Sebuah band mencampurkan nuansa hardcore dan elemen etnik yang menjadi identitas dari budaya tradisional Indonesia. Bagaimana respon pendengar anak muda kreatif terhadap karya-karya mereka?
FROYONION.COM - Kata siapa budaya luar lebih keren dari budaya lokal kita, lo wajib banget tahu band yang satu ini. Yang mencoba menggabungkan budaya tradisional Indonesia, dengan genre musik hardcore miliknya.
Hai Civs! Sebagai anak muda yang hidup di zaman serba ada, kita banyak memiliki kebiasaan baru. Efek dari kebiasaan ini menimbulkan banyaknya keinginan, alias banyak mau entah untuk berkarya atau menjelajah. Salah satu tujuan dari semua hal tersebut adalah menunjukkan eksistensi, dengan menunjukkan ekspresi melalui kemampuan yang dimiliki, atau yang sedang digeluti.
Tetap ada yang perlu diperhatikan nih Civs, kalo boleh meminjam kata-kata dari Paul Sartre yakni “Esensi itu letaknya sebelum eksistensi” jika diperhatikan lagi. Kata-kata tersebut merujuk pada esensi (kebenaran) dalam menunjukkan suatu eksistensi. Artinya kita harus mencari tahu soal kebenaran, tentang cara yang akan digunakan untuk menunjukkan eksistensi kita.
Eksistensi tersebut bisa dimunculkan, lewat hobi berkarya melalui bidang apapun, seperti dalam bidang musik misalnya. Tak sedikit anak muda yang menggeluti bidang musik ini, apalagi sudah mulai banyak bermunculan genre-genre musik yang bervariasi. Dengan mengikuti adanya perkembangan zaman, yang mulai mengulik genre musik sesuai dengan kreativitas para musisi.
Melansir dari channel YouTube milik “Dosis Musik Harian”, genre musik keras menjadi salah satu genre yang cukup populer. Dikalangan anak muda sendiri genre hardcore ini mulai diminati pada sekitar tahun 1970-an. Setelah itu mulai tersebar dan sampai ke Indonesia, pada tahun 2000-an, akhirnya mulai berkembang di kalangan anak muda, hingga detik ini.
Musik bergenre keras, suatu budaya baru yang mulai dikembangkan oleh adaptasi genre musik rock. ciri khas dari genre musik harcore ini sendiri, melalui instrumen alat musik keras yang dibawakan. Kemudian juga lirik yang dalam dan cenderung tidak umum, serta budaya di dalamnya yang identik dengan, kegelapan, kesengsaraan, kemarahan hingga simbol kematian.
Kevin (23) adalah seorang vokalis band musik bergenre keras asal Malang, banyak orang yang kagum pada sosok anak muda ini, bagaimana tidak, selain vokalis band. Kevin memiliki profesi lain yang bisa dibilang, cukup kontras dengan profesi pertamanya, yaitu sebagai guru Taman Kanak-Kanak (TK) di salah satu daerah di malang. Seketika ini mengubah penggambaran personal branding yang dibawa, musik bergenre keras identik dengan budaya personal yang hitam keras dan brutal, namun setelah melihat profesi keduanya, apakah anggapan kita tetap sama?
Kegemarannya akan musik membuat kevin membentuk sebuah group band, yang bernama Utkarsa. “Utkarsa ini dibentuk melalui keresahan saya, karena saya ingin meningkatkan kesadaran dan respon orang-orang perihal budaya asli Indonesia, dan jika boleh memaknai arti kata “utkarsa”. Dalam bahasa Sansekerta artinya terbitnya kesadaran, ” kata vokalis band Utkarsa tersebut.
Keresahan tersebut menjadi awal mula, ide kreatif sekaligus kolaborasi dari band Utkarsa, yang menggabungkan musik bergenre hardcore dengan budaya tradisional asli indonesia. Ide tersebut muncul, melalui keresahan sang vokalis, yang merasa kurang akan respon masyarakat terhadap budaya asli tradisional Indonesia. Karena idealismenya tersebut, vokalis band hardcore sekaligus guru TK tersebut akhirnya mengeksekusi ide nya lewat band Utkarsa yang diciptakannya.
Band Utkarsa memiliki ciri khas yang unik, dengan menggabungkan dua elemen yang berseberangan, sekaligus menjadi identitas dari budaya tradisional Indonesia. “Tentu saja ide penggabungan musik harcore dan budaya tradisional ini, telah melalui pemikiran yang matang dari vokalis kami, hal ini sudah sempat mau ia terapkan di band sebelumnya. Namun belum dieksekusi disana, sebab idenya belum bisa diterima oleh mayoritas personil band sebelumnya,” tegas Fura personil band Utkarsa.
Pada dasarnya kolaborasi yang dibentuk oleh band Utkarsa ini, melalui proses pemantapan konseptual yang muncul pada keresahan mereka. Perihal bagaimana respon orang-orang khususnya anak muda tentang budaya, yang di rasa masih kurang. Dan pada akhirnya ini menjadi strategi tersendiri bagi band Utkarsa. “Jangan berhenti berkarya,” kata Kevin.
Utkarsa sendiri mulai dibentuk sekitar tahun 2020, sebelum itu vokalis band Utkarsa ini sempat membentuk band, dengan genre yang sama, yang diberi nama Backing Attack di tahun 2017, hingga terbentuklah Utkarsa dengan genre yang cukup populer dikalangan anak muda yaitu hardcore berjenis metalcore, Utkarsa memiliki enam personil didalamnya, Kevin sebagai vokalis, Reza sebagai gitaris satu, Fura sebagai gitaris dua, Affan sebagai bassist, dan Cetak sebagai drummer.
“Uniknya, personil Utkarsa adalah teman-teman saya semua, dan mereka ngga saling kenal, jadi saya mempertemukan mereka di band Utkarsa ini,” ujar vokalis band yang juga guru TK tersebut. Meski baru merilis satu lagu yang berjudul Sambat semar, makna lagu yang dibawakan didalamnya, cukup menjadi alternatif bagi keresahan Utkarsa di awal.
Selain itu adanya alunan sinden hingga gamelan, menjadi penekanan dalam lagu tersebut untuk mengkaji hal-hal yang berbau budaya. Penekanan tersebut juga diterapkan pada album bernama Sirno Ilang Kertaning Bumi, yang akan dirilis pada akhir tahun 2022. Album ini terinspirasi dari serat Jangka Jayabaya, yaitu sebuah ramalan yang berasal dari salah satu tokoh besar Kerajaan Panjalu.
Tidak hanya melalui lagunya Sambat Semar, yang menampilkan suasana budaya tradisional, namun dari aksi panggungnya saat tengah berada di gigs, Utkarsa memakai wardrobe dengan unik. Sang vokalis tidak memakai atasan dan hanya dilengkapi dengan bawahan kain jarik bermotif batik, dan memakai Topeng Bapang berwarna merah sebagai penggambaran atau simbol kemarahan.
Strategi tersebut merupakan visualisasi dari mereka, tentang penggambaran kolaborasi musik dan tradisi. “Saya sebagai penikmat musik-musik keras, hardcore dan lain-lain, merasa band Utkarsa adalah visualisasi terbaik untuk pencampuran musik modern dan adat budaya asli Indonesia, respon saya untuk lagu dan penampilan panggung nya membuat saya merinding,” kata Agi (21) mahasiswa asal Universitas Negeri Malang sebagai penggemar Utkarsa. Dengan genre hardcore jenis metalcore, Utkarsa bisa dibilang cukup sulit menemukan banyak pendengar. “Musik pasti memiliki pasarnya sendiri-sendiri, dan kita sebagai pelaku seni hanya perlu berjalan sesuai kenyamanan,” kata Kevin.
Musik pasti memilih penggemarnya masing-masing, yang perlu disiapkan hanyalah strategi untuk mengeksekusi. Melalui pengalamannya tampil dalam sebuah acara musik-musik pop, kata “membaur” sangat cocok untuk strategi band Utkarsa saat itu. Mengingat bahwa jika digali lagi, kebiasaan penggemar musik pop dan musik bergenre keras sangat berbeda, mulai dari personality penampilan hingga kebiasaan menikmati konser di panggung.
Melalui band Utkarsa yang merupakan representasi seorang anak muda dengan pemikirannya yang luar biasa. Seolah-olah menggabungkan budaya baru dengan budaya lama, lewat karya mereka di bidang musik. Perbedaan tidak menjadi sebuah masalah, bagi sebuah kreativitas perbedaan adalah sebuah unsur yang unik untuk dapat diolah. Proses dan eksekusi karya oleh vokalis band Utkarsa asal Malang ini patut ditiru oleh semua kalangan, perihal kepekaannya yang memanfaatkan perkembangan zaman. (*/)