Berjarak empat tahun setelah film pertamanya, Arthur Fleck kembali menjadi Joker di sekuel yang baru saja rilis. Lalu seperti apakah review film Joker: Folie a Deux kali ini? Simak selengkapnya di sini!
FROYONION.COM - Mengisahkan soal latar belakang dari Clown Prince of Crime lewat seorang Arthur Fleck (Joaquin Phoenix), film pertama Joker (2019) garapan Todd Phillips ditutup lewat ending yang memancing debat.
Apakah segala pembunuhan yang dilakukan Arthur Fleck, termasuk kepada Murray Franklin (Robert De Niro) adalah suatu kenyataan atau delusi yang hanya terjadi di alam pikirannya?
Perdebatan ini tak terhindarkan, mengingat Todd Phillips mencampur adukkan segala yang nyata dan khayalan tanpa sekat, sehingga penonton diminta buat meraba-rabanya.
Perdebatan itu sepertinya tuntas dan mendapatkan jawabannya ketika Joker: Folie a Deux resmi diumumkan sebagai sekuel dan akhirnya tayang.
Segala kejahatan yang dilakukan oleh Arthur Fleck ternyata suatu kenyataan.
Bahkan itu menginspirasi banyak orang untuk melakukan revolusi terhadap moral masyarakat Gotham yang bobrok oleh kriminalitas dan pejabat korup.
Lalu seperti apakah review film Joker: Folie a Deux? Apakah Arthur Fleck memenuhi harapan orang-orang yang menginginkannya menjadi pemimpin revolusi?
Seolah ingin menggambarkan bakal seperti konsep storytelling yang diusung, Joker 2 memulai menit pertamanya dengan adegan kartun animasi yang menggambarkan pertunjukan musikal ala Broadway.
Usai basa-basi singkat, tak butuh waktu lama bagi penonton untuk melihat sosok Arthur Fleck dengan tubuh kurus keringnya, menjalani kehidupan barunya di penjara Arkham.
Meski bukan gambaran hidup yang ideal, di Arkham dia sepertinya menjalani hidup dengan tenang tanpa gejolak. Sesuatu yang bertentangan dengan sosoknya di ending Joker (2019).
Namun keributan sesungguhnya terjadi di luar tembok penjara. Berlangsung perdebatan soal apakah Arthur Fleck layak mendapatkan hukuman mati atau tidak?
Seorang jaksa wilayah Gotham, Harvey Dent (Harry Lawtey) berpendapat bahwa Arthur tak punya kepribadian ganda, sehingga patut mendapat balasan setimpal.
Sedangkan, di pihak Arthur, seorang pengacara perempuan (Catherine Keener) berpendapat sebaliknya, sehingga kliennya berhak untuk dibebaskan.
Perdebatan ini menyeret Arthur Fleck ke drama persidangan yang mengingatkannya kembali pada dosa masa lalu.
Juga mempertemukannya dengan partner Joker paling ikonik di semesta DC Comics, Harley Quinn alias Lee Quinzel (Lady Gaga).
Joker versi Heath Ledger yang dibangun oleh Christopher Nolan, menjadi salah satu villain paling ikonik dalam semesta DC Comics.
Ada alasan yang membuat Joker versi Nolan begitu kuat tertanam di ingatan fans. Salah satu alasan yang mendasari adalah permusuhannya dengan Batman.
Pertarungan keduanya tak hanya menampilkan adu gagasan dan benturan moral antara yang baik dan jahat.
Melainkan juga justru menguatkan karakteristik masing-masing sebagai dua tokoh yang berdiri di sisi saling berseberangan.
Dualisme semacam ini banyak kita jumpai. Dalam sepakbola misalnya, kita punya Messi vs Ronaldo. Dalam karya fiksi lainnya, adu kepintaran antara Sherlock Holmes vs Professor Moriarty menjadi salah satu yang memukau.
Dualisme semacam inilah yang mungkin diharapkan oleh banyak penonton ketika datang ke bioskop untuk menonton Joker 2.
Sayangnya, seperti pada film pertamanya, Phillips lagi-lagi tak menghadirkan lawan tanding sepadan untuk Joker yang dibangunnya lewat akting Joaquin Phoenix.
Dan ini jelas sangat berpengaruh pada karakter Joker itu sendiri dan tentunya, ekspektasi penonton.
Sebagai gantinya, Phillips membuat Arthur Fleck mengalami pertarungan batin yang lebih personal.
Dia menaruh Arthur di arena tanding untuk melawan sisi jahatnya dalam sosok Joker yang menghabisi nyawa 6 orang dan anehnya lebih dikagumi banyak orang, termasuk partnernya, Lee.
Tak heran jika, sekuel ini berisi banyak sekali flashback, baik lewat potongan adegan dari film pertamanya maupun dialog, yang sudah kita ketahui.
Jelas merupakan pilihan membosankan, utamanya buat kalian yang mengharapkan aksi. Namun segala kilas balik itu menjadi semacam godaan bagi Arthur yang mengalami tarik-ulur dengan Joker dalam dirinya.
Godaan itu semakin kuat dengan hadirnya Lee yang mengagumi sosok Joker yang dianggap revolusioner.
Sama seperti kebanyakan pengagum lainnya yang mengharapkannya memimpin revolusi yang dimulainya secara “tak sengaja” itu.
Namun, di antara banyak godaan untuk menjadi Joker yang ngetren dengan tagline, bahwa orang jahat adalah orang baik yang tersakiti. Arthur justru berupaya menjadi dirinya yang lama, dengan mempertimbangkan segala risikonya.
Dipilihnya Lady Gaga sebagai pemeran Harley Quinn dalam sekuel ini, tak lain dimaksudkan untuk mengisi adegan musikal yang di luar dugaan cukup melimpah.
Dengan vokalnya yang khas dan memukau, Lady Gaga adalah pilihan yang tepat untuk menghidupkan adegan musikal dalam film ini.
Sayangnya, hal ini juga berarti Joaquin Phoenix dengan suaranya yang kasar bakal dipaksa untuk bernyanyi. Sehingga terlihat kualitas vokal keduanya sangat timpang dan berjarak.
Meski adegan musikal dalam Joker 2 menjadi daya tarik, namun hal ini juga menjadi kelemahan yang cukup mengganggu.
Diselipkannya banyak adegan musikal di banyak bagian cerita tanpa membawa dampak berarti pada plotnya, bikin ceritanya terasa dragging dan sengaja dilama-lamain.
Selain itu, dampak dari banyaknya adegan musikal yang dimasukkan, juga berpengaruh pada pengembangan karakter tiap tokohnya, utamanya pada Lee.
Meski diungkapkan bahwa motif Lee mendukung Arthur Fleck karena kekaguman semata, motif itu tidak terasa kuat tercermin dalam sosok Lee.
Lebih jauh lagi, penonton tidak pernah tahu apa yang sebetulnya ingin diperbuat Lee jika berhasil membangkitkan Joker dalam diri Arthur.
Bahkan latar belakang Lee masih menjadi misteri dan kita hanya mengetahuinya secuil saja, itupun lewat dialog.
Tak heran jika kemudian banyak yang menganggap bahwa penambahan adegan musikal ini adalah upaya Todd Phillips untuk menutupi porsi ceritanya yang minim.
Meski begitu, drama persidangan yang dilalui Arthur Fleck menjadi salah satu bagian terbaik dalam film ini.
Seperti yang dibilang di awal, drama persidangan di sini tak hanya sebagai penghakiman bagi dosa yang dilakukan Arthur Fleck.
Melainkan juga proses tarik ulur antara sisi baiknya yang sudah lama ada dan terbentuk, melawan sisi jahatnya yang muncul selama beberapa hari akibat serangkaian kejadian buruk.
Pada akhirnya, pilihan cerita dari Todd Phillips untuk menggambarkan Joker versinya dengan cara begini, akan mengecewakan fans yang berharap lebih.
Para fans yang ingin melihat Joker yang bengis, brutal, sosiopat namun idealis, harus bersiap melihat ekspektasinya hancur lebur dalam Joker: Folie a Deux.
Ketimbang menampilkan Joker yang sesuai keinginan fans, Todd Phillips justru menunjukkan bahwa mereka semua telah menaruh harapan pada orang yang salah.
Bahkan mungkin bersama derai tawanya yang khas, Arthur Fleck tengah mengejek pengagumnya seraya bertanya: bagaimana bisa kita mengharapkannya menjadi jahat layaknya Joker, sesuatu yang sebelumnya asing untuknya? (*/)