Movies

REVIEW ‘DARK NUNS’: MELAWAN KETIMPANGAN GENDER LEWAT RITUAL EKSORSISME

Tak hanya mengusung genre horor eksorsis, film Dark Nuns juga mengusung agenda feminis dan isu patriarki dalam balutan ritual pengusiran setan. Berikut review film Dark Nuns!

title

FROYONION.COM - Menjadi salah satu film paling diantisipasi penayangannya di tahun 2025 ini, Dark Nuns datang dengan hype yang meriah.

Tak hanya karena film ini jadi penanda comeback Song Hye-kyo, aktris yang terkenal dengan perannya di serial Full House (2004) dan Descendants of the Sun (2016), ke layar lebar.

(Sumber: IMDb.com)


Melainkan juga karena genre horor eksorsisme dan okultisme yang diusungnya dan bikin penonton menghubungkannya dengan film Exhuma, yang berhasil menembus 2 juta penonton di Indonesia, tahun lalu.

Hadir sebagai spin-off dari The Priest (2015), film ini menghadirkan konsep cerita serupa yang berfokus pada ritual pengusiran setan ala ajaran Katolik, namun terhalang birokrasi.

Menjadi sedikit angin segar di tengah gempuran horor lokal yang kaya jumpscare, apakah film ini punya potensi untuk menyamai capaian Exhuma dan memuaskan ekspektasi penonton? Berikut review Dark Nuns lengkapnya!

SINOPSIS DARK NUNS

Tanpa basa-basi, film ini langsung dibuka dengan adegan kesurupan seorang remaja lelaki, bernama Hee-Joon.

(Sumber: IMDb.com)


Dua pendeta yang berusaha melakukan ritual eksorsisme, justru kewalahan karena ternyata yang mereka hadapi adalah salah satu iblis tingkat atas dari 12 manifestasi.

Di luar lokasi kejadian, suster Junia sedang mempersiapkan diri dengan ngudud sebelum membantu ritual tersebut dengan berbekal satu jeriken air suci.

Untuk sementara, ritual eksorsisme itu berhasil bikin iblis tersebut bersembunyi. Namun ia tak sepenuhnya pergi dari tubuh remaja itu dan berjanji akan kembali.

(Sumber: IMDb.com)


Demi menyelamatkan nyawa remaja tersebut, suster Junia menempuh berbagai ritual pengusiran roh jahat. Tak hanya eksorsisme ala ajaran Katolik, termasuk juga ritual tradisional yang melibatkan dukun dan budaya okultisme.

Sayangnya, upayanya tersebut terbentur oleh birokrasi gereja dan medis yang tak meyakini adanya ritual eksorsisme.

Dibantu dengan teman-temannya yang juga memiliki kemampuan supranatural, berhasilkah suster Junia menuntaskan misinya?

HOROR EKSORSISME DENGAN VISUAL YANG MEWAH

Dibuka lewat scene yang menampilkan visual nan indah dan memukau, Dark Nuns seakan menegaskan bahwa menu utama dalam film ini akan berfokus pada ritual demi ritual pengusiran setan.


(Sumber: IMDb.com)

Keindahan visual tersebut konsisten bertahan hingga penghujung film. Bahkan tak hanya indah, di satu titik visualnya terkesan puitis.

Misalnya, dalam adegan di menit awal, saat momen pembacaan doa, barisan-barisan kalimat dengan diksi mewah yang dirapal suster Junia, diiringi dengan visual memikat yang menjadi latar belakangnya. 

Sehingga menghadirkan nuansa puitis yang justru menenangkan. Ini membuat eksorsisme yang dilakukan suster Junia, seolah ia tengah meredakan api yang bergejolak dan mengamuk.

Kesan itu semakin lengkap dengan ekspresi wajah suster Junia yang cenderung tetap kalem dan tenang sekaligus tegas di setiap aksinya, meskipun menghadapi situasi menegangkan.

Komposisi serupa diulangi kembali di ritual-ritual selanjutnya. Bahkan mencapai puncaknya ketika suster Junia terlibat “pertarungan” terakhir dengan sang iblis.

BACA JUGA: JUMLAH PENONTON BIOSKOP MENINGKAT DI TAHUN 2024, FILM INDONESIA MENDOMINASI PASAR

Hal tersebut semakin diperkaya dengan ragam ritual pengusiran setan bersama segala pernak-pernik penunjangnya. Tak hanya salib dan alkitab, melainkan juga melibatkan ayam hitam hingga kendi dan lonceng.

Meski indah dan meneduhkan, pendekatan puitis yang dipilih Kwon Hyeok-jae dalam memvisualisasi setiap ritual, juga memiliki risiko tersendiri. Jika dibandingkan dengan Exhuma, film Dark Nuns terasa “kurang berisik” dan kurang menegangkan. 

Buat penonton yang datang menonton film ini dengan harapan mendapat kengerian yang sama dengan saat menonton Exhuma, kemungkinan akan dibuat bosan karena Dark Nuns cenderung melaju dengan tenang dalam keheningan.

MELAWAN IBLIS SEBAGAI UPAYA MELAWAN PATRIARKI

Meski sempat dikeluhkan oleh netizen Korea Selatan karena dianggap misoginis, berkat kata “rahim busuk” dan “pelacur” yang dilepas di film ini; sebetulnya Dark Nuns punya agenda feminis di beberapa part.

Misalnya, dalam part saat suster Junia harus berargumen sengit dengan para pendeta pemegang otoritas gereja, untuk mendapatkan ijin melakukan ritual eksorsisme.

Pada momen itu, terlihat para lelaki dalam ruangan tersebut, tampak terusik egonya dan dengan keras menunjukkan posisi mereka sebagai yang berkuasa. Bahkan salah seorang berkomentar merendahkan tentang suster Junia.

Lewat scene itu, naskah film ini ingin menunjukkan bahwa suster Junia tidak hanya melawan birokrasi yang ruwet, melainkan ketimpangan gender.

(Sumber: IMDb.com)


Di part lainnya, suster Junia juga menghadapi sikap keras kepala dari pendeta Paul (Lee Jin-Uk) yang menganggap bisa menyembuhkan Hee-Joon, si remaja yang kerasukan, dengan cara medis.

Namun, dengan banyaknya pendeta laki-laki yang dihadirkan di sana, tak ada yang turun tangan langsung membebaskan Hee-Joon dari kuasa iblis. Tidak pendeta Paul, tidak juga pendeta yang membantu suster Junia menyiapkan perlengkapan ritual.

Sayangnya, agenda feminis dalam film ini berebut panggung dengan tema lainnya. Salah satunya perdebatan soal: apakah fenomena kerasukan itu nyata? Ataukah itu hanya sebuah gejala psikologis yang bisa disembuhkan dengan cara medis?

Hal itulah yang kemudian menimbulkan kesan bahwa naskahnya berusaha menahan diri agar tidak terlihat terlalu terang-terangan bicara soal feminis.

Namun bisa jadi, ketidakpercayaan para pendeta terhadap kerasukan, hanya untuk menutupi ketidakmampuan (dan mungkin keengganan) mereka melawan patriarki. 

BACA JUGA: REVIEW ‘1 KAKAK 7 PONAKAN’: PERJALANAN EMOSIONAL PARA REMAJA MELEWATI MASA SULIT

Terlebih kita tahu, segala frasa yang terkesan sangat misoginis itu keluar dari mulut iblis (lelaki) yang merasuki Hee-Joon.

Barangkali, sama halnya seperti fenomena kesurupan di dalamnya, isu patriarki terkesan ada dan tiada. Atau lebih parahnya meski sebetulnya ada dan nyata, pura-pura dianggap tidak ada.

Butuh keberanian dan keyakinan kuat untuk melawan kegamangan (dan kegagapan) kita sebagai laki-laki, dalam menghadapi ketimpangan gender yang dilanggengkan oleh budaya patriarki.

Film ini seolah mengirim pesan, bahwa tugas untuk meraih kesetaraan antargender, tidak hanya tanggungjawab kaum perempuan, melainkan kaum lelaki.

Tanpa peran semua pihak, segala luka dan penderitaan akibat ketimpangan gender ini hanya akan dibawa ke alam kubur bersama para martirnya. Seperti metafora yang ditampilkan di ujung film ini.

Itulah review Dark Nuns yang ternyata membalut agenda feminis dan isu patriarki lewat balutan horor eksorsis. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Shofyan Kurniawan

Shofyan Kurniawan. Arek Suroboyo. Penggemar filmnya Quentin Tarantino. Bisa dihubungi di IG: @shofyankurniawan