Film Inang dan film Qorin merupakan dua film horor perdana produksi IDN Pictures yang mengangkat isu-isu penting. Sayangnya kedua film itu cukup mengecewakan. Kenapa?
FROYONION.COM - Sewaktu awal pemutaran film Qorin dan menyadari bahwa film horor kali ini diproduksi oleh IDN Pictures, teman nonton saya di sebelah berkata, "Semoga ini lebih baik ketimbang Inang."
Keraguan saya juga barangkali sama. Namun saya berangkat menonton film ini dengan satu pembelaan yang belum terbukti kesahihannya, bahwa film ini adalah film festival, barangkali akan saya temukan satu-dua hal yang unik di sini, akan ada kebaruan dari segi teknik menciptakan teror dan jumpscare atau apalah.
Namun setelah menontonnya, satu persatu prasangka baik saya dipatahkan. Nyatanya, film Qorin tak lebih mending ketimbang film Inang, malah lebih buruk. Film Qorin masih membawa problem yang sama seperti di film Inang yang membuat film ini jauh dari kata memuaskan.
Seperti halnya film Inang, isu sosial juga diangkat di film Qorin ini. Jika di film Inang isu yang diangkat soal generasi muda yang nggak lagi percaya pada tradisi–dalam hal ini tradisi Rebo Wekasan–dan menganggapnya sebagai tahayul; film Qorin mengangkat isu yang memang lagi marak, soal isu pelecehan seksual di pesantren yang semestinya menjunjung tinggi aturan agama.
Meski isu yang diangkat memang penting, sayangnya kedua film horor bikinan IDN Pictures ini tampak bermasalah dari cara mereka mengeksekusi idenya.
Film Inang misalnya ingin mengatakan betapa generasi muda nggak lagi percaya pada tradisi orang tua dulu, menganggapnya sebagai mitos belaka, bahkan ditampilkan mereka menolak dan melihat itu sebagai pembodohan.
Hal ini bisa dilihat dari sikap Bergas (Dimas Anggara) yang menolak percaya pada tradisi yang diyakini orangtuanya, yaitu tradisi Rebo Wekasan.
Sayangnya film Inang seperti nggak sepenuhnya niat menggali isu tersebut, bahkan terkesan hanya menyentil doang. Sempat disinggung di awal film, isu soal tradisi Rebo Wekasan itu tiba-tiba lenyap dan digantikan dengan cerita Wulan yang hamil di luar nikah.
Kekasih Wulan menolak bertanggungjawab dan menyarankan aborsi sebagai solusi. Wulan menolak dengan dalih nggak tega. Hingga kemudian ia bertemu sepasang suami-istri yang bersedia menampungnya dan menjadi orangtua angkat bagi anaknya kelak.
Kita baru berjumpa dengan "tradisi Rebo Wekasan" lagi setelah Bregas, anak dari pasangan suami-istri tersebut, pulang. Bregas yang lahir bertepatan dengan hari Rebo Wekasan dianggap sebagai anak yang bakal tertimpa kesialan yang bahkan bisa mengancam nyawanya.
Setelah munculnya Bregas, pace cerita jadi agak ngebut. Pesan moral di film ini, disampaikan secara gamblang dan buru-buru lewat dialog panjang yang berujung debat antara anak dan orangtua. Hal ini membuat pesan atau isu yang dibawakan terasa dangkal bahkan nggak membawa emosi apa pun. Sebagai penonton, melihat scene itu, saya hanya bisa berkomentar, "Oh gitu yaa."
Saat mengira-ngira apa masalahnya hingga menjadikan pesan itu terasa hambar, saya sempat menduga jeda yang panjang dan terlambatnya isu tersebut masuk, menjadi alasannya. Namun ada alasan lain yang saya rasa nggak kalah berpengaruh: "Ngapain sih harus diangkat di film horor?"
Di film Inang, saya masih memakluminya karena tradisi di masyarakat kita memang dekat dengan hal-hal berbau mistis. Dan jika direkatkan dengan film horor masih bisa dicari titik temunya. Meski di film ini saya rada kecewa karena ritual ruwat yang dipakai buat membuang kesialan anak yang lahir saat Rebo Wekasan, diganti dengan ritual penumbalan bayi.
Sementara itu, rasanya saya sulit memakluminya di film Qorin. Sebab isu pelecehan seksual di pesantren yang diangkat di film ini, saya rasa sulit dicarikan titik temunya dengan genre horor.
Yang akhirnya terjadi, film Qorin terasa dangkal dalam menggali isu tersebut. Bahkan sesekali film ini terlihat kebingungan antara harus menyuarakan isu yang dibawakannya atau harus fokus pada membuat penonton ketakutan.
Hal ini terjadi karena isu tersebut terlambat masuk dan terlambat diketahui oleh penonton, yang akibatnya di setengah durasi awal film ini, sebagai penonton sulit rasanya untuk nggak mengeluh, "Film ini mau nyeritain apaan sih?"
Bahkan perihal konsep soal jin Qorin di film ini nggak terjelaskan dengan baik, yang mengakibatkan penonton tersesat dalam tafsirnya masing-masing soal konsep jin Qorin itu sendiri. Seperti apakah itu? Bagaimana cara kerjanya?
Namun kembali lagi, seperti halnya film Inang, saya rasa ada cara lain yang lebih baik buat mengangkat isu tersebut selain mengemasnya dalam film bergenre horor. Dan lagi-lagi saya harus bertanya, "Ngapain sih harus diangkat di film horor?"
Isu-isu di dua film tersebut, rasanya bakal tersampaikan dengan baik jika keduanya bukan film horor.
Isu di film Inang misalnya bisa ditaruh dalam wadah film bergenre drama yang dibalut dengan sedikit taste komedi agar terasa cair dan mudah diterima.
Sedangkan saya membayangkan isu pelecehan seksual di film Qorin rasanya lebih tepat jika ditaruh di film drama berbalut thriller psikologi–potensi ini terlihat betul di menit-menit akhir film.
Ketimbang memaksakannya masuk ke film bergenre horor yang melibatkan kekuatan mistis juga makhluk gaib, dan membuat isu-isu tersebut terkesan nggak betulan terjadi akibat "dunia lain" yang dibangun oleh film horor; dan membuat cerita juga kesan horornya jadi serba nanggung; menaruhnya di wadah yang tepat akan membuat isu-isu tersebut terasa lebih membumi dan relate.
Sebagai salah satu industri media kreatif yang baru menapaki ranah perfilman lokal, saya berharap semoga IDN Pictures ke depannya bakal terus memproduksi film-film yang bagus dan menarik ditonton, sebagaimana yang sudah mereka tunjukkan di film Srimulat: Hil yang Mustahal. Ya, semoga. (*/)