Movies

REVIEW EXHUMA: MENGGALI KETAKUTAN, MENJADI MANUSIA MERDEKA

Film Exhuma karya Jang Jae-hyun ini berkisah tentang pemindahan kuburan dan okultisme. Lalu, apa daya tarik film ini sehingga bisa menarik jutaan penonton dalam hitungan hari?

title

FROYONION.COM - Di antara berjubelnya film horor lokal yang tayang di bioskop (dan akan lebih banyak lagi ke depannya), ada satu horor Korea berjudul Exhuma garapan Jang Jae-hyun yang cukup menyita perhatian.

Bahkan tidak hanya menyita perhatian, melainkan mengurasnya habis-habisan. Bukan hanya dari kalangan penggemar drakor atau fans mas Lee Doh-yun (barangkali), melainkan juga dari para sinefil.

Di Surabaya misalnya, yang awalnya film ini hanya kebagian satu studio di satu bioskop, melihat hype-nya yang begitu besar, pihak CGV akhirnya menambah jumlah studio yang memutar film ini.

Tak tanggung-tanggung, di setiap bioskop CGV yang ada di kota ini, mereka menyediakan dua hingga tiga studio untuknya.

Film Dune part 2 yang datang dengan hype yang sama besarnya pun harus bersedia mengalah dan hanya kebagian satu studio di satu bioskop milik CGV.

Diisi dengan nama-nama cast jempolan seperti Choi Min-sik yang pernah bermain di film Oldboy, Yoo Hae-jin, Lee Dohyun hingga Kim Go-eun yang aktingnya sebagai dukun luar biasa epik; film ini jelas bukanlah film yang boleh dilewatkan begitu saja.

Lalu seperti apakah film Exhuma ini?

SINOPSIS EXHUMA

Kata exhuma yang menjadi judul dari film ini punya arti memindahkan jasad orang yang mati dari kuburannya yang lama. Lebih luas lagi, exhuma berarti menggali sesuatu yang telah terkubur untuk dikeluarkan kembali.

Tak hanya menjadi sebuah judul, exhuma adalah kata kunci bagi keseluruhan isi di film ini. Ia tidak sekadar pintu gerbangnya saja, melainkan juga rumahnya sekaligus.

Film bermula dengan penampakan dua dukun muda, yakni Hwa-rim (Kim Go-eun) dan Bong-gil (Lee Dohyun) yang terbang ke Amerika untuk melihat seorang bayi.

Diceritakan bahwa si bayi mengalami kondisi yang janggal. Si bayi terus-menerus menangis tanpa bisa dijelaskan secara medis penyebabnya.

Usai merapal mantra dan melakukan ritual, Hwa-rim menyimpulkan bahwa si bayi mendapat gangguan dari roh leluhur yang marah. 

Untuk menenangkan roh leluhur itu, keluarga si bayi harus memberikan ‘akhir’ yang layak bagi roh leluhur tersebut. Entah dimakamkan di kuburan yang lebih baik, atau dikremasi.

Untuk melakukan exhuma, Hwa-rim meminta bantuan Sang-duk (Choi Min-sik) yang merupakan ahli feng shui dan Young-geun (Yoo Hae-jin), seorang petugas pemakaman.

HOROR YANG ANGKER

Jualan utama dari film Exhuma ini adalah tradisi-tradisi yang lekat dengan masyarakat Korea seperti feng shui dan okultisme. Dan kebetulan, dua hal inilah yang menjadi profesi dan keahlian dari dua tokoh utamanya, Sang-duk dan Hwa-rim.

Di tangan seorang Choi Min-sik, dengan sangat meyakinkan, penonton bisa percaya bahwa tokoh Sang-duk adalah seorang ahli feng shui kenamaan yang mengetahui hampir setiap jengkal tanah di Korea Selatan.

Caranya menjelaskan pengetahuannya soal feng shui dan hubungannya dengan keseimbangan alam semesta bahkan sains, hingga menjelaskan tempat seperti apa yang disebut sebagai ‘tanah yang murni’ salah satunya dengan menjilat rasa tanahnya, menunjukkan jam terbangnya di dunia akting.

Sedangkan sosok Hwa-rim yang diperankan oleh Kim Go-eun, digambarkan sebagai sosok anak muda yang tampil modern padahal profesi tokoh tersebut adalah dukun. Ia misalnya bergaya khas anak muda kekinian bahkan ikutan nge-gym.

Jelas ini bukanlah sesuatu yang buruk. Citra dukun muda yang ditampilkan justru memperbaiki citra dukun yang kadung lekat dengan masyarakat kita misalnya yang melulu mengenakan atribut-atribut tradisional.

Boleh dibilang, pendekatan Jang Jae-hyun untuk menggambarkan sosok dukun di sini adalah sosok dukun yang bisa membaur. Bukan sesuatu yang terpisah atau asing dari masyarakat. Penggambarannya lebih seperti John Constantine atau ustad Qodrat.

Saya selalu meyakini bahwa syarat film agar bisa diterima oleh penonton secara luas, ia tak hanya punya cerita yang solid. Melainkan juga kemampuannya menyertakan hal-hal yang dekat dan relate dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.

Dalam film horor semacam Exhuma, hal tersebut membuat teror dan ketakutan yang sampai kepada penonton lebih terkesan manusiawi sehingga bisa lebih terima. 

Ketakutan lahir dari sesuatu yang dekat dengan kehidupan mereka, sesuatu yang mereka kenali dan bukannya dari sesuatu yang asing atau berasal dari antah berantah.

Bahkan jika ditelisik lebih jauh lagi, Jang Jae-hyun sepertinya memanfaatkan kekuatan horor yang bisa ditemui di J-horor untuk memperkaya teror dan ketakutan dalam Exhuma.

Jaeng Jae-hyun seperti paham betul bahwa ketakutan terbesar manusia adalah saat dihadapkan pada ketidakpastian atau ketidaktahuan. 

Atmosfer seperti inilah yang ditawarkan dalam Exhuma bahkan sejak kejanggalan pertama diperkenalkan di menit-menit awal.

Di setiap babak, para tokoh (dan penonton) akan bertemu dengan ketidaktahuan itu. Dalam menghadapinya, di satu sisi, sebagai penonton kita ingin melihat para tokoh terus maju dan menyibaknya dan menjadikan misteri itu terungkap.

Namun, di sisi lain, kita juga takut apabila misteri yang menunggu di balik itu seburuk ketakutan yang kita imajinasikan. Tak ayal sebagai penonton, kita bakal dibikin gemas juga ketika para tokoh yang terlibat jutru terus menyerbu misteri di depanya.

Saya rasa, kebingungan dan kegelisahan bahkan dilema semacam inilah yang dirasakan oleh penonton secara repetitif.

Meski dengan percaya diri tanpa menampilkan jumpscare, Exhuma tak diragukan lagi berhasil menghadirkan teror demi teror yang bikin merinding dan bergidik.

Penonton bisa menangkap ketakutan dan kengerian itu, kemudian melahapnya lewat melihat reaksi para tokoh dalam menerjemahkan teror yang mereka hadapi.

Tak heran jika momen ketika para tokoh (utamanya Hwa-rim dan Sang-duk) mengekspresikan ketakutannya dibuat panjang dan intens. Hal ini tentunya bertujuan agar penonton bisa menangkapnya secara utuh. 

Kedekatan Exhuma dengan J-horror juga bisa kita raba dari sound design yang dimasukkan. Isian suara yang mirip jeritan mengagetkan, mungkin bakal membuat fans hantu Sadako bernostalgia.

ENAM CHAPTER, DUA PLOT BERBEDA

Menonton Exhuma juga punya feel seperti membaca sebuah novel berkat konsep enam chapter yang dihadirkannya.

Dan kesan ini sedemikian kuat karena di beberapa bagian penonton terasa ditarik untuk memperhatikan dengan seksama tiap momen yang dihadirkan layaknya kegiatan membaca.

Namun di paruh kedua fokus cerita kemudian berganti dan sepenuhnya berbeda meskipun masih ada kaitannya dengan plot di paruh pertama.

Selain itu, paruh awal yang kental nuansa seram dan menakutkan, berganti dengan kengerian yang mencekam di paruh kedua. Bisa dibilang warna dan atmosfer film ini juga ikutan berubah.

Sulit membocorkan apa isi paruh kedua Exhuma tanpa membuat calon penonton film ini kehilangan kesenangan pada kejutan yang menunggu di sana.

Salah satu bagian terbaik yang ada di film ini adalah bagaimana detail-detail ritual dalam mitologi Korea dihadirkan. 

Tidak hanya ritual pengusiran saja yang melibatkan tarian dengan gerakan kesetanan, melainkan juga ada ritual pemanggilan yang seperti ajakan jamuan makan.

Selain itu dalam Exhuma, Jang Jae-hyun menyelipkan plot sampingan yang berkaitan dengan sejarah penjajahan Jepang di Korea. Sayangnya plot tersebut dibuat seadanya dan sulit buat penonton di luar Korea untuk merasa relate dengan itu.

Meski begitu, jika mau cocokologi, pengaruh plot tersebut sebetulnya mungkin lebih jauh dari yang bisa dilihat. Ia barangkali justru menggambarkan semangat film Exhuma itu sendiri.

Sejarah penjajahan di mana pun selalu soal menebar ketakutan dan teror, sebagian besar bahkan meski melakukan genosida untuk membuat mereka yang dijajah tunduk dan menurut.

Ketakutan dan teror akibat penjajahan itu mungkin selama ini hanya terkubur. Di satu sisi sebagai manusia yang ingin merdeka, kita mesti melawannya. Namun di lain sisi kita juga takut untuk menghadapinya.

Dan Exhuma menggambarkan usaha demi usaha untuk menggali ketakutan itu, mengeluarkannya dan dengan kenekatan yang nyaris konyol, menghadapinya mati-matian. Sebagaimana ditampilkan oleh tokoh-tokoh di sepanjang durasi film ini.

Tak heran jika konklusi untuk ending film ini menyiratkan bahwa tiada yang paling penting dari melanjutkan hidup sebaik mungkin selain menjadi manusia yang merdeka. Dan untuk menjadi manusia merdeka, mungkin kita perlu melakukan Exhuma. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Shofyan Kurniawan

Shofyan Kurniawan. Arek Suroboyo. Penggemar filmnya Quentin Tarantino. Bisa dihubungi di IG: @shofyankurniawan