Movies

BELAJAR MENERIMA DIRI DARI ‘ELEMENTAL: FORCE OF NATURE’

‘Elemental: Force Of Nature’ berjalan mengikuti kisah Ember Lumen dalam menemukan dan menerima dirinya sendiri.

title

FROYONION.COM - Bagi anak muda Gen Z yang sedang dalam fase quarter life crisis, ‘menemukan’ jatidiri dan penerimaan diri (self acceptance) adalah dua hal yang seakan tiada habisnya untuk dibahas. Termasuk dalam film animasi komputer Elemental: Force of Nature yang di tanah air akan dirilis 21 Juni.

Dalam film yang disutradarai Peter Sohn ini, karakter utama Ember digambarkan sebagai seorang anak semata wayang dari pemilik Toko Fireplace yang semikonservatif, Bernie dan Cinder. Keduanya adalah pasangan elemen api yang memutuskan untuk merantau ke negeri Elemental City. 

Tentu sebagai generasi pertama dalam perantauan, segala rencana tidak berjalan begitu baik. Elemental City yang merupakan negara persatuan segala bentuk elemen ternyata tidak dengan mudah menyambut elemen api. 

BERATNYA BEBAN GENERASI KEDUA IMIGRAN

Kemudian dikisahkan Bernie dan Cinder hidup di wilayah terbengkalai dan membangun komunitas di area yang kemudian dinamai “Fire Town”. Di tempat itulah Bernie memulai mimpinya, membangun sebuah toko yang kemudian ingin diwariskan kepada Ember. 

Sosok Ember boleh dikatakan sebagai generasi kedua perantau yang memikul beban berat. Salah satu beban yang harus ia pikul ialah tuntutan untuk meneruskan tradisi di daratan baru yang sangat majemuk atau plural dan mempertahankan gen asli, alias anti-hibriditas. 

Beban itu tidak disadari Ember sampai pada akhirnya ia keluar dari Fire Town dan jatuh cinta dengan sosok elemen air, Wade. Ada yang bisa relate dengan karakter Ember? 

BERAGAM RELASI ANAK-AYAH

Meskipun tema dan plot utama film ini adalah self-acceptance/self-discovery, Elemental: Force of Nature juga memiliki subplot mengenai relasi anak dan ayah. 

Subplot itu terjadi pada hampir setiap karakter yang berada di sekeliling Ember. Tidak semuanya digambarkan dalam bentuk adegan. Ada yang bentuknya dialog dengan sejumlah topik, dari dialog anak soal harapan, kenangan, hingga penyesalan terhadap sosok ayah.

Kita bahas hubungan anak-ayah yang pertama, yakni hubungan antara Ember dan Bernie. Fakta bahwa sang ayah yang sudah seharusnya pensiun memaksa Ember untuk lebih cepat beradaptasi menggantikan sang ayah sebagai pengurus toko. 

Ember adalah harapan sang ayah. Setidaknya hal ini yang sudah ditanamkan oleh Bernie ke dalam benak Ember. Beriringan dengan tumbuhnya rasa kepercayaan dari Bernie, Ember diam-diam mulai terlibat dalam situasi yang mengancam kepercayaan itu. Ember terjebak dalam sebuah persimpangan dan konflik batin: mengejar kebahagiaan untuk dirinya sendiri atau memenuhi ekspektasi Bernie. Ember khawatir jika ia jujur nantinya sang ayah akan kecewa terhadap dirinya. 

Hubungan anak-ayah yang berikutnya yang tak kalah seru ialah Wade dan ayahnya. Wade adalah anak tengah di keluarganya. Hubungannya dengan sang ayah tidak begitu mulus dan harmonis. 

Pemicu ketidakharmonisan hubungan mereka adalah pencapaian karier Wade yang belum bisa memenuhi ekspektasi sang ayah. Kepergian sang ayah membuat dirinya terlambat memberitahu kemauannya dan menunjukan dirinya. Tishok, paham yang dikenalkan oleh Ember kepada Wade, yang berarti “sebelum padam” mengingatkan Wade akan penyesalannya untuk jujur pada sang ayah. 

Hubungan anak-ayah ketiga ialah Gale Cumulus dan ayahnya. Gale sangat gemar menonton pertandingan olahraga elemen awan. Latar belakang kecintaan pada hobinya itu tidak lepas dari hadirnya sosok ayah. 

Dalam sebuah adegan, Ember mengganggu Gale dalam menonton pertandingan itu. Bahkan Ember meremehkan pertandingannya. Sampai pada akhirnya Gale bercerita bahwa pertandingan itu penting dalam mengenang sang ayah. Karena dengan pertandingan itu, Gale bisa merasa dekat dengan ayahnya. Melihat langsung euforia yang ditunjukkan Gale, Ember pun luluh dan ikut terbawa suasana.

Hubungan anak-ayah yang tak kalah unik adalah hubungan antara Bernie dan ayahnya (kakek Ember). Keputusan Bernie dalam merantau adalah keputusan yang tidak diterima oleh sang ayah. Ada tradisi penghormatan dengan memberikan ba’so (Bola api) serta bersujud di hadapan orang yang dihormati, sebagai simbol meminta restu. Jika direstui, maka mereka akan membalas dengan memberikan ba’so dan ikut bersujud. Namun Bernie tidak mendapatkan itu.  

Kegagalan dalam mendapatkan restu terhadap keputusan besar dalam hidupnya membuat Bernie bertekad menjadi ayah yang suportif bagi anaknya kelak. Alasannya karena Bernie tahu sengsaranya saat ia sebagai anak tidak mendapatkan dukungan dari ayahnya sendiri. 

Namun dalam perjalanan cerita, Bernie justru diuji untuk menunjukkan ayah yang seperti apa dirinya di mata Ember. Apakah ia sanggup menjadi ayah yang suportif yang ia idam-idamkan atau sama seperti kakek Ember dahulu?

Akhirnya, Elemental: Force of Nature adalah sebuah sajian film ‘ringan’ yang boleh disaksikan oleh penonton dari semua kelompok umur. Bagi anak-anak di bawah umur, tentunya tetap harus ditonton dengan bimbingan orang tua karena Disney & Pixar masih ‘bermain api’ dengan kampanye LGBT yang dalam film ini secara bias dianalogikan dalam bentuk elemen-elemen yang kita bisa temukan di alam/bumi ini. 

Keputusan untuk mengajak anak untuk menonton atau tidak menonton film beranggaran 200 juta dollar AS ini juga menunjukkan jenis orang tua seperti apa kita ini terhadap anak-anak kita. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Erwin Dhia

A visual enthusiast, obsessed with Onii-chan word