Film Dirty Vote karya Dandhy Laksono muncul di masa tenang menjelang pemilu. Film berdurasi dua jam itu menyorot kecurangan pemilu karena dugaan adanya penyalahgunaan kekuasaan.
FROYONION.COM - Baliho dan bendera partai di jalan-jalan semua sudah dicopoti, yang menjadi pertanda awal masa tenang sebelum pemilu.
Setelah debat panas antar capres dan cawapres, juga kampanye akbar yang digelar belakangan, masyarakat diberi jeda untuk memikirkan siapa yang bakal dicoblosnya nanti.
Di masa tenang itulah, pada 11 Februari 2024, sekitar pukul 11.00, film Dirty Vote mengguncang jagat maya. Dalam waktu singkat, film bikinan Dandhy Laksono itu pun menjadi viral.
Tema besar film dokumenter itu adalah pengungkapan kecurangan menjelang pemilu 2024. Dan adanya narasi penyalahgunaan kekuasaan untuk memuluskan kemenangan salah satu paslon dalam satu putaran saja.
Film yang melibatkan tiga ahli hukum tata negara tersebut menemukan banyak data dan fakta yang saling berhubungan dengan narasi tersebut.
Di dalamnya, penonton akan menemukan bahasan secara mendalam keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai cawapres.
Lainnya, ditunjukkan juga fakta soal dipilihnya 20 pejabat gubernur dan banyak kepala daerah oleh presiden Jokowi sebagai pejabat sementara sebelum nantinya diadakan Pilkada serentak pada November 2024 mendatang.
Fakta tersebut kemudian diduga punya maksud tersembunyi yang berhubungan dengan narasi di awal tadi. Ada kecurigaan bahwa PJ sementara yang ditunjuk oleh presiden Jokowi akan menguntungkan paslon 02, Prabowo-Gibran.
Meski diperlihatkan bahwa adanya kecurangan sebelum pemilu 2024 yang digelar pada 14 Februari mendatang, harus diakui bahwa yang mendapat porsi terbanyak dalam film ini adalah presiden Jokowi yang secara tak langsung juga menyorot kubu paslon 02.
Jika diibaratkan film superhero, mudah bagi penonton untuk menunjuk siapa villain dalam Dirty Vote. Tak ayal lagi, film ini pun mengundang banyak pro-kontra dari banyak pihak.
Masing-masing paslon menanggapi Dirty Vote dengan respon yang berbeda.
Mantan wapres Jusuf Kalla yang mendukung kubu paslon 01 mengungkapkan bahwa kecurangan yang diungkap dalam film itu hanya sekitar 25% saja dibandingkan kenyataan yang terjadi di lapangan.
Sama dengan kubu paslon 01, kubu paslon 03 juga mengapresiasi film tersebut. Dikutip dari Republika, Todung Mulya Lubis yang merupakan TPN paslon 03 mengungkapkan bahwa film tersebut bisa memberikan literasi politik bagi masyarakat Indonesia.
Sedangkan kubu paslon 02 yang banyak disorot dalam Dirty Vote karena ada kaitannya dengan Jokowi, segera menggelar konferensi pers hanya berjarak dalam dua jam setelah film itu dirilis.
Wakil Ketua TKN paslon 02, Habiburokhman menuding bahwa apa yang disampaikan dalam film tersebut bernada fitnah dan mengandung narasi kebencian yang sangat asumtif bahkan menyebutnya tidak ilmiah.
Sedangkan Ketua Umum Partai Golkar yang juga mendukung kubu paslon 02, Airlangga Hartarto mencurigai film Dirty Vote sebagai kampanye hitam bermuatan politis yang bertujuan menyerang lawan politik.
Di media sosial sebagian besar netizen juga mengapresiasi film ini dan menyebutnya sebagai film edukasi politik. Usai menontonnya, banyak warganet merasa miris dengan fakta kecurangan yang ditampilkan di sana.
Mereka lalu berharap film ini bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan pilihan secara bijak pada saat pencoblosan nanti.
Meski begitu belakangan juga ditemukan pihak-pihak yang mengkritik Dirty Vote dan mempertanyakan kenetralannya. Benarkah film ini sepenuhnya netral dan objektif?
Sorotan utama dan komposisi dalam Dirty Vote membuat beberapa pihak mempertanyakan kenetralannya. Meski bertujuan mengungkap kecurangan menjelang pemilu, mudah dilihat bahwa lampu sorotnya banyak mengarah pada presiden Jokowi.
Seperti banyak narasi yang dirilis belakangan ini, salah satunya seperti yang pernah diungkapkan dalam media Project Multatuli, ada indikasi presiden Jokowi sengaja menggunakan kekuasaannya untuk membangun dinasti politiknya. Narasi yang kurang lebih sama juga ditemukan dalam Dirty Vote.
Hal ini lantas memicu pertanyaan, jika tema besarnya adalah mengungkap kecurangan menjelang pemilu, kenapa yang banyak disorot justru Jokowi?
Bagaimana dengan kecurangan lainnya yang juga ditemukan menjelang masa pencoblosan bahkan kecurangan pemilu di luar Indonesia?
Salah satu kecurigaan atas kenetralan Dirty Vote datang dari kanal YouTube, Verbum Veritatis yang mereview film ini. Dari sudut pandang si pengulas, ada beberapa hal yang patut dipertanyakan.
Pertama, pengulas mempertanyakan mengapa tidak ditemukan film itu menyentil kubu paslon 01? Padahal kubu paslon 02 (utamanya) dan 03 disinggung di dalamnya.
Justru sebaliknya film itu menampilkan satu kejadian saat jadwal kampanye kubu paslon 01 dibatalkan tanpa alasan yang jelas. Hal ini menimbulkan kesan bahwa satu-satunya kubu paslon yang ‘bersih’ dari kecurangan adalah kubu paslon 01.
Kedua, si pengulas bertanya mengenai komposisi yang ditampilkan dalam film itu yang seperti cara halus untuk menggiring orang-orang untuk memilih paslon tertentu saja dan meninggalkan lainnya. Untuk kasus ini, si pengulas menyebutkan ada dua kemungkinan yang bisa menjadi jawabannya.
Kemungkinan pertama, sedikitnya materi yang menyentil paslon 01 dan 03 karena film itu hanya menampilkan bedahan-bedahan yang berkaitan dengan fokus dalam film itu, yakni dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Jokowi.
Yang kedua, mereka terkesan tendensius terhadap apa yang tidak mereka sertakan dalam film itu.
Kritik lainnya terhadap Dirty Vote juga hadir dari M Qodari dalam sebuah podcast berjudul Dirty Vote atau Dirty Mind? milik kanal YouTube Helmy Yahya Bicara.
Dikenal sebagai salah satu pendukung paslon 02, M Qodari menilai bahwa tidak ada hal baru dalam film ini dan hanya kompilasi dari berita-berita yang sudah banyak orang tahu sebelumnya.
Selain itu, M. Qodari juga menilai bahwa kebanyakan isi film itu masih berupa asumsi dan jump to conclusion.
Bagian yang disebut oleh M Qodari sebagai jump to conclusion dalam film ini terletak pada pernyataan yang menyebut ada 20 PJ gubernur yang akan memastikan 80 juta suara mendukung paslon tertentu.
Pernyataan ini dianggap sebagai jump to conclusion dengan alasan bahwa tidak ada satupun kepala daerah yang dapat memastikan seluruh suara di daerahnya akan masuk ke satu paslon saja.
Tak hanya itu M Qodari juga mempertanyakan mengapa dalam film itu hanya melibatkan orang-orang yang ahli hukum tata negara tanpa melibatkan orang yang ahli politik, atau bahkan ahli voting behavior mengingat yang dibahas adalah soal voting.
Selanjutnya M Qodari menyebut bahwa viral film ini hanya karena ‘kegedean judul’ yang membuat orang penasaran.
Kritik lainnya pada film Dirty Vote juga datang dari Zulfan Lindan yang merupakan seorang politisi. Dalam podcast di kanal Cokro TV, Zulfan menilai film itu berisi logika pemaksaan dengan menyebut adanya kecurangan padahal belum terbukti benar adanya kecurangan.
Zulfan mencurigai film ini dibuat karena paslon 02 kemungkinan besar akan menang pemilu dalam satu putaran berkat dukungan Jokowi.
Oleh karenanya dibuatlah narasi yang menggiring opini agar Jokowi dikalahkan demi demokrasi. Dengan kata lain film ini dicurigai dibuat untuk menggembosi perolehan suara paslon 02.
Selain itu ada salah satu pernyataan Zulfan yang menarik yakni saat ia mengatakan paslon yang didukung oleh Jokowi, hasil surveinya naik.
Ia mengambil contoh dari kandidat capres yang dipilih PDI Perjuangan. Meski Megawati ingin Puan Maharani yang maju, akhirnya Ganjar-lah yang maju karena hasil surveinya tinggi.
Di kala itu, Ganjar mendapat dukungan dari Jokowi. Tentunya kita masih ingat bagaimana dulu Jokowi pernah menyebut bahwa presiden selanjutnya adalah yang berambut putih.
Namun kemudian dukungan Jokowi berpindah ke Prabowo yang membuat hasil surveinya mengalahkan Ganjar. Dukungan tersebut adalah Gibran yang dikirim oleh Jokowi sebagai cawapres.
Keputusan MK yang meloloskan Gibran sebagai cawapres meski dinilai umurnya belum cukup terus menjadi sorotan. Tak hanya di film ini melainkan juga dibawa saat debat capres.
Akan tetapi sebelum keributan soal keputusan MK itu terjadi, ada kesan bahwa semua kandidat capres pernah mempertimbangkan menjadikan Gibran sebagai pendampingnya.
Melansir laman Republika, Puan Maharani menyebut bahwa PDIP bisa saja mempertimbangkan Gibran sebagai pendamping Ganjar jika MK meloloskan.
Di lain sisi melansir Kompas, Nasdem, partai yang mengusung Anies sebagai capres, sempat membuka peluang untuk Gibran sebagai cawapres.
Bahkan Gibran dan Anies pernah melakukan pertemuan. Namun keputusan soal siapa cawapres di kubu mereka, tetap diserahkan kepada Anies.
Sejujurnya penulis tidak terlalu yakin, apakah film ini akan membawa dampak? Apakah film ini bisa menggembosi suara paslon 02 (dan mengalahkan Jokowi) atau tidak?
Penulis melihat, sepertinya masing-masing pendukung kedua kubu (yang pro dan kontra Jokowi) akan tetap berada di kubu mereka masing-masing. Rasanya mustahil mengharapkan ada migrasi besar-besaran suara dari satu kubu ke kubu lainnya.
Kenapa demikian?
Sederhananya mereka yang mendukung Jokowi akan tetap berada di kubu paslon 02 dan akan menemukan alasan-alasan untuk membantah kritik dalam film itu.
Sedangkan mereka yang kontra dengan Jokowi, menemukan pembenaran mengapa pilihan mereka sudah betul berkat sekian data yang dibeberkan dalam film itu.
Lalu seperti yang diungkapkan Jusuf Kalla, hanya sebagian saja yang terungkap di sini. Sisanya lebih banyak yang tidak terungkap.
Sebab kita tak pernah tahu niatan Jokowi sebenarnya. Benarkah dia seculas itu meski harus diakui banyak indikasi yang mengarah ke situ?
Karena hal inilah data-data yang ditampilkan dalam Dirty Vote terlihat seperti asumsi, meski bisa dirunut benang merahnya hingga bisa dibentuk sebuah narasi.
Namun narasi itu sayangnya masih agak diragukan kebenarannya. Karenanya bisa saja banyak orang menganggapnya sama seperti teori konspirasi belaka.
Tapi yang harus disyukuri film ini mengingatkan kita bahwa perlu adanya perbaikan aturan main pada pilpres mendatang. Bahkan di lain sisi, Dirty Vote mungkin menelanjangi kelemahan dari demokrasi kita yang masih bergantung pada sistem voting. (*/)