya diprotes ormas dengan alasan meresahkan warga sekitar.
BACA JUGA: MENURUT LO MANA YANG LEBIH KREATIF, COWOK ATAU CEWEK?
Upaya Sara untuk mengembalikan ingatan ibunya akan sang anak, juga tak mudah. Berkali-kali Sara berkata bahwa ia adalah anaknya. Namun Muryem malah membalas,”Aku tidak punya anak perempuan.”
Perkataan jujur Muryem ini tentu menyayat hati Sara. Ditambah dengan keadaan sang ibu yang terus menerus mencari sang suami yang sudah tiada, turut mendesak Sara untuk menjawab imaji sang ibu.
Akhirnya setelah Sara memotong pendek rambut panjangnya dan berdandan seperti laki-laki, barulah senyum itu bisa kembali ia lihat di wajah Muryem.
Sebuah pengorbanan untuk merelakan identitas dirinya terombang-ambing demi membahagiakan orang yang ia cintai, adalah perwujudan Sara, seorang transpuan yang sebenarnya hanya manusia biasa yang penuh cinta.
BACA JUGA: BUKU THE ALPHA GIRL GUIDE: INSPIRASI MENJADI PEREMPUAN ALPHA DI ERA MODERN
Secara keseluruhan, Sara berhasil menyuguhkan cerita tak biasa yang mungkin masih dianggap tabu oleh masyarakat. Namun pada akhirnya, pesan untuk tetap menjadi manusia yang penuh kasih dan mengasihi sesama, tetap bisa kita petik.
Ditambah dengan akting Asha–yang juga seorang transpuan–sebagai pemeran Sara, rasanya pesan ini lebih menohok. Jika Asha dan kawan-kawan telah berhasil menyampaikan pesannya, bisakah kita menerima pesan itu dengan tangan terbuka? (*/)