![](https://www.froyonion.com/themes/froyonion/frontend/images/new-logo.png)
Disutradarai James Mangold, seri penutup Indiana Jones ini membawamu ke sisa-sisa kejayaan sang arkeolog pemberani.
FROYONION.COM - Setelah 15 tahun sejak film keempatnya, Indiana Jones 5 dipaksa untuk menunda masa pensiun sebagai petualang demi menjaga kestabilan alur sejarah dengan mencegah bersatunya artefak berupa plat Antikythera.
Plat ini konon diciptakan Archimedes sebagai kompas dalam mencari “celah” untuk melakukan perjalanan menelusuri waktu.
Layaknya film petualang dengan formula “catch me if you can” (bukan dalam konteks judul film), yang di dalamnya sang protagonis menjadi pemodal utama dalam memenuhi keinginan sang antagonis, Indiana Jones and The Dial of Destiny dikisahkan juga dengan menggunakan formula tersebut.
Sosok Indiana Jones (Harrison Ford) secara tidak sengaja menjadi umpan dalam membantu Dr. Foller (Mads Mikkelsen) mencapai tujuannya, yaitu mengubah sejarah dengan membawa Nazi sebagai pemenang perang dunia.
Untuk mengerti film ini, untungnya kamu tidak perlu untuk menyaksikan seri sebelumnya. Namun, Indiana Jones and The Dial of Destiny tentu membawa nostalgia bagi mereka yang mengikuti petualangannya sejak 1981.
Sebagai seri penutup, The Dial of Destiny mempertanyakan soal seberapa jauh sebenarnya seorang individu berusaha untuk tetap menjadi layak sebagai versi terbaik dirinya sendiri.
Indiana Jones atau yang dalam film kerap dipanggil dengan Indy, kini bukan lagi pria tangguh yang bertualang untuk melindungi artefak-artefak agar aman di tempat semestinya.
Dirinya digambarkan di dalam film ini sebagai pria paruh baya biasa, yang mencoba bertahan hidup sebagai seorang dosen jurusan arkeolog. Indy tampak jauh dari sosok pahlawan yang disambut ataupun dikenang. Jasanya bagai hantu yang hanya diketahui segelintir orang. Mereka yang tahu cuma teman bertualangnya atau musuh-musuhnya.
Pertemuannya dengan Helena Shaw, membuat Indy mempertanyakan kembali dirinya. Ia bertanya pada dirinya sendiri: “Ke manakah sosok Indiana Jones yang pemberani itu?”. Apakah dirinya masih layak untuk mengenakan topi dan menggenggam pecutnya?
Menjawab panggilan yang ada di hadapannya, Indy mencoba kembali mengenakan topinya. Namun petualangannya kali ini, bukan menguji kelayakannya sebatas sebagai seorang Indiana Jones. Lebih jauh dari itu, ini adalah ujian bagi dirinya sebagai sosok teman, ayah, suami dan dirinya sendiri yang akan selalu ia cari.
Indiana Jones tidak cuma bergumul dengan latar tempat Amerika Serikat. Namun, di film ini ia dikisahkan berkeliling dunia, dengan modal perjalanan yang berdasarkan logika tidak bakal masuk akal bagi pikiran penulis.
Dengan durasi total 154 menit, Dial of Destiny terasa seperti film 3 jam yang bergerak sangat lambat meski aksinya terus mengalir, tanpa henti. Bagi penulis, Dial of Destiny menjadi film petualangan yang relatif membosankan.
Penulis sempat mengira bahwa akhir dari petualangan Dial of Destiny menjadi awal baru untuk franchise Indiana Jones selanjutnya seperti X-Men Days of Future Past. Itu karena ceritanya masih seputar perjalanan menelusuri waktu atau time travel. Namun, alih-alih membuka petualangan baru, Dial of Destiny benar-benar menjadi penutup dan hanya mungkin dilanjutkan dengan me-reboot filmnya dari awal.
Meski secara umum membosankan bagi penulis, film ini mengandung sebuah pesan universal yang kita bisa petik. Pesan itu adalah pada akhirnya, kelayakan diperoleh bukan hanya dari usaha kita memposisikan diri tapi juga pandangan dan bentuk kepercayaan yang diberikan orang lain terhadap diri kita. Dan jika kita dikelilingi orang-orang yang tepat, akan selalu ada tempat untuk menjadi layak bagi kita. (*/)