Walaupun tidak terlalu kuat, tapi setidaknya kita bisa kembali menyaksikan akting Deva Mahenra di film horor setelah “Teluh Darah” cukup menyenangkan. Begitu juga Iwa K yang biasanya ngerap, di film ini menjadi pocong.
FROYONION.COM - Film Kisah Tanah Jawa: Pocong Gundul di luar ekspektasi penulis. Walaupun sudah membaca versi bukunya, penulis mengharapkan sesuatu yang erat dengan kaitan budaya Jawa.
Dengan sosok pocong sebagai karakter sentral di sini, yang agak mengecewakan adalah penampakan pocong gundulnya yang kalau dicermati malah lebih mirip alien.
Nuansa budaya Jawa terkesan hanya menjadi latar saja dan bagi penulis yang menyukai hal-hal berbau Jawa ini sudah cukup menghibur. Kalau soal tingkat keseramannya, biasa saja.
Tema yang diangkat masih jarang dibahas di dunia perhororan Indonesia; retrokognisi yaitu kemampuan untuk bisa melihat kejadian yang sudah lama terjadi. Inilah yang menjadi “penggerak” dalam film ini”.
Buat kamu yang sudah mengenal sosok Om Hao alias Hari A. Kurniawan, film ini memang dibuat berdasarkan pada kumpulan pengalaman nyatanya dan berkutat tentang asal mula pocong gundul.
Diceritakan dalam film ini, Deva Mahenra (Hao) membantu keluarga yang anak perempuannya hilang di sekolah. Ternyata anaknya diculik pocong gundul. Dengan kemampuan retrokognisi yang dimilikinya, Hao melihat kembali hari saat si anak perempuan tersebut hilang dan membantu pencariannya.
Setelah si anak ditemukan, masalah belum selesai. Teror tidak hanya harus diderita si anak, melainkan juga Hao.
Setelah diselidiki, ternyata di masa lalu (belasan tahun lalu), dulunya ada ritual yang pernah dilakukan oleh dukun jahat (diperankan oleh Iwa K). Dan dalam salah satu ritualnya, dukun jahat tersebut bersekutu dengan banaspati untuk mendapatkan keabadian.
Dalam persekutuannya tersebut dukun jahat ini setiap 10 tahun sekali harus mengorbankan nyawa manusia yang memiliki weton (hari kelahiran menurut penanggalan Jawa) tertentu.
Mengapa Hao juga ikut diincar? Ternyata bukan hanya karena dia orang yang berani menyelamatkan anak perempuan tersebut, tapi dia juga memiliki weton sama dengan si dukun jahat.
Seperti bisa ditebak, alur film seputar usaha Hao menyelamatkan si anak perempuan dan kilas balik pengalaman mistis pertamanya di masa kecil.
Sayangnya flashback ini terkesan itu-itu saja. Padahal setidaknya bisa dibuat lebih menarik jika dibungkus lebih apik lagi agar lebih epik — karena Om Hao adalah sosok yang memang sudah punya karakter kuat di dunia nyata.
Aksen Jawa dan nuansa Jawa yang menjadi background cerita saja ternyata tidak cukup untuk menguatkan karakter tersebut. Semestinya bisa lebih baik menurut penulis.
Di film ini sendiri, hadir karakter Rida (Della Dartyan) yang menjadi teman Hao dan walaupun ia tidak memiliki kekuatan indra keenam yang sama, Rida ini juga doyan dengan yang mistis-mistis.
Dari awal proses pencarian anak yang hilang tersebut sampai gangguan dari si pocong gundul, Rida diceritakan selalu membersamai Hao. Malahan keberadaan Rida bisa disebut lebih menonjol ketimbang Hao sendiri.
Dengan kata lain, seolah di sini diselipkan sebuah pesan bahwa kemampuan indra keenam saja tidak cukup untuk menyelamatkan hidup manusia. Sesakti apapun, sebagai manusia kita tetap butuh teman yang loyal dan support system yang kokoh. Mungkin itu pesan yang bisa diambil dari eksistensi karakter Rida dalam hidup Hao di film.
Meskipun demikian, menurut penulis karakter Rida di film agak berlebihan (over) dan kurang natural di beberapa adegan. Contohnya, ketika dia senyum dan berusaha menyemangati Hao ataupun ketika ada adegan yang diharapkan lucu dan memecah tawa, hasilnya malah tertawa yang garing. Jadi, unsur komedinya tidak selalu berhasil diselipkan dengan baik. Yang ada para penonton malah tertawa iba dan terpaksa karena adegannya sudah terlanjur ada.
Namun, ending-nya bisa dikatakan cukup menggelitik dengan statement terakhir yang kuat dari Hao dan membuat kita yang nonton bergumam, “Oh begitu…”
Kira-kira apa yang dikatakan oleh Om Hao? Nonton saja langsung agar artikel ini tidak menjadi spoiler.
Meski menurut penulis, film ini tergolong “B” saja tapi harus diakui bahwa masih banyak hal yang bisa diapresiasi di dalamnya. Selamat menonton! (*/)