Wregas Bhanuteja akan menggarap film panjang ketiganya yang kemungkinan berjudul Levitating bersama PH asal Singapura, Momo Film Co. Apa yang akan diangkat dalam film ini?
FROYONION.COM - Belum genap setahun film teranyarnya berjudul Budi Pekerti dirilis pada September 2023 lalu, Wregas Bhanuteja dikabarkan akan menggarap film panjang ketiganya untuk tahun 2024 ini.
Untuk film yang kabarnya akan diberi judul Levitating ini, Wregas akan bekerjasama kembali dengan rumah produksi asal Singapura, Momo Film Co yang sebelumnya juga ikut menggarap film Budi Pekerti.
Wregas Bhanuteja sendiri merupakan salah satu sutradara berbakat yang dimiliki oleh Indonesia. Bahkan nama Wregas cukup dikenal pada kancah internasional setelah berhasil memenangkan Discovery Prize di Festival Film Cannes 2016 lewat film pendeknya berjudul Prenjak.
Dikenal sebagai sutradara yang sebelumnya banyak menelurkan film pendek berkualitas, Wregas akhirnya menggarap film panjang pertamanya pada tahun 2021 lalu yang diberinya judul Penyalin Cahaya.
Meski sempat terjadi kontroversi karena salah satu kru film terlibat kasus pelecehan seksual, tak lekas membuat film ini sepi peminat.
Bahkan film ini berhasil memenangkan beberapa nominasi di Piala Citra tahun 2021 lalu. Dua di antaranya penghargaan sebagai film panjang terbaik dan skenario asli terbaik.
BACA JUGA: DARI ‘LEMANTUN’ HINGGA ‘PENYALIN CAHAYA’: PERJALANAN KARIER WREGAS BHANUTEJA
Film panjang keduanya, Budi Pekerti, juga meraih kesuksesan yang sama dengan film perdananya. Tak hanya ditonton sekitar 600 ribu penonton sejak masa perilisannya di bioskop Indonesia, film ini juga panen penghargaan di Piala Citra tahun 2023 lalu.
Melihat kiprah Wregas yang gemilang dalam menggarap film, tak mengherankan jika Momo Film Co kembali menggandengnya untuk memproduksi proyek film panjang selanjutnya.
Lalu bakal seperti apakah film Levitating yang akan memulai proses syutingnya pada kuartal ketiga tahun ini?
Belum banyak bocoran soal film Levitating ini, baik dari sinopsisnya maupun para cast yang akan dipilih nantinya. Namun melansir laman Deadline, ada sedikit petunjuk mengenai apa yang akan diceritakan film ini.
Disebutkan bahwa film ini akan mengambil tempat di daerah pinggiran kota kecil yang masyarakatnya menjadikan kerasukan makhluk spiritual sebagai hiburan.
Sorotan utama film ini nantinya akan mengikuti kisah seorang pemuda berumur 20-an tahun bernama Bayu yang bercita-cita menjadi dukun atau pawang di pesta-pesta rakyat untuk pertunjukan kerasukan itu.
Bayu kemudian menjadi sosok penting yang berperan dalam membantu warga setempat untuk menyelesaikan perkara penggusuran lahan di wilayah tersebut.
Berkat bocoran singkat ini, beberapa netizen berkomentar lewat postingan yang dibagikan oleh akun X @FilmIndoSource.
Ada yang menduga bahwa film ini nantinya bakal bergenre horor. Yang lainnya menghubungkannya dengan film ini dengan Talk to Me (2023) karena adanya kesamaan ‘kerasukan sebagai hiburan’ di dalamnya.
Terlebih lagi penggunaan kata ‘levitating’ di sana punya makna yang berhubungan dengan kerasukan juga.
Meski bukan berarti tak mungkin, jika melihat rekam jejak Wregas di film-filmnya dulu, rasanya film panjang ketiganya ini bukanlah film bergenre horor.
BACA JUGA: FILM HOROR THAILAND ‘PEE MAK’ AKAN DIADAPTASI JADI ‘KANG MAK’
Wregas adalah seorang sutradara yang kerap mengangkat lokalitas dalam filmnya, utamanya lokalitas masyarakat Jawa. Sebagai contoh kita bisa melihat itu dalam filmnya berjudul Prenjak dan Lembusura.
Oleh karenanya bukan tidak mungkin ‘kerasukan sebagai hiburan’ dalam Levitating ini nantinya sesuatu yang berkaitan dengan tradisi lokal.
Terlebih lagi banyak tradisi lokal kita, salah satunya dari kesenian rakyat, yang melibatkan makhluk supranatural sebagai bagian dari pertunjukan.
Ketimbang mencurigainya mirip dengan Talk to Me, saya kira Wregas akan mengangkat lokalitas berupa kesenian Jathilan atau Jaranan atau Kuda Lumping yang lekat dengan tradisi masyarakat Jawa.
Indikasi yang mengarah ke sana bisa dilihat misalnya dalam kata trance yang ditemukan pada premis film ini dalam artikel yang ditayangkan Deadline.
Kata ‘trance’ di sana punya makna kerasukan atau ndadi dalam kesenian rakyat Jathilan. Trance merupakan fase ketika si penari mulai dirasuki makhluk spiritual (bisa roh leluhur atau lainnya) dan membuat tingkahnya serta gerakannya menjadi tak keruan.
Clue lainnya bisa kita temui dari profesi tokoh utama film yakni, Bayu, yang disebut ingin menjadi shaman atau dukun atau pawang.
Dalam kesenian Jathilan sosok dukun atau pawang berperan penting dalam mendatangkan makhluk spiritual itu, membiarkannya menguasai tubuh si penari, hingga menetralkannya kembali.
Yang kemudian menjadi menarik adalah tujuan dari tokoh utamanya yang akan membantu untuk menyelesaikan perkara penggusuran lahan di wilayahnya.
Pertanyaan-pertanyaan timbul dari premis singkat ini. Seperti, bagaimana pawang umur 20-an bisa berdampak pada penyelesaian kasus penggusuran lahan nantinya?
Apakah Bayu nantinya bakal di-plot sebagai sosok yang akan menyatukan masyarakat, mengingat dalam kesenian Jathilan, pawang punya kemampuan untuk itu karena dianggap sebagai pengendali pertunjukan?
Lalu, bagaimana cara Wregas mengawinkan lokalitas yang diusungnya dengan konflik yang coba dibangunnya dalam film ini nantinya?
Dari pertanyaan-pertanyaan yang menggelembung berkat premis singkat yang dibocorkan ini, film teranyar Wregas menjadi film yang layak ditunggu.
Meski belum bisa dipastikan, film Levitating sepertinya akan khas Wregas banget, sama halnya dengan film-film Wregas sebelum-sebelumnya.
Hal ini misalnya dapat dilihat dari pemilihan latar tempat yang sepertinya akan mengambil lokasi di kota kecil.
Bisa jadi seperti banyak filmnya terdahulu (Lemantun, Prenjak, Penyalin Cahaya, bahkan Budi Pekerti), Wregas akan memilih lokasi yang masyarakatnya dekat dengan budaya Jawa.
Kemudian kemungkinan juga Wregas akan kembali memasukkan metafora-metafora yang menjadi andalannya dalam film Levitating ini nantinya.
Metafora yang ditampilkan oleh Wregas dalam filmnya cenderung terasa sentimental namun sekaligus juga mengandung kepahitannya tersendiri.
Ada metafora seperti representasi rahim ibu dalam film Lemantun ketika sosok Tri meringkuk di dalam lemari. Vibe yang sama bisa ditemukan juga dalam Budi Pekerti ketika Bu Prani dan Gora tiduran bareng dalam kolam meskipun scene itu merepresentasikan liang kubur.
BACA JUGA: FILM HOROR ‘SINDEN GAIB’ ANGKAT KISAH NYATA DARI TRENGGALEK
Namun, ada kemiripan dari keduanya, yakni scene tersebut seperti digunakan oleh Wregas untuk mengisolasi atau memisahkan tokohnya dari realitas yang berisik dan tengah mengelilinginya.
Momen tersebut bisa dibaca sebagai fase penerimaan (mungkin juga kepasrahan) dari tokoh utama sebelum akhirnya ia menyadari kalau dirinya telah benar-benar dikalahkan.
Kekalahan itu sebetulnya sejak awal memang sudah bisa diprediksi. Mudah ditemukan dalam film Wregas, pihak yang diperkirakan bakal kalah di awal akan tetap kalah pada akhirnya dari pihak yang dilawannya (biasanya mereka yang lebih punya kuasa).
Pada akhirnya, seperti filmnya terdahulu, dalam Levitating nantinya Wregas akan kembali menampilkan fenomena yang lemah melawan yang kuat, yang kecil melawan yang besar.
Perjuangan masyarakat akar rumput entah melawan penguasa maupun sistem bisa dibilang merupakan nafas di film-film Wregas. Meskipun penonton akhirnya tahu perjuangan mereka cenderung tak berdampak bahkan dikalahkan dengan telak.
Namun Wregas lewat filmnya seakan ingin mengatakan bahwa manusia harus tetap berjuang dan berupaya meskipun peluang menangnya tipis.
Sebagaimana ungkapan dari Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia yang berkata usai kekalahannya, “Kita telah melawan, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” Apakah Wregas penggemar Pram? Bisa jadi sih.
Mengingat proses syuting baru dikerjakan dalam beberapa bulan mendatang, sepertinya film Levitating akan tayang menjelang akhir tahun. Jadi, sabar saja bakal seperti apa nantinya film ini. (*/)