Film-film Studio Ghibli karya Hayao Miyazaki banyak menyinggung hubungan manusia dengan alam. Filosofi yang dibawanya ternyata gabungan dari ajaran Shinto, Buddha dan Tao.
FROYONION.COM - Hayao Miyazaki tak salah lagi merupakan salah satu animator paling berpengaruh di dunia. Bukan hanya karena visual-visual yang bikin kita ingin tinggal di dalamnya, melainkan juga berkat pandangan filosofis yang dibagikannya dalam setiap karyanya.
Film-filmnya yang dilepas di bawah naungan Studio Ghibli, menyampaikan banyak pesan penting bagi kehidupan manusia. Salah satunya yang paling gencar ditekankan oleh Miyazaki adalah soal hubungan manusia dan alam.
Dilansir dari laman Big Think, Jonny Thomson membahas bahwa tema tersebut punya kaitan dengan ajaran Shinto, Buddha dan Taoisme. Berikut pembahasan lengkapnya!
Saat ramai berita soal Paus menggaungkan konsep tobat ekologis dalam khotbahnya, penulis pernah berkelakar pada seorang kawan bahwa salah satu cara untuk meredakan krisis lingkungan adalah dengan meminta manusia menyembah tumbuh-tumbuhan.
“Juga,” penulis menambahkan, “jangan lupa untuk menjadikan Hayao Miyazaki sebagai ulamanya.”
Ya, jauh sebelum konsep tobat ekologis masuk dalam setiap khotbah dari Paus, kreator Spirited Away tersebut sudah berulang kali mengingatkan atau mungkin menyinggung kita (manusia) untuk menjaga hubungan baik dengan alam.
Pesan ini sepertinya terlahir karena pengaruh dari ajaran Shinto, Buddha dan Tao yang sering dijumpai dalam banyak film Hayao Miyazaki.
Dalam laman Big Think, Jonny Thomson menuliskan bahwa Shinto adalah agama animistik yang artinya penganutnya percaya kalau alam ini dihuni oleh roh-roh.
Para roh itu yang disebut dengan “kami” bisa ditemukan di bebatuan, burung, pohon, sungai, ikan dan sebagainya.
BACA JUGA: 9 KARAKTER STUDIO GHIBLI YANG TERINSPIRASI DARI MITOLOGI RAKYAT JEPANG
Dalam mitologi kuno Shinto, disebutkan soal jumlah dari “kami” yang mencapai 800 juta. Itu berarti ada banyak sekali “kami” yang dapat ditemukan dan disembah hingga sekarang.
Dan Hayao Miyazaki sukses menggunakan penggambaran Shinto tersebut secara efektif dalam beberapa karyanya. Spirited Away menjadi salah satu yang paling banyak menampilkan roh-roh yang merujuk pada “kami.”
Anime ini menghadirkan banyak roh seperti: roh sungai yang super-bau akibat ulah manusia yang membuang limbah seenak jidat, yang akhirnya sukses dibersihkan oleh Chihiro dan menghujani tempat pemandian itu dengan uang.
Juga, roh sungai yang dapat berubah menjadi naga putih dan menemani perjalanan Chihiro di dunia arwah tersebut.
Tentunya jangan lupakan juga roh berwajah datar atau yang akrab dipanggil No-Face yang tampaknya tertarik pada Chihiro.
BACA JUGA: 10 REKOMENDASI BARANG SERBA GHIBLI YANG LUCU DAN BERMANFAAT!
Namun penggambaran soal “kami” ini juga bisa kita temukan dalam Princess Mononoke. Salah satu anime yang menekankan soal betapa pentingnya menjaga hubungan dengan alam.
Dalam anime tersebut, kita juga bertemu berbagai jenis roh. Seperti kodama, peri hutan yang keluar dari pepohonan sebagai petunjuk bahwa alam di sana masih sehat.
Juga jangan lupakan roh hutan yang setiap malam bisa berubah menjadi ikan lele raksasa, namun di siang hari justru menjelma sebagai rusa yang anggun.
Perubahan wujud roh hutan di Princess Mononoke ini seolah menggambarkan elemen siang dan malam, gelap dan terang, kekuatan dan keanggunan, yang menjadi tema umum dalam ajaran Taoisme. Utamanya yang berkaitan dengan Yin dan Yang.
Namun seperti halnya sebagian besar ideologi lainnya di Jepang, Taoisme juga berkembang menjadi ajaran yang begitu khas dengan masyarakat Jepang.
Hal inilah yang membuat Jepang selalu menjadi gabungan unik dari berbagai macam kepercayaan dan tradisi keagamaan.
Shinto sendiri tidak memiliki kitab suci Shinto yang definitif atau eksklusif, melainkan justru terikat pada ritual dan sistem kepercayaan tradisional.
Tak heran jika kemudian ajaran Shinto tersebut telah masuk ke banyak budaya Jepang, termasuk juga memperkaya warna dari ajaran Buddhisme dan Taoisme.
Studio Ghibli lewat film-film Hayao Miyazaki menampilkan gabungan ketiga ajaran tersebut (Shinto-Buddha-Taoisme) melalui kekhawatiran soal hilangnya hubungan kita dengan tatanan alam.
Film-film Miyazaki seolah menunjukkan bagaimana dunia modern telah jauh menyesatkan dari jalan (Tao) yang seharusnya kita jalani.
Dunia tempat tinggal kita menjelma sebagai dunia yang penuh duri, rintangan, gangguan, teman palsu yang berkhianat, dan jalan buntu yang memikat. Dan Studio Ghibli merayakan tema-tema ini.
Meski banyak filmnya seolah mengajarkan kita untuk menghormati alam dan melestarikan lingkungan, namun Hayao Miyazaki dengan mantap menolak disebut sebagai pencinta lingkungan.
“Saya tidak ingin dianggap sebagai seorang pencinta lingkungan, jadi saya merokok,” ungkap Hayao Miyazaki dikutip dari laman The Cambridge Language Collective.
Biarpun terdengar seperti lelucon, namun ucapan ini mencerminkan soal bagaimana karyanya menggambarkan keresahannya terkait hubungan manusia dengan alam atau lingkungan.
Film-film Miyazaki tidak pernah secara vokal mengirim pesan, seperti: “Lakukan ini untuk menyelamatkan Bumi kita!” atau “Kiamat sudah dekat!”
Sebaliknya, film-film itu menawarkan hembusan angin yang lembut, cabang-cabang pohon yang menjulang, hamparan rumput yang hijau, dan pemandangan alam lainnya. Sesuatu yang mendorong dan menggerakkan hati kita untuk mengapresiasi alam sekitar kita.
Dengan kata lain, film-filmnya tidak memberi kita perintah secara langsung untuk menjaga alam atau lingkungan, beserta segala urgensinya yang seringkali menampilkan dampak buruk dari kerusakan lingkungan.
Sebaliknya film-filmnya adalah upaya memberi kita kesadaran bahwa hubungan alam dan manusia bukanlah hubungan saling menindas. Bukan soal siapa menguasai siapa?
Melainkan hubungan saling ketergantungan satu sama lain. Dan oleh karena itu, keduanya seharusnya bisa hidup berdampingan dengan akur.
Melalui filmnya, Miyazaki mengirim pesan soal apa yang akan diberikan alam kepada manusia jika kita mau merawatnya. Bahkan dalam visi Miyazaki, menjalin persahabatan dengan alam.
Film-filmnya seperti Nausicaa of the Valley of the Wind, Princess Mononoke, dan My Neighbour Totoro mencoba menyadarkan kita bahwa alam adalah entitas hidup yang menjadi satu kesatuan, bukan sumber daya yang dapat dieksploitasi manusia seenaknya.
Meski begitu, seperti dilansir dari laman The Varsity, film-film Miyazaki masih memberi ruang bagi kegamangan manusia di era modern. Dengan kemajuan industri dan teknologi, manusia sering kali terdorong untuk menentang hukum alam.
Hal inilah yang membuat penggambaran keserakahan manusia dalam mengeruk alam di film-film Miyazaki, cenderung kompleks karena menampilkan dilema yang dihadapi manusia.
Di satu sisi mereka harus memikirkan kesejahteraan dan kelangsungan hidup mereka. Namun di lain sisi, apa yang mereka lakukan untuk mendapatkan kesejahteraan justru berdampak pada kerusakan alam.
Dilema semacam ini terlihat dalam beberapa karya Miyazaki. Misalnya, dalam Princess Mononoke, pemimpin Iron Town Eboshi menunjukkan bahwa tujuannya memproduksi besi dan senjata api hanya untuk memberi makan rakyatnya.
Dilema yang sama juga dihadapi si burung pelikan dalam The Boy and the Heron yang memakan jiwa-jiwa yang belum terlahir karena itu adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup di dunia bawah.
Segalanya merefleksikan upaya manusia menyeimbangkan moralitas dan keaslian dengan kelangsungan hidup, terutama dalam masyarakat dengan tekanan industri yang terus meningkat.
Tak mengherankan jika kemudian tokoh utama dalam film-film Miyazaki kebanyakan adalah anak kecil.
Lewat tokoh anak kecil, dengan segala kepolosannya, Miyazaki seperti ingin membangunkan kembali jiwa anak kecil dalam diri orang dewasa.
Tepatnya, jiwa anak kecil dengan segala rasa penasaran dan semangat dalam mengeksplorasi semua hal baru yang ditemuinya.
Ini mungkin juga alasan kenapa para roh atau “kami” yang ada dalam karya Miyazaki punya bentuk menggemaskan, alih-alih berwujud menyeramkan seperti dalam mitologi aslinya.
Mungkin dengan begitu, kita jadi tertarik untuk melestarikan makhluk-makhluk imut tersebut dengan cara merawat alam. Hingga akhirnya terjalinlah kembali persahabatan antara alam dan manusia, seperti yang ditunjukkan Haku dan Chihiro di film Spirited Away. (*/)