Movies

REVIEW ‘BILA ESOK IBU TIADA’: DRAMA KELUARGA YANG SUKSES BIKIN NANGIS

Siap-siap dibikin nangis oleh film baru berjudul Bila Esok Ibu Tiada. Drama keluarga ini mengisahkan kehidupan seorang ibu dengan keempat anaknya yang telah dewasa. Berikut review lengkapnya!

title

FROYONION.COM - Meski tak selalu benar, banyak orang mungkin akan sepakat bahwa ibu adalah sosok perekat yang menyatukan seluruh anggota keluarga. Jadi, bagaimana jika pada akhirnya sosok perekat itu menghilang?

Itulah tema besar dari film Bila Esok Ibu Tiada garapan Rudi Soedjarwo. 

Kurang-lebih pertanyaan itulah yang ingin ditanamkan di benak penonton. Dengan harapan bisa menghadirkan gambaran singkat soal ke mana arah konflik film ini bakal menuju?

BACA JUGA: SINGLE ‘LUKA’ OLEH AIU JADI SOUNDTRACK DI FILM ‘SAMPAI NANTI, HANNA!’

Diadaptasi dari novel (atau antologi) berjudul sama karya dari Nagiga Nur Ayati, film ini berupaya menyerang sisi sentimental penonton.

Namun, berhasilkah film ini menjadi drama keluarga penguras air mata? Berikut review film Bila Esok Ibu Tiada secara lengkap!

SINOPSIS BILA ESOK IBU TIADA

Meski sepanjang durasi film sosok ibu (Christine Hakim) di sini diplot sebagai perekat keempat anaknya, peran itu seperti baru diwarisinya setelah sosok bapak (Slamet Rahardjo) meninggal dunia.

Tiga tahun berselang setelah kematian bapak, keempat anak punya kesibukannya sendiri.

BILA ESOK IBU TIADA
(Sumber: IMDb.com)

Ranika (Adinia Wirasti), si sulung, punya kesibukan sebagai eksekutif muda. Sekaligus yang mengatur segala hal berkaitan dengan rumah dan tagihan-tagihan ini-itu.

Rangga (Fedi Nuril), si anak kedua, sudah menikah dan menekuni pekerjaannya sebagai seorang musisi yang sedang mengincar peluang.

Kemudian si anak ketiga, Rania (Amanda Manopo), tengah sibuk dengan profesinya sebagai seorang aktris yang waktunya habis untuk keperluan syuting.

Sedangkan si anak bontot, Hening (Yasmin Napper), sedang berupaya untuk lulus kuliah secepatnya. Meskipun sepanjang film yang ditampilkan ia justru asyik ‘berkegiatan’ dengan teman dan pacarnya.

Kesibukan mereka masing-masing mengurangi waktu mereka untuk menemani ibu. Puncaknya ketika mereka semua lupa dengan hari ulang tahun ibu mereka.

Ini menerbitkan pertanyaan, apa arti kehadiran ibu di tengah mereka? Masihkah menjadi sosok penting atau justru dianggap penghalang bagi mereka buat fokus pada kesibukan masing-masing?

DRAMA KELUARGA TEARJERKER

Penunjukkan Rudi Soedjarwo untuk mengarahkan film Bila Esok Ibu Tiada menjadi pilihan tepat, mengingat sang sutradara sudah banyak menangani film bergenre drama. Alhasil, film ini punya taste drama yang kuat.

Terdapat adegan-adegan sentimentil di sini yang memaksa kelenjar air mata bekerja lebih keras. Banyak penonton yang mewek berjamaah saat adegan-adegan itu ditayangkan.

Tentu saja, film ini tak hanya bergantung pada itu. Sisi dramatis juga hadir lewat hadirnya konflik batin yang dialami tiap tokohnya.

REVIEW BILA ESOK IBU TIADA
(Sumber: IMDb.com)

Naskahnya kemudian membenturkan semua konflik itu lewat scene di meja makan. Juga di sanalah karakter masing-masing anak mulai diperkenalkan.

Di sanalah kita bisa melihat watak keras Ranika dan cenderung pengatur, khas anak pertama yang sering diandalkan menjadi tulang punggung.

Yang ternyata watak ini lahir dari banyaknya hal yang dikorbankannya demi keluarga, sehingga tak sempat memikirkan kehidupan pribadinya.

Watak si anak kedua yang cenderung slengean dan suka main-main, tetapi gampang terpancing emosinya ketika harga dirinya diusik.

Yang ternyata datang dari perasaan insecure karena merasa tidak sesukses kakak dan adiknya.

Juga watak si anak ketiga dan keempat yang tampak sama-sama manja, namun paling penyayang dan dekat dengan ibu.

Hal ini membuat scene di meja makan bukan hanya sebuah perkenalan. Melainkan juga ujian pertama bagi ibu untuk menjaga hubungan antar anak-anaknya tetap rekat.

Hingga kemudian di sekuen berikutnya konflik antara mereka berempat semakin memanas dan memuncak, ketika kondisi kesehatan ibu semakin memburuk.

Konflik yang kian menajam bikin penonton bertanya dan penasaran, jika seandainya sosok ibu sudah meninggal, apa atau siapa yang akan menjadi alasan mereka berempat untuk kumpul dan bersatu?

Segalanya cukup sukses dibawakan lewat akting para cast-nya. Utamanya dari Christine Hakim.

Adegan long take yang menampilkan momen ibu menangis dalam durasi panjang, bakal terasa awkward tanpa kelihaian skill akting Christine Hakim yang sudah teruji dengan jam terbang.

BERHASIL BIKIN NANGIS, TAPI GAGAL MENINGGALKAN KESAN

Seperti labelnya sebagai drama tearjerker yang diproduksi untuk bikin sedih, film ini berhasil menunaikan tugasnya dengan cukup baik.

Buktinya, setelah film tuntas dan lampu dinyalakan kembali, beberapa penonton keluar dari studio dengan wajah sembab.

FILM BILA ESOK IBU TIADA
(Sumber: IMDb.com)

Sayangnya dengan segala potensi konflik yang diperkenalkan di awal, film ini gagal meninggalkan kesan yang cukup membekas.

Ada beberapa hal yang menurut penulis menjadi alasannya.

Pertama, bibit-bibit perpecahan antar saudara yang ditampilkan dalam scene meja makan, tidak digiring dengan baik untuk menciptakan klimaks paling emosional.

Padahal ada banyak konflik yang dialami karakter di sini, relate dengan konflik banyak keluarga di dunia nyata.

Absennya faktor urgensi yang mengharuskan mereka berdebat soal siapa yang mesti bertanggung jawab merawat ibu yang mengidap sakit parah, bikin konfliknya gagal berkembang ke arah yang benar.

Ini kemudian juga berdampak pada treatment karakter ke empat anak yang tak banyak berubah, lantaran kurangnya goal yang ingin dikejar.

Sehingga tak ada pergulatan batin di benak mereka soal mana yang harus mereka pilih dan korbankan? Padahal bibit konflik batin ini sempat disinggung di sequence awal, namun tidak dengan urgensinya.

Sebagai pembanding, dalam film How to Make Millions Before Grandma Dies faktor urgensinya ada pada Oma yang akan meninggal.

Itu memicu anak-cucunya bersikap baik padanya dengan tujuan (goal) untuk mewarisi rumah.

Meski tak semua akhirnya berhasil mendapatkan goal tersebut, setidaknya dalam proses mengejar tujuan itu karakter mereka tumbuh dan berubah.

Itulah yang hilang dari Bila Esok Ibu Tiada.

Kedua, film ini seperti tidak punya lead character yang bisa mengawal visi penonton mengikuti jalan ceritanya agar tidak ambyar ke mana-mana.

Meski punya niatan baik untuk memberi porsi yang cukup dan seimbang pada keempat karakter si anak, film ini justru terkesan kehilangan fokus karena tak ada karakter yang betulan menonjol. Semuanya setara.

Bahkan karakter ibu yang diharapkan jadi penggerak cerita, tidak diberi plot yang cukup menolongnya untuk mengambil tugas itu.

Meskipun penulis yakin peran untuk menggerakkan cerita akan mudah ditunaikan di tangan seorang Christine Hakim. Agak disayangkan film ini tak benar-benar memanfaatkan kemampuan akting beliau.

Sebagai pembanding, kita bisa mengadunya dengan Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini.

Sama-sama berlabel film keluarga dengan formula nyaris sama, NKCTHI menjadikan si anak bungsu sebagai karakter yang menonjol dan menjadi penggerak cerita.

Si anak bungsu menjadi alasan yang membuat anak sulung menunda untuk menikah. Membuat si anak tengah terus mengalah dan membuat si bapak bersikap overprotektif.

Ketiga, film ini kurang menampilkan momen sentimentil yang menunjukkan kedekatan ibu dan masing-masing anaknya. Padahal ini bisa jadi pemicu rasa penyesalan di benak mereka, saat mengenangnya kembali setelah kepergian ibu.

Meskipun dengan beberapa kekurangan itu, film ini tetaplah kisah yang menyentuh.

Berkat dukungan akting dari para pemerannya, utamanya Christine Hakim dan Adinia Wirasti, film ini menjadi drama keluarga yang mampu (bahkan sangat) menguras air mata.

Bila Esok Ibu Tiada tetaplah film yang menarik ditonton, terlebih untuk menyambut Hari Ibu yang berjarak sebulan lagi. 

Itulah review film Bila Esok Ibu Tiada yang sudah tayang di bioskopBahkan jika seandainya Ujian Nasional jadi dibangkitkan dari kuburnya, film bisa jadi pengingat betapa berharganya sosok ibu saat sesi Renungan Malam dilangsungkan. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Shofyan Kurniawan

Shofyan Kurniawan. Arek Suroboyo. Penggemar filmnya Quentin Tarantino. Bisa dihubungi di IG: @shofyankurniawan