Popularitas drama Korea nggak hanya mencakup wilayah Asia aja bahkan jadi fenomena global. Padahal Jepang juga dikenal sebagai salah satu negara Asia yang punya misi budaya.
FROYONION.COM - Dominasi tontonan asal Korea Selatan nyata adanya. Mulai dari film, program TV sampai series atau drama Korea (drakor) selalu muncul teratas di layanan streaming film. Ngomongin soal industri sinema di benua Asia, mayoritas orang Indonesia terutama gen Z fasih menyebutkan judul-judul film atau drama Korea Selatan.
Padahal, Jepang sebagai negara yang juga terkenal dengan budaya pop punya banyak drama yang mencuri perhatian warga Asia. Namun, kenapa ya drama Jepang atau yang biasa disebut dorama nggak sepopuler drama Korea Selatan atau drakor?
Melansir Mydramalist dalam sejarahnya, drama Jepang pertama yang disiarkan di televisi Jepang berjudul Yugamae yang tayang pada tahun 1940. Namun, pada tahun 1941 hingga 1950-an. Korporasi penyiaran Jepang NHK menghentikan produksi dan penyiaran karena adanya perang dunia II. Hingga akhirnya, di era tahun 50-an beberapa drama Jepang muncul sejalan dengan perkembangan televisi berwarna.
Di tahun 1966 hingga 1970-an popularitas drama Jepang didominasi tema superhero seperti Ultra Q dan Kamen Rider. Di era 80-an muncul lebih banyak drama Jepang bertema romansa yang ditayangkan pagi hari atau biasa disebutasadora. Salah satu drama asadora yang populer hingga di tayangkan di Indonesia melalui TVRI adalah Oshin (1983)
Berlanjut ke era 90-2000-an banyak drama Jepang yang hits hingga ke beberapa negara Asia lain termasuk Indonesia. Beberapa di antaranya ada Itazurana Kiss (1996) yang telah di-remake ulang oleh sineas Korea Selatan dengan judul Playful Kiss (2010). Ada juga Hana Yori Dango (2005) yang kisahnya dari manga Jepang dengan judul yang sama. Hingga yang terbaru ada Alice in Borderland dan First Love yang mampu menarik perhatian tak hanya Asia tapi dunia.
Sedangkan dunia penyiaran di Korea Selatan agak terlambat sedikit dibanding Jepang. Berdasar data yang dikumpulkan oleh salah satu anggota (Ha-Yoon) komunitas pecinta drama Korea, Pada tahun 1962 Backstreet of Seoul menjadi judul drama pertama yang tayang melalui stasiun penyiaran nasional (KBS) yang baru dibentuk setahun sebelumnya.
Era 70-an popularitas drama Korea makin meningkat, terutama drama berjenis saeguk (historical). Bagi pemerintah Korea Selatan, siaran televisi merupakan medium untuk memperluas pengetahuan budaya Korea serta media hiburan pasca perang. Sehingga di era 70-80-an pemerintah Korea Selatan membantu biaya produksi tayangan termasuk drama.
Hingga saat televisi berwarna muncul di Korea Selatan dan longgarnya bisnis serta aturan sensor di era tahun 80-90-an, popularitas drama Korea semakin massif dan persaingan jaringan televisi semakin ketat. Memasuki era 2000-an sejalan dengan hallyu movement, drama Korea Selatan tak hanya dikenal di kawasan Asia Timur bahkan sampai ke Indonesia. Salah satu judul drakor yang mendapat popularitas di luar Korea Selatan adalah Winter Sonata (2003).
Keterlibatan pemerintah, para eksekutif bisnis dan warga Korea Selatan yang kembali setelah belajar, bekerja dan tinggal di luar negeri terutama di Amerika Serikat jadi salah satu faktor kuat popularitas drama Korea Selatan. Mereka turut andil dalam membangun kerjasama bisnis industri hiburan.
Menurut Dr. Jung Bong-choi, a former professor of cinema studies at New York University melalui Elle di era awal hallyu wave dibentuk di era 90-2000 pemerintah Korea Selatan berhasil membangun kerjasama distribusi konten dengan China. Sebagai ajang pembuktian dan penyesuaian di era globalisasi. Karena saat itu, China menganggap konten tayangan Amerika Serikat tidak sesuai dengan nilai-nilainya. Dan tidak ingin meng ada konflik politik dengan Jepang.
Selain karena pemerintah dan warganya yang telah belajar dan hidup di luar negeri, popularitas drama korea tak bisa lepas dari beberapa hal di bawah ini:
Drama Korea terkenal karena alur cerita, akting aktor dan aktris hingga tampilan visual- audio yang menarik dan beragam. Penulis naskah drama merupakan kunci dari menariknya cerita drama Korea. Dilansir dari Elle, pesan-pesan yang disampaikan oleh banyak drama Korea seperti pengorbanan, kesetiaan dan pengabdian jadi kekuatan cerita drakor yang bisa diterima semua kalangan.
Tim produksi seperti sutradara, produser, kameramen mengikuti perkembangan teknologi lantaran kebanyakan pernah belajar atau bekerja di industri hiburan Amerika Serikat. Aktor dan aktrisnya pun kebanyakan lulusan jurusanteater, seni peran, film dan jurusan yang berkaitan dengan entertainment lainnya. Bahkan bagi para Idol (sebutan anggota boy/girl group) mereka bisa jadi aktor/aktris karena saat menjalani trainee telah dilatih akting oleh agensinya
Streamers di sini adalah mereka yang aktif mendistribusikan konten drama Korea hingga bisa dijangkau oleh siapapun secara global. Jadi, nggak hanya bisa dinikmati oleh warga Korsel melalui stasiun tv saja. Beberapa nama perusahaan streamers yang terkenal sebelum adanya Netflix, Viu atau Disney Plus ada DramaFever dan Viki. Dan kini lebih meluas karena ada ketertarikan dari pihak luar tak hanya dalam negeri dan Asia untuk berinvestasi misalnya Netflix, Viu, dan Disney Plus.
Bisnis entertainment Jepang terkenal dengan model bisnis yang “politis dan feodal”. Artinya, model bisnis yang digunakan terlalu mengikat karena adanya kepentingan tertentu. Salah satu bentuk model bisnis dilansir dari Japan Times adalah kontrol penuh agensi dalam mengarahkan bakat dan aturan yang membuat talent tidak leluasa bahkan sulit keluar dari agensi.
Mulai dari agensi, stasiun penyiaran hingga rumah produksi harus satu paket alias pihak yang sama. Tidak sendiri sendiri dan saling menjalin kerjasama. Selain itu, banyak agensi yang masih melihat bakat hanya dari penampilan, misalnya standar artis harus punya tampilan yang yang cute saja. Sehingga dinilai sangat menjual.
Mulai dari segi tema, alur cerita hingga promosi masih dominan menyesuaikan audien dalam negeri. Misalnya salah satu drama Jepang yang populer dan mendapat rating tertinggi sejak tiga dekade terakhir berjudul, Hanzawa Naoki(2013). Di Jepang drama itu sangat populer, tapi tidak di luar Jepang.
Tidak populernya Hanzawa Naoki di luar negeri menurut Kevin Murasaki seorang Videographer Jepang-Amerika dilansir dari Japan Insider drama tersebut diproduksi dan disiarkan oleh lembaga penyiaran terbesar di Jepang, TBS yang tidak ingin mempromosikan kontennya ke luar negeri karena keterikatan dengan sponsor bisnis di Jepang yang masih menargetkan audien dalam negeri. Belum lagi dari segi cerita yang segmented alias hanya bisa dipahami oleh orang Jepang atau mereka yang telah mendalami budaya Jepang.
Konten-konten Jepang sangat sulit dijangkau bagi orang di luar negara Jepang. Ini karena terikatnya konten dengan agensi, lembaga penyiaran dan rumah produksi. Sehingga distribusi konten yang bisa diakses pun sulit dan hak cipta juga terikat. Jadi, nggak bisa sembarangan untuk mendistribusikan konten.
Berbeda dengan film dan drama, popularitas anime Jepang sudah mendunia. Salah satu yang terkenal saat ini adalah Attack of Titan. Ini terjadi karena produksi anime dipegang oleh rumah produksi anime bekerjasama dengan penerbit dan penulis manga. Produksi anime yang sudah masif tidak sejalan dengan produksi drama yang bisa saja diangkat dari komik manga. Namun, karena bagi Jepang kedua industri ini berbeda maka cukup sulit untuk dibuat live-action atau model opera soap-nya
Dilihat dari tren drama beberapa tahun ini, drama Jepang bisa dibilang masih belum sepopuler drama Korea. Namun, drama Jepang sudah mulai menunjukkan dirinya di panggung sinema global. Hal ini ditandai dengan kuatnya niat Netflix untuk berinvestasi memproduksi dan menyebarluaskan konten Jepang. Hingga munculnya drama-drama Jepang yang sedang ramai dibicarakan
Namun, di tahun 2020 salah satu series atau drama Jepang yang ramai dibicarakan gen Z Indonesia hingga secara global adalah Alice in Borderland. Series yang diproduksi oleh Netflix dan bekerjasama dengan rumah produksi Jepang, Robot Communication ini bahkan telah muncul seri keduanya tahun 2022 lalu. Di tahun 2023 ini, drama Jepang lain First Love menurut imdb mendapat popularitas global sebagai series non-english.
Bisa dibilang Jepang kini masih di tahap membuka diri dan penyesuaian. Menurut Kaata Sakamoto, Netflix head of Japan Content konten Jepang, Netflix Jepang masih selektif dalam mencari naskah, menyesuaikan budget dan menyesuaikan dengan industri hiburan di Jepang yang masih konservatif. Mereka ingin menciptakan identitas konten Jepang yang unik hingga yang belum pernah ada. Mari kita doakan saja semoga drama Jepang semakin dikenal dan tidak terus-terusan dibandingkan dengan drama Korea Selatan. (*/)