Movies

REVIEW FILM MONKEY MAN: DEBUT DEV PATEL SEBAGAI SUTRADARA SEKALIGUS AKTOR

Aktor Dev Patel kembali lewat film bertajuk Monkey Man sebagai pemeran utama sekaligus sutradara. Film ini mengisahkan seorang pria yang balas dendam atas kematian ibunya karena politisi dan aparat hukum yang korup.

title

FROYONION.COM - Setelah sukses memainkan beragam peran di film-film pendek garapan Wes Anderson tahun kemarin yang diadaptasi dari karya fiksi Roald Dahl. Kini Dev Patel kembali lewat film bertajuk Monkey Man atau si Manusia Monyet.

Bahkan, di film yang berdurasi dua jam ini, Dev Patel tak hanya bermain sebagai lead character saja. Melainkan juga menulis skenario sekaligus menyutradarainya. Bisa dibilang film ini merupakan debutnya sebagai sutradara.

BACA JUGA: FILM DOKUMENTER ‘HARTA TAHTA RAISA’ ANGKAT BERBAGAI HAL DETAIL DALAM HIDUP MUSISI

Sebagai catatan, selain mendiang Irrfan Khan, nama Dev Patel merupakan salah seorang aktor berdarah India yang sering mampir di film-film garapan Hollywood. Alasannya mudah diduga, karena keduanya pernah berada dalam satu frame di film Slumdog Millionaire.

Mengusung genre neo-noir dengan motif balas dendam, Monkey Man jelas menyajikan action yang berlimpah, adegan kekerasan dan gore yang banjir darah, hingga seks tipis-tipis dan penggunaan narkoba yang sembrono. 

Lalu apakah debut penyutradaraan dari Dev Patel ini berujung manis?

SINOPSIS MONKEY MAN

Jika kalian rajin menonton film India, mudah ditemukan bahwa sebetulnya negara yang mayoritas warganya mengkultuskan sapi ini punya irisan yang cukup sama dengan Indonesia.

Bahkan bisa dibilang, India mengadopsi masalah yang sama dengan Indonesia: ledakan populasi, angka kemiskinan yang tinggi, lebarnya kesenjangan sosial, hingga politikus dan aparat hukum yang korup. 

Inilah salah satu alasan yang bikin film ini dipenuhi dengan kemarahan.

BACA JUGA: 5 REKOMENDASI TONTONAN ASIK DI NETFLIX YANG TAYANG JUNI 2024!

Monkey Man dibuka dengan dongeng Hanuman yang diceritakan oleh seorang ibu kepada anaknya. Dalam dongeng tersebut, si Hanuman dikisahkan kena sanksi dari para dewa penguasa karena tak sengaja mencaplok matahari yang dikiranya buah mangga.

Selepas dongeng yang diselingi dengan tawa itu, scene berpindah ke arena tinju. Seorang lelaki yang mengenakan topeng kera sedang melakoni tarung bebas dengan lawannya hingga berdarah-darah. 

Ternyata pria di balik topeng kera itu adalah Kid (Dev Patel) yang mencari nafkah dari tarung bebas. 

BACA JUGA: FILM TEMURUN: SAJIAN HOROR DAN THRILLER DARI AWAL HINGGA AKHIR

Lewat scene tersebut dan di scene selanjutnya, penonton diberitahu bahwa Kid menyimpan trauma terkait masa lalunya yang penuh darah. 

Namun, masa lalu itu hadir lewat sekelebat gambar samar yang semakin lama semakin jelas. Jejak yang pasti ada pada tangannya yang penuh dengan bekas luka bakar.

Trauma itulah yang kemudian memberi motif pada Kid untuk melakukan balas dendam. Harapannya mudah tercapai setelah ia bertemu dengan Queenie Kapoor (Ashwini Kalsekar), seorang mucikari yang menjual para gadis kepada para pria hidung belang.

Lalu berhasilkah balas dendam Kid terbayar tuntas?

FILM SEBAGAI MEDIA BALAS DENDAM

Tema utama dari Monkey Man adalah soal pembalasan dendam, dari seorang anak kepada pembunuh ibunya (dan mereka yang terlibat di sana). 

Namun, jika ditarik lebih jauh lagi, balas dendam tersebut ternyata juga menjelma sebagai kemarahan kelas bawah kepada penguasa yang culas.

Film punya kemampuan mewujudkan apa yang sulit terwujud (bahkan nyaris mustahil) menjadi sesuatu yang tampak nyata dan mungkin. Dari sinilah istilah keajaiban sinema kemudian mulai banyak dikenal.

Berkat keajaiban sinema inilah, para sineas bisa mewujudkan apa yang sulit mereka dapatkan di dunia nyata lewat film.

Sebagai misal, drama Korea yang banyak menghadirkan cowok cakep, romantis dan pengertian; ternyata merupakan bentuk harapan sekaligus protes terhadap lelaki Korea yang sangat kental dengan budaya patriarkinya.

Lalu dalam anime garapan Jepang misalnya, banyak ditemukan anime yang bernafaskan soal ‘nakama’ atau teman adalah segalanya; ternyata lahir dari masyarakat yang mayoritasnya sangat individualis. 

Bahkan jika menengok di balik subgenre dunia ‘isekai’ yang banyak diadaptasi dalam film Jepang maupun anime, ada semacam angan-angan mereka, bahwa: barangkali di dunia lain yang jauh dari kenyataan yang mereka alami saat ini, mereka adalah orang hebat.

Film Hollywood, utamanya bertema superhero, misalnya berupaya menguatkan citra Amerika sebagai penjaga perdamaian dunia. Meskipun kita tahu kenyataannya tidak selalu demikian.

Keajaiban sinema lagi-lagi menunjukkan kemampuannya dalam film Monkey Man ini. Dan untuk kesekian kalinya, saya akhirnya kembali melihat film India yang menunjukkan kemarahan kelas bawah kepada penguasa. 

Terakhir, saya melihat semangat yang sama pada film White Tiger.

Di Monkey Man, penonton bisa melihat orang yang lahir dari kelas bawah, bisa menghajar habis-habisan aparat hukum hingga politisi. Meskipun sebelum mencapai mereka, ia mesti menghadapi orang-orang dari kelasnya juga.

Menonton ini mungkin bakal membuat kalian yang banyak menonton film India di era kejayaannya di Indonesia dulu, akan bernostalgia. 

Dalam ingatan saya misal, cukup banyak film India lama (termasuk sewaktu Shahrukh Khan masih ganteng-gantengnya) banyak menampilkan pertarungan kelas bawah dan kelas atas. 

Seperti buruh tani yang melawan tuan tanah, kelas bawah yang melawan penguasa dan perangkatnya, hingga polisi jujur (yang biasa dinamai inspektur Vijay) melawan mafia. 

Meski begitu, biasanya karakter utama atau sang pahlawan pembela keadilan ini, hadir dalam wujud yang kurang lebih sama: tampang ganteng, badan bagus, punya kompas moral yang baik, dan jago berantem.

Di Monkey Man, Dev Patel juga menghadirkan tokoh jagoan yang kurang lebih sama seperti yang banyak ditampilkan di film India lainnya lewat sosok Kid. Bahkan, tidak hanya bentukan karakter utamanya saja yang serupa, melainkan juga dari alur ceritanya.

Sejak menit-menit awal film ini dimulai, mudah diprediksi bagaimana ceritanya akan mengalir. Kid akan fokus pada tujuannya untuk balas dendam, menghadapi berbagai rintangan, kemudian di tengah perjuangannya ia dikalahkan bahkan nyaris tewas.

Lalu setelah bangkit dari ‘kematiannya’, ia seakan mendapatkan kekuatan baru hingga akhirnya bisa membayar semua kekalahan yang ia alami sebelumnya.

Meski punya alur yang sama, bukan berarti film ini jadi membosankan. Adegan aksinya yang kaya referensi, cenderung brutal dan tanpa ampun, sukses bikin penonton terus melek hingga ujung film.

MENGAMBIL BANYAK FRAGMEN DARI FILM AKSI LAINNYA

Jika diibaratkan sebuah pakaian, film ini seperti aneka jenis kain yang kemudian dijahit jadi satu hingga menjadi busana yang utuh. Bisa dibilang, bahan baku film ini banyak diambil dari film-film action lainnya.

Dalam sebuah wawancara misalnya, Dev Patel mengakui bahwa salah satu inspirasi film ini diambil dari The Raid 1 dan The Raid 2. Bahkan fun fact-nya proses syuting film ini dilakukan di Indonesia, tepatnya di kota Batam.

Jejak The Raid dalam film ini misalnya bisa kita lihat lewat pertarungan di gang sempit sewaktu Kid dikejar para preman, lokasi tarung bebas yang terjadi di ruang bawah tanah, hingga koreografi berantemnya yang terlihat mirip.

Selain dari The Raid, Dev Patel juga berkiblat pada film laga John Wick, baik dari segi sinematografinya hingga beberapa scene ikoniknya. 

Namun, yang patut dipuji dari ini adalah bagaimana ia mengolah homage untuk John Wick dengan baik. Bahkan Dev seolah tengah memparodikannya.

Scene ketika ia memilih pistol yang akan digunakannya, akan mengingatkan fans John Wick pada scene di Hotel Continental. 

Detail lainnya juga bisa ditemukan lewat sorotan kamera yang mengambil angle bird eye dalam merekam scene pertarungan Kid melawan musuh-musuhnya.

Bahkan pergerakan kameranya yang seringkali menyorot adegan berantemnya secara intens yang dikombinasikan dengan shaky cam, berhasil menambah ketegangan pada penonton. 

Hanya saja, sayangnya di beberapa bagian penggunaannya kurang tepat sehingga rentan bikin pusing.

Kekurangan lainnya, film ini terasa terburu-buru menjelang ujung filmnya. Bahkan bangkitnya ‘kekuatan baru’ pada diri Kid juga terasa dipersingkat dan seadanya demi tak melewati limit durasinya.

Meski ending-nya cenderung melempem dan antiklimaks, cara Dev mengambil salah satu scene ikonik dari film Kungfu Hustle untuk menutup cerita, bikin ujung film ini tak buruk-buruk amat.

Terakhir, biarpun akting Dev Patel di sini tak perlu diragukan, saya merasa film ini punya potensi menjadi lebih emosional lagi. Terlebih mengingat film ini berkisah soal kedekatan seorang anak dan ibunya.

Saya mengharapkan, gambaran ibu di sini tak hanya hadir sebagai bagian dari trauma. Melainkan juga sebagai sebuah kerinduan seorang anak kepada ibunya. Siapa tahu ‘kan bisa dikasih tambahan subjudul: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas.

Meski begitu, hal ini tak mengurangi keseruan menonton Monkey Man. Dengan fight choreo-nya yang digarap matang, saya rasa itu sudah jadi alasan kenapa film ini wajib masuk watchlist. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Shofyan Kurniawan

Shofyan Kurniawan. Arek Suroboyo. Penggemar filmnya Quentin Tarantino. Bisa dihubungi di IG: @shofyankurniawan