Movies

BENARKAH BAGUS TIDAKNYA SEBUAH FILM SELALU TERGANTUNG PADA SELERA?

Benarkah jelek atau bagusnya film selalu tergantung selera masing-masing penonton? Pandangan dari Kant dan Hume mungkin bisa membantumu menemukan jawabannya.

title

FROYONION.COM - Pernah nggak sih kalian berdebat dengan teman soal bagus tidaknya sebuah film? 

Namun, setelah beradu argumen panjang kali lebar, ujung-ujungnya semua justru didamaikan dengan ungkapan, “Ya, semua tergantung selera.”

Ungkapan ini seolah mengatakan bahwa pertimbangan soal bagus atau tidaknya sebuah film bersifat subjektif. 

Meski begitu dengan menyerah pada ungkapan di atas, kita juga akan menghadapi dilema lainnya.

Jika bagus tidaknya sebuah film bergantung selera penilainya, itu berarti tidak ada film yang pantas disebut jelek. Karena, bisa jadi film yang kita anggap bapuk, bisa jadi merupakan film yang bagus menurut orang lain.

Jonny Thomson dari Big Think, mencoba memberi pendapat soal perdebatan ini, dengan menggunakan pandangan dari dua nama besar dalam estetika Barat: David Hume dan Immanuel Kant. Cek lengkapnya di bawah ini!

KANT: CARA BERDEBAT TENTANG SENI

Dilansir dari laman Big Think, Jonny Thomson memulai pendapatnya dengan bilang, bahwa ketika kita berkomentar soal keindahan suatu karya, dalam waktu bersamaan kita sebetulnya melakukan dua hal yang saling bertentangan.

Di satu sisi kita mengekspresikan pendapat pribadi yang bersifat subjektif, seolah menyiratkan bahwa: “Karya ini memberiku kegembiraan.”

Namun di lain sisi, pendapat tersebut juga bisa dianggap mengekspresikan pernyataan yang bersifat universal. Itu berarti, orang lain juga harus merasakan kegembiraan yang sama seperti yang kita rasakan saat melihat karya tersebut.

Dari sinilah, pertimbangan bagus atau tidaknya sebuah film terbagi menjadi dua. Yaitu, ‘penilaian berdasarkan selera’ dan ‘penilaian berdasarkan estetika.’

Dengan penilaian berdasarkan selera, mudah bagi kita untuk menerima bahwa setiap orang punya preferensinya masing-masing.

Namun, saat kita menggunakan penilaian berdasarkan estetika, kita mengharapkan orang lain juga bisa menikmati karya tersebut dan menganggapnya indah sebagaimana pendapat kita.

Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Kant: “Ought implies can.

Yang berarti, bahwa: jika seseorang diharuskan secara moral untuk melakukan tindakan tertentu, maka secara logis ia harus dapat melakukannya.

Pandangan ini jika dihubungkan dalam pertimbangan bagus tidaknya sebuah film, seolah berkata, “Jika aku saja bisa menganggap film ini bagus, maka orang lain juga harus begitu.”

Dan untuk mencapai tujuan ‘membuat orang lain sepakat dengan penilaian kita’, maka kita (baik kritikus maupun penikmat) mampu menunjukkan hal-hal yang “seharusnya” memberi kita kesenangan.

Dengan kata lain, kita perlu menonjolkan hal-hal hebat dari film tersebut yang mampu membuat kita mengganggapnya sebagai karya yang indah.

Entah itu tentang visualnya yang oke, alur ceritanya yang eksperimental, banyaknya metafora yang ditebar, atau perihal isu yang diangkat dan berhasil dibawakan dengan baik dalam film tersebut.

Namun estetika Kant sebetulnya lebih banyak berkaitan dengan pengalaman estetika. 

Saat kita menemukan suatu karya yang indah, penilaian kita tak melulu soal menggunakan kemampuan intelektual dan rasional kita. Melainkan juga soal interaksi antara pemahaman dan imajinasi kita.

Inilah yang membuat pengalaman estetika itu unik.

Bagi Kant, keindahan ada di mata orang yang melihatnya (subjektif). Namun bukan berarti kita tidak dapat melihat keindahan yang dilihat oleh orang lain.

HUME: UJIAN WAKTU

Berbeda dengan Kant yang seolah lebih menjunjung semangat solidaritas, Hume berpendapat bahwa sebagian orang lebih baik atau lebih buruk dalam mengidentifikasi hal-hal yang indah.

Hume juga berpendapat bahwa kita bisa menyebut sebuah karya sebagai karya yang hebat atau masterpiece berdasarkan kriteria “test of time” atau “uji waktu.”

Ia meyakini bahwa untuk dapat menghargai keindahan dalam suatu karya, kita tak bisa berpegangan pada perasaan gembira ketika melihatnya.

Justru yang dibutuhkan untuk melakukannya adalah kemampuan mental atau bakat untuk melihat, merasakan, atau mencicipi hal-hal yang tidak dapat dilihat orang lain.

Hume menekankan, bahwa untuk menilai sesuatu, kita harus memberi “jarak” dari sesuatu yang kita nilai tadi, sehingga lahirlah objektivitas.

Hanya dengan begitulah, seseorang (entah kritikus atau pengamat) bisa menemukan hal-hal yang tidak terlihat oleh orang lain yang terlena dalam kegembiraan terhadap suatu karya.

Sebagai misal, kita semua dilahirkan dengan ketajaman dasar, baik untuk rasa es krim maupun film Disney terfavorit.

Namun menjadi seorang kritikus berarti soal memiliki kemampuan untuk menemukan keindahan yang tidak disadari orang lain. 

Dan seperti keahlian lainnya di dunia ini, kemampuan tersebut memerlukan latihan yang jelas membutuhkan waktu dan dedikasi.

Tapi yang jadi pertanyaan berikutnya adalah: apa yang membuat suatu karya layak dianggap bagus? Apa “standar rasanya”?

Menjawab ini, Hume percaya bahwa standar keindahan hanya bisa ditentukan oleh mereka yang punya selera yang baik. Mereka inilah yang paham bagus tidaknya suatu karya sekaligus yang menetapkan standar.

Untuk dianggap sebagai karya yang luar biasa atau masterpiece, suatu karya melewati ujian waktu terlebih dulu. Semakin lama suatu karya dianggap bagus oleh kritikus, maka kita semakin yakin dengan kualitasnya.

Namun Thomson berpendapat, jika kita menggunakan pandangan Hume, itu justru membuat kita lebih sering mengandalkan data (dari para kritikus ini) dibandingkan beropini untuk pertimbangan bagus tidaknya suatu film.

Itu berarti kita akan harus mengumpulkan skor Metacritic dan Rotten Tomatoes sepanjang waktu.

Selain itu, kita juga harus siap melakukan evaluasi ulang, jika kritikus masa kini atau di masa mendatang, atas karya-karya yang kita anggap hebat di masa lalu.

Jadi kita harus siap menerima jika di tahun 2799 kritikus di masa itu menyebut Shawshank Redemption sebagai sampah dan justru menganggap Sausage Party sebagai “seni klasik.”

PENGALAMAN ESTETIK SEPENUHNYA SUBJEKTIF?

Seperti yang telah dibahas di atas, Kant dan Hume seolah melihat penilaian atas keindahan sebagai “properti relasional” antara pengamat dan objek.

Namun di lain sisi, keduanya tidak ingin sepenuhnya menyerah pada keindahan tergantung selera atau preferensi masing-masing orang.

Pengalaman estetis masing-masing orang akan melahirkan perdebatan yang sulit. Karena itu tak hanya sulit diungkapkan, melainkan juga sangat penting.

Ini jugalah alasannya, mengapa sulit untuk membantah bahwa pengalaman itu sepenuhnya bersifat subjektif. 

Gairah akan hal dan kepentingan ini adalah yang kemudian mendorong kita menonton Oscar dan membaca review film. Itulah sebabnya kita berusaha keras mematahkan argumen orang lain soal bagus tidaknya sebuah film.

Karena seni penting untuk menunjukkan siapa “kita” sebagai manusia. Juga menunjukkan siapa “aku” sebagai seseorang yang merangkul individualitasnya. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Shofyan Kurniawan

Shofyan Kurniawan. Arek Suroboyo. Penggemar filmnya Quentin Tarantino. Bisa dihubungi di IG: @shofyankurniawan