Makoto Shinkai lewat ‘Kimi no Na wa’ dan ‘Tenki no Ko’ meracik cerita bertema cinta dan bencana. Seberapa bagus racikan Makoto kali ini lewat ‘Suzume no Tojimari’? Major spoiler alert!
FROYONION.COM - Makoto Shinkai punya rekam jejak bagus dalam meramu karyanya. Beberapa juga diterbitkan ke dalam bentuk novel. Sebut saja Kimi no Na wa dan Tenki no Ko. Masing-masing masuk layar sinema pada tahun 2016 dan 2019.
Keduanya punya grafis menakjubkan. Dua judul itu langsung menyihir penonton. Kini Makoto telah menyajikan garapan teranyar, Suzume no Tojimari juga membawa tema mirip dengan dua film sebelumnya.
Judulnya berasal dari nama pemeran utama, Suzume si gadis 17 tahun, yang bertualang ke seantero Jepang untuk mencegah terjadinya bencana. Bukan untuk mengisi seminar pencegahan bencana, namun menutup pintu sumber bencana bersama lelaki misterius.
Suzume bertemu dengan lelaki misterius dengan tidak sengaja. Ia meminta bantuan kepada Suzume. Menutup pintu untuk mencegah bencana menyebar di Jepang. Pintu-pintu yang jadi sumber bencana itu harus ditutup. Petualangan Suzume dan Lelaki Misterius dimulai.
Kisah yang disajikan mungkin terdengar familiar. Yep. Pintu yang jadi sumber bencana itu mirip dengan kisah Kotak Pandora. Kotak yang menyimpan segala kejahatan dan kesengsaraan, termasuk bencana. Menurut mitologi Yunani, ketika Kotak (sebenarnya guci) Pandora dibuka, seluruh malapetaka keluar darinya. Meski mirip, belum ada konfirmasi resmi dari kreatornya. Atau lebih tepatnya penulis ingin sedikit cocoklogi saja. He he.
Setelah ditelusuri, ada mitologi yang lebih mirip dari Kotak Pandora. Asalnya malah dari Jepang sendiri. Ōnamazu atau lele raksasa yang dipercaya jadi biang kerok gempa yang mengguncang Jepang. Kisahnya benar-benar mirip dengan penceritaan asal muasal gempa pada jagat Suzume.
Ōnamazu dipercaya berkeliaran di lumpur yang ada di bawah tanah pulau-pulau Jepang. Ada seorang penjaga yang menahan kekuatan Lele Raksasa, ia bernama Kashima. Berbekal batu yang digunakan untuk menyegel kekuatan Ōnamazu disebut kaname-ishi (Batu Fondasi). Bukankah mitologi ini sangat mirip dengan kisah di Suzume?
Kisah Pintu Pandora dan Lele goreng Raksasa ini telah mengguncang bioskop Jepang. Akhirnya Suzume no Tojimari tayang di Indonesia tanggal 8 Maret 2023. Melihat trailer yang telah beredar sebelumnya, pertanyaan yang mengemuka adalah, ke mana cerita garapan Makoto akan mengalir?
Suzume no Tojimari tentu masih membawa ciri khas Makoto. Dunia menakjubkan gabungan antara realitas dan fantasi. Romansa yang disajikan mungkin bisa ditebak. Sebab punya porsi besar dalam plot. Tapi aliran cerita tentu akan lain dari karya sebelumnya.
Kimi no Na wa dan Tenki no Ko punya fokus cerita yang berbeda. Tapi keduanya terhubung berkat adanya easter egg. Kehadiran tokoh utama Kimi no Na wa—Taki dan Mitsuha—sebagai cameo di Tenki no Ko memperkuat itu.
Mungkin saja itu akan terulang. Kehadiran tokoh utama Kimi no Na wa dan Tenki no Ko ke cerita Suzume. Nyatanya tidak! Tidak ada penampakan sosok dari cerita Makoto sebelumnya. Nampaknya Makoto ingin membuat dunia dan cerita yang benar-benar berbeda. Yang sama sekali tak terhubung dengan dua cerita sebelumnya. Atau malah nantinya akan ada a la multiverse? Entalah.
Bila dibandingkan dengan Kimi no Na wa, kisah Suzume dan Pria Misterius bernama Souta itu lebih simpel. Bahkan terlampau simpel. Keindahan di balik kerumitan Makoto seolah memudar dalam Suzume no Tojimari.
Setelah menonton pada hari pertama penayangan. Saya dan teman-teman langsung sepakat. Cerita kali ini terlalu simpel dan tak lebih rumit dari Kimi no Na wa.
Setelah meteor dan banjir, bencana yang dihadirkan kali ini adalah gempa. Hal lumrah terjadi di Jepang. Penggambaran riil orang Jepang yang tenang-tenang saja saat terjadi gempa. Maklum, saking seringnya mereka sudah terbiasa. Sirine peringatan berbunyi tiap gempa terjadi.
Penyebab terjadinya gempa di jagat Suzume adalah jatuhnya cacing besar Alaska yang muncul dari pintu terbengkalai. Tugas Souta adalah berpatroli dan menutup pintu yang tersebar di Jepang. Secara tak sengaja juga dibuka oleh Suzume.
Yang jadi masalah adalah cacing itu tak kasat mata. Hanya bisa dilihat oleh keluarga Souta dan Suzume saja. Unsur supranatural memainkan peran besar dalam perjalanan Suzume dan Souta.
Formula Makoto terlihat jelas unsur realitas, fantasi, supranatural, forbidden love dan post-apocalyptic. Realitas sosial dihadirkan dengan jelas. Bagaimana keadaan sesungguhnya orang-orang Jepang santai ketika gempa terjadi.
Fantasi? Tentu saja. Mana ada kursi dan kucing yang bisa berbicara? Ini disebabkan unsur ketiga: supranatural. Ada kekuatan penahan cacing tak kasat mata itu. Amukan cacing raksasa harus disegel dengan cara khusus.
Jepang sering kena bencana alam. Gempa dan tsunami sering terjadi karena faktor geologis. Tentu banyak kejadian kota-kota di sana hancur karena bencana. Penggambaran post-apocalyptic muncul di bagian itu. Keadaan kota terancam hancur karena gempa, beberapa tempat ditinggalkan oleh penduduk sebab tanah longsor, dan reruntuhan kota yang ditinggalkan.
Makoto ingin mengingatkan kepada penontonnya, terutama orang Jepang sendiri. Bahwa bencana seperti itu lumrah terjadi. Dalam filmnya pun disisipkan penanganan psikis pasca kejadian gawat darurat. Seperti yang dialami Suzume semasa kecil. Ibunya hilang pasca tsunami di Tōhoku. Suzume perlahan mengalahkan trauma masa kecilnya.
Forbidden love? Sudah ketebak arahnya ke mana. Unsur ini tetap jadi tema utama. Perbedaan besar pada dua orang yang saling mencintai. Suzume dan Souta punya dunianya masing-masing. Suzume gadis sekolahan, sedangkan Souta mahasiswa calon guru yang diwarisi tugas menutup pintu mistik di seantero Jepang, yang mana tugas itu sangat berbahaya.
Memang Suzume mengalami cinta dalam pandangan pertama kepada Souta. Namun Souta berbeda, agaknya bisa kita ambil contoh dari pepatah Jawa “tresna jalaran saka kulina” berarti cinta lelaki berasal dari kebiasaan. Ya gimana nggak, sejak bertemu Suzume, ia dibantu untuk menutup pintu penyebab bencana itu. Otomatis keduanya bertemu dan bersama terus.
Sekali lagi Makoto menggunakan kelima unsur tadi di Suzume no Tojimari. Alurnya tak terlalu rumit membuat penonton lebih mudah mencernanya. Setidaknya bagi mereka yang belum pernah menonton film-film karya Makoto Shinkai.
Lain cerita kalau dari sudut pandang penggemar setianya. Ceritanya cenderung monoton. Alurnya mudah ditebak dan sangat sederhana. (*/)