Movies

REVIEW FILM ‘KAKA BOSS’, UPAYA MELEPAS STEREOTIP TENTANG ORANG TIMUR

Imajinari merilis film terbaru mereka: Kaka Boss. Berkisah tentang ayah yang berprofesi sebagai bodyguard, dan beralih profesi menjadi penyanyi demi putrinya. Simak review Kaka Boss selengkapnya di sini!

title

FROYONION.COM - Imajinari masih meneruskan tradisi mereka mengincar naskah-naskah orisinal yang cenderung punya pasar lebih sempit. Di tahun ini setelah berhasil bersinar dengan Agak Laen, mereka hadir kembali lewat film terbaru mereka, Kaka Boss.

Mengangkat tema yang dekat dengan keluarga Indonesia Timur, film ini dipimpin langsung oleh Arie Kriting. Seorang komedian yang banyak mengangkat isu-isu yang dekat dengan orang timur.

Selain duduk sebagai sutradara, Arie Kriting juga bertugas di balik layar sebagai penulis skenario bersama Kristo Immanuel.

BACA JUGA: DUET DIAN SASTRO DAN RINGGO AGUS DI FILM KOLABORASI INTERNASIONAL ‘MOTHERNET’

Dipegang oleh orang yang mengalami suka-dukanya sebagai orang timur, bahkan nyaris seluruh castnya adalah orang-orang timur, Kaka Boss menjanjikan cerita yang autentik pada penonton.

Lalu apakah film ini berpotensi mengikuti jejak kesuksesan film-film Imajinari sebelumnya?

SINOPSIS KAKA BOSS

Film ini langsung dibuka dengan adegan yang menampilkan stereotip dari masyarakat pada orang timur yang banyak dikeluhkan Arie Kriting dalam pertunjukkan komedi tunggalnya.

Pandangan bahwa orang timur berwatak keras, jahat dan suka berkelahi ditampilkan lewat konflik di tempat hiburan malam antara dua kelompok regu dance.

Di momen itulah, tokoh utama diperkenalkan. Ferdinand “Kaka Boss” Omakare (Godfred Orindeod) menjadi penengah dalam konflik itu dan berhasil menyelesaikannya dengan damai. 

Meski diawali perkelahian seru, konflik justru selesai dengan cara yang jauh dari kesan kekerasan, yakni lewat battle dance.

Aksi yang sama kemudian banyak diulanginya, seolah Ferdinand punya tanggung jawab untuk menyampaikan bahwa tak semua masalah harus diselesaikan dengan kekerasan. Atau lebih jauh lagi, tak selamanya orang timur menjadikan kekerasan sebagai solusi.

Namun citra diri Ferdinand sebagai orang yang berwatak keras, sayangnya tak hilang dari cara putrinya, Angel (Glory Hillary) dalam memandang sosoknya. Bahkan teman-teman sekolah Angel menganggapnya sebagai preman.

Profesinya sebagai penyedia jasa keamanan, membuatnya sulit lepas dari stereotip tersebut. Demi memperbaiki citra dirinya di mata putrinya, kaka boss pun berpikir untuk beralih profesi menjadi penyanyi. 

Namun justru penghalang terbesar dirinya adalah suaranya sendiri yang sungguh “amazing” jeleknya. Sayangnya tak ada yang berani mengingatkannya untuk berhenti.

KAKA BOSS DAN STEREOTIP TENTANG ORANG TIMUR

Mengingat film-film Imajinari sebelumnya sukses dengan gemilang, kebanyakan penonton mungkin menaruh harapan besar pada Kaka Boss.

Ini mungkin akan menjadi tekanan yang besar bagi debut Arie Kriting sebagai sutradara sekaligus penulis skenario. Paling minimal, setidaknya ia mesti menampilkan sesuatu yang beda.

Sisi autentik itu dihadirkan lewat cerita kehidupan yang berpusar di lingkaran sosial orang timur dengan segala stereotip yang melekat pada mereka.

Siapapun bisa menduga, tak mudah hidup dengan anggapan ngawur yang cenderung salah. Terlebih saat kamu memiliki seorang anak perempuan yang ingin punya sosok bapak yang bisa dibanggakan.

Ini mirip seperti yang diungkapkan psikiater asal Kanada, Norman Doidge dalam bukunya bahwa sebetulnya manusia melihat dengan otaknya, bukan dengan matanya. 

Itu artinya kita hanya melihat apa yang ingin kita lihat saja. Lebih lanjut lagi, kita menilai seseorang sesuai dengan apa yang kita yakini sebelumnya soal orang tersebut. Dari sinilah pengaruh stereotip yang kadung beredar sulit dienyahkan.

Kurang lebih begitulah yang dialami oleh Ferdinand, si kaka boss. Segala upayanya untuk membalikkan anggapan buruk tentangnya, segera terpatahkan begitu ia menunjukkan sisi kerasnya dalam tugas-tugas pengawalan.

Inilah yang kemudian menjadi keunggulan film ini. Segala stereotip soal orang timur tidak sekadar dimasukkan sebagai pemanis. Melainkan juga hadir sebagai pemicu konflik antara ayah dan putrinya.

Konflik tersebut terasa semakin memikat dan mengaduk emosi, dengan beberapa part yang menampilkan love-hate relationship antara Ferdinand dan putrinya, Angel.

Di satu waktu mereka menunjukkan kasih sayang satu sama lain. Tetapi di lain waktu mereka bisa terlibat dalam pertengkaran-pertengkaran kecil yang cukup mengkhawatirkan.

Lini komedi menjadi salah satu daya tarik yang ditawarkan dalam Kaka Boss. Uniknya, film ini justru memilih Godfred Orindeod sebagai tokoh utama. Tampil jauh dari kesan komedi, Godfred tidak dipaksakan menjadi tulang punggung komedi. 

Selaku sutradara, Arie Kriting mempertahankan sisi sangar Godfred yang mengintimidasi sebagai pancingan bagi joke-joke lucu dari orang-orang sekitarnya yang ketakutan menghadapi sosoknya.

Misalnya dari sikap Alan (Ernest Prakasa) dan rekan-rekannya yang jadi repot sendiri karena memaksakan diri melatih si kaka boss menjadi penyanyi.

Selain dari mereka, asupan joke di film ini juga disumbang oleh guyonan dari Abdur Arsyad dan Mamat Alkatiri yang memang sudah lucu dari sananya.

DEBUT ARIE KRITING YANG LUMAYAN

Meski tampil utuh sebagai sebuah cerita tanpa plot hole yang mengganggu, penggunaan pace cerita yang cenderung slow burn terkesan menjemukan untuk sebuah film drama-komedi.

Ibarat sebuah joke dalam pertunjukan stand up, ia seperti joke dengan set up panjang dan bertele-tele, sehingga bikin penonton bosan menunggu gong dan punchline yang menanti di belakang.

Selain itu, tak adanya daya kejut dan momen kemenangan palsu yang biasa muncul di pertengahan cerita, bikin film ini terasa anyep dari awal hingga akhir. 

Bahkan show megah di akhir yang diharapkan menjadi puncak dari segalanya, justru gagal memancing rasa haru dan dramatis.

Kritik lain juga ditujukan untuk penulisan skenarionya yang terlihat hilang arah. Sebagai tokoh utama, si kaka boss diberi motivasi yang menggerakkannya, yakni menjadi penyanyi.

Namun, setelah cerita berjalan, yang penonton ikuti adalah upaya Alan dan yang lainnya agar kebohongan mereka tak ketahuan.

Penulis kira, ini jugalah yang membuat si kaka boss terlihat kurang berupaya dalam mewujudkan motivasinya di awal tadi. Bahkan karena hal ini jugalah, porsi cerita seolah terbagi menjadi tiga bagian.

Yakni antara, menyorot keseharian si kaka boss, menyorot upaya Alan dkk. menyembunyikan kebohongan mereka, atau menyorot dinamika Angel bersama teman-teman sekolahnya.

Hal inilah yang bikin penonton bingung memilih, dinamika siapa dari ketiganya yang harus diikuti. 

Kekurangan lainnya walaupun terasa minor adalah sajian komedinya yang terkesan terlalu patuh terhadap script dan kurang spontan. Meski menghibur dan mengundang tawa, joke yang ditawarkan terasa kurang nendang dan cenderung predictable.

Namun tentu saja ada beberapa keunggulan yang perlu diapresiasi. Dari beberapa shot yang ditampilkan, terlihat upaya dari Arie Kriting untuk menyajikan film ini dalam bentuk terbaiknya.

Ada banyak “main-main” yang dicoba oleh Arie Kriting di sini sehingga menambah warna bagi film ini dan bikin visualnya tak terkesan monoton.

Patut diapresiasi juga adalah penampilan Godfred sebagai kaka bos. Mengingat ini merupakan debutnya sebagai tokoh utama di film, ia cukup berhasil menunjukkan akting yang luwes.

Credit lebih juga layak diberikan kepada Glory Hillary. Menjalani debutnya di film layar lebar, ia berhasil menampilkan chemistry yang meyakinkan antara ayah dan putrinya. Bahkan jika dibandingkan ketiga temannya, aktingnya-lah yang terasa paling menyala.

Memang jika dibandingkan dengan rilisan Imajinari sebelumnya, bisa dibilang Kaka Boss kurang memukau. Namun film ini cukup berhasil menangkap dan menyampaikan keresahan orang timur, utamanya soal stereotip yang lekat pada mereka.

Dengan pendekatan yang cenderung personal yakni melalui hubungan ayah dan putrinya, Kaka Boss jelas akan relate dengan banyak kalangan. Tak sekadar orang-orang dari Indonesia Timur.

Meskipun pace cerita dan porsi naskahnya belum terlalu matang dan masih banyak yang perlu dibenahi. Namun dengan ceritanya yang ringan dan selipan komedi yang universal, film Kaka Boss menjadi salah satu hiburan yang amazing. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Shofyan Kurniawan

Shofyan Kurniawan. Arek Suroboyo. Penggemar filmnya Quentin Tarantino. Bisa dihubungi di IG: @shofyankurniawan