The Substance tayang di Indonesia sejak 16 Oktober. Mengusung genre body-horror, film yang dibintangi Demi Moore ini mengangkat isu komodifikasi seksual. Berikut review film The Substance!
FROYONION.COM - Berhasil meraih penghargaan di Festival Film Cannes 2024 untuk kategori Best Screenplay. Juga menjangkau skor tinggi (90%) di Rotten Tomatoes dan panen pujian di Letterboxd, adalah serangkaian capaian film The Substance.
Segala capaian positif ini sepertinya sudah cukup buat memasukkan The Substance dalam daftar film horor paling menarik (jika bukan yang terbaik) untuk ditonton di tahun ini.
Di antara gempuran film horor lokal yang dibumbui komedi atau yang sering mengandalkan jumpscare yang klise sebagai teror, film bikinan Coralie Fargeat membawa kesegaran.
Mengusung genre body-horror, banyak scene yang dihadirkan oleh Benjamin Kracun menampilkan gambar-gambar menjijikkan, banjir darah, dan violence yang tidak ramah buat mereka yang mengidap hemophobia.
BACA JUGA: FILM HOROR ‘HERETIC’ KARYA A24 SEGERA RILIS, BAWA UNSUR THRILLER PSIKOLOGIS
Terlepas dari segala visual yang terasa disturb, naskahnya berusaha menyorot kebobrokan industri hiburan yang penuh komodifikasi seksual dan tak memaafkan penuaan.
Namun, apakah naskahnya berhasil merangkul semua isu yang ingin diangkat? Berikut review film The Substance.
Menit awal film ini dimulai dengan memperkenalkan karakter utama, Elisabeth Sparkle (Demi Moore), seorang selebriti papan atas Hollywood.
Menjadi sosok besar dalam industri hiburan bernilai miliaran dollar, Sparkle meraih ketenaran dan dipuja-puja penggemar. Bahkan namanya diabadikan di Walk of Fame.
Namun lampu sorot mulai berpindah darinya, karena usianya dianggap terlalu tua untuk mengisi acara hiburan.
Diberhentikan secara sepihak oleh produser eksekutif, Harvey (Dennis Quaid) yang tak berhenti mengunyah dengan keras, Sparkle dihinggapi keputusasaan untuk mempertahankan posisinya di industri hiburan.
Dalam keputusasaan, orang tak dikenal dan hadir dalam bentuk suara sepanjang film, menawarkan jalan keluar lewat program The Substance.
Program tersebut menjanjikannya untuk menghadirkan versi terbaik dari dirinya.
Berbekal beberapa alat suntik dan serum dan kantong cairan, Sparkle memulai serangkaian mimpi buruk yang menantinya.
Ternyata, versi terbaiknya adalah sosok lain yang “terlahir” darinya dan menamai dirinya sebagai Sue (Margaret Qualley). Uniknya, keduanya berbagi pikiran yang sama.
Atau seperti kata si suara yang tak terlihat wujudnya: “Kalian adalah satu.”.
Hal ini jugalah yang membuat semua kendali masih berada di tangan Sparkle. Juga memaksa Sue untuk bertukar tubuh setiap 7 hari demi menjaga keseimbangan.
Namun godaan membuat keseimbangan dilanggar dan menghadirkan konsekuensi mengerikan.
Ada banyak hal positif dalam film ini yang bisa dipuji, hanya jika kamu dapat memaklumi hal-hal tak logis yang sulit dibayangkan dapat terjadi di dunia nyata.
Seperti tubuh baru yang keluar dari punggung, luka menganga di punggung yang dijahit asal-asalan, hingga bagaimana cara memindahkan pikiran dari satu tubuh ke tubuh lainnya.
Segala hal itu jelas sulit dimaafkan oleh akal sehat. Namun menjadi urutan kejadian yang metaforik jika kamu mencernanya dengan imajinasi.
BACA JUGA: REVIEW FILM ‘THE SHADOW STRAYS’, AKSI BRUTAL DALAM JIWA PEREMPUAN
Kekuatan utama dalam The Substance terletak pada penulisan skenarionya yang rapi dengan fokus pada satu karakter (atau dua) yang mengalami ujian psikologis.
Misalnya, pada babak pertama, penonton diajak mengenal sosok Elisabeth Sparkle dan motivasinya untuk ikutan program The Substance.
Meski melibatkan banyak jarum suntik dan serum, naskahnya sukses memperkenalkan prosedur program tersebut tanpa bikin bingung.
Berlanjut di babak kedua, naskahnya dengan lihai menggunakan body-horror sebagai konsekuensi ketika keseimbangan dilanggar.
Kita diperlihatkan tubuh lama Sparkle (Demi Moore) perlahan menua dan membusuk karena pelanggaran keseimbangan tersebut.
Hal ini memicu pergulatan batin dalam diri Sparkle. Hingga muncul kebimbangan antara ingin terus melanjutkan atau berhenti dari program The Substance.
Terlebih program tersebut semakin rakus menggerogotinya lewat perilakunya sebagai Sue yang dimabuk ketenaran.
Namun, menyadari dirinya sudah masuk terlalu jauh, membuatnya tak melihat jalan untuk kembali.
Hingga pada babak ketiga, ditampilkan bagaimana ketegangan semakin memuncak. Visual ketika Sue berlari dengan gaunnya yang mengembang, membuat penonton ikutan merasakan kepanikannya.
Berkat penulisan naskahnya yang kuat inilah, durasi film yang lebih dari dua jam tersebut, tak terasa kepanjangan maupun membosankan.
Penonton selalu dibuat penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya? Atau bagaimana rupa Sparkle yang tubuh lamanya disembunyikan dalam ruangan gelap?
Namun, kelebihan lain naskahnya, adalah bagaimana segala penggambaran horor lewat media tubuh, juga menjadi ujian mental yang berpengaruh pada psikologis karakter utamanya.
Selain itu pendekatan Fargeat yang hanya memfokuskan ceritanya pada satu karakter, membuat penonton mudah berempati dengan apa yang sedang dihadapinya dan memahami apa motivasinya.
Terlepas dari medianya yang berupa film horor, tampak upaya dari Fargeat untuk menyinggung isu soal komodifikasi seksual dalam industri hiburan sekelas Hollywood.
Fargeat berusaha menampilkan bagaimana industri hiburan memproduksi konten-konten berbau seks untuk mengundang sebanyak-banyaknya penonton.
Lewat shot-shot close up yang mengekspos area sensitif perempuan, Fargeat menampilkan bagaimana tubuh perempuan dijadikan mesin penghasil uang.
Hal ini kemudian berlanjut dengan hadirnya standar kecantikan, soal seperti apa bentuk tubuh yang ideal?
Apakah harus punya bibir sensual yang menggoda, bokong padat, senyum menawan dan payudara yang persis di tengah?
Segala standar tersebut berubah menjadi stres yang menekan Sparkle yang merasa dibuang karena dianggap telah menua.
Hingga di satu titik, ia mulai membenci tubuhnya sendiri yang dianggapnya tak lagi memenuhi standar kecantikan.
Dan itulah yang kemudian mengubahnya menjadi monster yang seolah dilahirkan dari dongeng kelam H.P. Lovecraft; sekaligus menghancurkannya.
Meski begitu, masih banyak pro dan kontra soal apakah Fargeat berhasil menyampaikan pesannya dengan cara yang benar?
Ada banyak pujian mengalir dari film ini–termasuk dari Joko Anwar. Namun ada juga beberapa kritik keras yang patut dipertimbangkan.
Kritik keras misalnya hadir dari Hannah Strong dari Little White Lies yang menulis di akun X miliknya.
Ia menyebut bahwa Fargeat justru meniru cara industri yang dikritiknya dalam mengangkat isu eksploitasi tubuh perempuan.
Namun, dalam konferensi pers setelah pemutaran filmnya di Cannes, Fargeat mengungkapkan poin penting yang ingin disampaikan lewat The Substance.
“Poinnya ada pada tekanan yang menimpa tubuh kami. Sebagai perempuan, kami dinilai berdasarkan bagaimana kami dilihat dalam masyarakat,” ungkap Fargeat dikutip dari laman Vulture.
“Kekerasan yang kami tujukan pada diri sendiri adalah gambaran dari kekerasan yang mengelilingi kami. Jadi (film ini) adalah metafora untuk menunjukkannya. Saya rasa kekerasan ini sangat ekstrem,” pungkas Fargeat.
Ya, ada banyak kekerasan yang intens dalam film ini. Kita dapat menyaksikan bagaimana itu merusak tubuh asli Sparkle dan membuatnya harus disembunyikan di ruangan yang gelap.
Pada akhirnya, puncak horornya bukanlah kehancuran tubuh asli Sparkle. Melainkan fakta bahwa kita hidup di era serba-visual yang memuja standar kecantikan dan bentuk tubuh ideal.
Bisa jadi Sparkle adalah gambaran diri kita yang asli, yang justru lebih nyaman menggunakan topeng bernama Sue.
Itulah review film The Substance. Buat kamu yang penasaran, kamu bisa mengintip cuplikannya di bawah ini. (*/)