
Film Pabrik Gula hadir dalam dua versi berbeda, yaitu Cut dan Uncut. Temukan perbedaan antara keduanya dan alasan kenapa versi Uncut bisa disebut sebagai bentuk film horor Indonesia yang paling jujur.
FROYONION.COM - Film horor Indonesia Pabrik Gula garapan Awi Suryadi dan diproduksi oleh MD Pictures tidak hanya menjadi salah satu film terlaris di momen Lebaran 2025, tetapi juga menjadi perbincangan karena keputusannya merilis dua versi berbeda: Cut (Jam Kuning) dan Uncut (Jam Merah).
Strategi ini bukan hal baru, mengingat film KKN di Desa Penari juga mengadopsi pendekatan serupa. Namun, Pabrik Gula berhasil membawanya ke level yang lebih dalam, dengan perbedaan versi yang tidak hanya soal durasi, tapi juga pengalaman emosional, atmosfer ketegangan, dan kekuatan visual.
Versi Cut dari Pabrik Gula memiliki durasi 132 menit dan ditujukan untuk penonton 17 tahun ke atas. Versi ini diputar di hampir seluruh jam reguler bioskop, termasuk siang dan sore hari.
Dari sisi cerita, alur utamanya tidak berubah secara signifikan. Penonton tetap dibawa ke pabrik gula tua di Jawa Timur, tempat para buruh musiman menghadapi teror gaib yang berasal dari masa lalu kelam bangunan itu.
BACA JUGA: FILM HOROR INDONESIA ‘PABRIK GULA’ AKAN TAYANG JUGA DI AMERIKA UTARA
Namun, beberapa adegan telah disesuaikan agar lolos sensor. Adegan kekerasan yang terlalu vulgar, darah yang berceceran secara eksplisit, atau kontak fisik antar karakter yang berpotensi dianggap sensual telah dipotong atau dikurangi intensitasnya.
Misalnya, adegan ketika salah satu karakter kesurupan dan mengalami kejang-kejang panjang dipersingkat agar tidak terlalu mengganggu. Demikian pula dengan kemunculan makhluk astral dalam wujud utuh yang diburamkan atau diberi transisi cepat.
Versi Cut cocok untuk penonton umum yang ingin menikmati film horor dengan nuansa lokal tanpa harus menghadapi beban psikologis terlalu berat.
Penonton yang kurang tahan dengan visual ekstrem tetap bisa mengikuti misteri dan teror yang dibangun secara atmosferik. Meski ada kompromi visual, narasi tetap kuat. Inilah yang membuat versi ini tetap mendapat tempat di hati penonton.
Versi Uncut berdurasi sedikit lebih panjang, yakni 133 menit, dan diberi klasifikasi Jam Merah (21+). Hanya tayang terbatas pada malam hari, versi ini memberikan pengalaman sinematik yang lebih jujur dan intens. Tambahan satu menit bukan sekadar soal durasi, melainkan soal nuansa.
Dalam satu menit tersebut, tersembunyi adegan-adegan yang tidak mungkin lolos dalam versi sensor: kekerasan frontal, adegan mistik berdarah, hingga visualisasi gangguan psikologis karakter dengan lebih dalam dan detail.
Sutradara Awi Suryadi sendiri mengatakan bahwa versi Uncut adalah “versi utuh dan jujur” dari cerita yang ia adaptasi dari thread viral karya Simpleman. Dalam versi ini, penonton diajak menyelami teror tanpa filter. Tidak ada sensor suara, visual, atau potongan cerita.
BACA JUGA: SYUTING DI 3 KOTA HINGGA KARAKTERISASI MENDALAM, FILM ‘KOMANG’ SIAP TAYANG DI LEBARAN 2025
Adegan Naning yang kerasukan, misalnya, ditampilkan dengan suara raungan penuh, mata mendelik, dan tubuh yang membentur tembok secara realistik.
Bahkan adegan pembunuhan yang terjadi di pabrik ditampilkan penuh, memperlihatkan bagaimana horor bukan hanya datang dari dunia gaib, tapi juga dari manusia itu sendiri.
Ada pula nuansa seksual yang lebih tersirat namun gelap, bukan dalam konteks erotis, melainkan bagian dari trauma karakter yang berakar pada sejarah kelam pabrik itu sendiri.
Semua ini ditampilkan bukan untuk mengejutkan semata, tetapi untuk menyampaikan bahwa teror dalam Pabrik Gula bukanlah teror biasa. Ini adalah teror yang lahir dari trauma kolektif, ketidakadilan masa lalu, dan dendam yang diwariskan secara spiritual.
Membuat dua versi film seperti ini tentu bukan keputusan mudah, baik dari sisi produksi, distribusi, maupun naratif. Tapi dalam kasus Pabrik Gula, langkah ini justru membuka ruang dialog, seberapa jauh film horor lokal bisa dan boleh mendorong batas?
Apakah film horor harus selalu tunduk pada sensor demi pasar luas, atau justru diberi ruang penuh untuk menyampaikan sisi tergelap manusia dan budaya?
Versi Cut hadir sebagai jembatan antara industri dan publik. Ia memungkinkan film horor lokal masuk ke layar lebar dengan skala distribusi nasional, mencakup berbagai kalangan usia, dan tetap memberikan hiburan. Sementara versi Uncut adalah bentuk kebebasan kreatif. Ini adalah film yang benar-benar ingin ditonton oleh para penikmat horor sejati, yang mencari cerita yang kelam, penuh simbolisme, dan tidak takut untuk menghadirkan kenyataan yang tak nyaman.
Fakta bahwa kedua versi ini tetap saling melengkapi menunjukkan kematangan industri film Indonesia dalam mengelola segmentasi pasar. Penonton yang hanya ingin “seram tapi aman” bisa menikmati versi Cut, sedangkan mereka yang ingin “seram tanpa kompromi” bisa memilih versi Uncut.
Secara strategi bisnis, keputusan ini terbukti efektif. Banyak penonton bahkan menonton kedua versi untuk membandingkan secara langsung. Bioskop pun diuntungkan karena bisa memutar film ini sepanjang hari dengan segmen penonton berbeda.
Pada akhirnya, Pabrik Gula berhasil membuktikan bahwa horor lokal bisa tampil berani, cerdas, dan adaptif terhadap regulasi, tanpa kehilangan kekuatan utamanya: membuat penonton takut, berpikir, dan tidak bisa tidur nyenyak. (*/)