
Banyak yang beranggapan bahwa kritik film harus membangun. Diskusi yang diadakan Atelir Ceremai membahas apa fungsi sebenarnya dari kritik film. Apa benar harus membangun?
FROYONION.COM - Sejak masih duduk di bangku sekolah dulu, dalam pelajaran PPKN kita diajarkan soal kebebasan dalam berpendapat. Selain dilindungi oleh UUD 1945 pasal 28E ayat (3), kebebasan berpendapat, ini juga mencerminkan sila keempat pancasila.
Salah satu bentuk dari kebebasan berpendapat terwujud dalam kritik. Namun kritik yang seharusnya menjadi bagian dari semangat demokrasi, justru kerap dibatasi dan ditentang oleh masyarakat itu sendiri. Bahkan tak jarang kritik dianggap sama dengan mencela dan menghina.
Perilaku semacam ini tak hanya terjadi saat ada yang mengkritik kebijakan pemerintah. Melainkan juga terjadi pada produk budaya massa seperti film.
Sering terjadi kritik film dianggap sebagai tindakan penghinaan terhadap sebuah karya film. Mereka yang menolak kritik film tersebut bahkan kerap berlindung di balik kalimat bahwa ‘kritik harus membangun’.
BACA JUGA: TINGGALKAN HOROR SEKSI, FILM ‘PULAU HANTU’ YANG BARU KINI BERDIRI SENDIRI
Dalam diskusi yang diadakan Atelir Ceremai, dua narasumber yakni Runi Arumndari (seorang pengulas film) dan Hikmat Darmawan (seorang kritikus film), membahas soal ini: Benarkah sebuah kritik film harus membangun?
Diskusi yang dikawal lajunya oleh seorang sinefil bernama Aris Rahman membedah banyak hal mengenai kritik film. Soal bagaimana kritik harus bertanggung jawab dan tidak mengada-ngada. Juga bagaimana sebagai seorang kritikus, ia mesti punya sikap dan kesadaran kritis.
Dalam diskusi Runi Arumndari menceritakan kisahnya ketika dibabat habis-habisan oleh warganet di X setelah mengkritik film Indonesia paling laris tahun ini, yakni Agak Laen.
Menurutnya, ada joke dalam film tersebut yang dianggapnya mengganggu soal transpuan, penyandang disabilitas dan pelakor.
Lewat akun X miliknya, Runi menjabarkan keresahannya, bahwa joke mengenai pelakor yang dituding “pada bodoh” dalam film tersebut lahir dari misoginisme atau kecenderungan untuk membenci perempuan.
BACA JUGA: IKSAN SKUTER: SEIMBANGKAN IDEALISME, KRITIK, DAN PRODUKTIVITAS BERKARYA
Meski Ernest Prakasa selaku produser dari film ini bersikap lapang dada dan justru berterima kasih pada Runi atas kritik yang diberikan, tidak serta-merta membuat para penggemar film ini berhenti menyerangnya. Bahkan ia pun lekas dilabeli sebagai SJW yang berisik.
Sama halnya seperti Runi, Hikmat juga pernah mendapat perlakuan yang kurang lebih sama setelah mengkritik film 99 Cahaya di Langit Eropa yang disebut memotret Eropa dan orang-orangnya dari sudut pandang turis.
Lebih parahnya lagi Hikmat disebut telah terjangkit virus islamophobia mengingat film tersebut bergenre religi yang bernuansa Islam. Padahal di era Orba ia salah satu orang paling vokal dalam membela kebebasan mengenakan jilbab.
Menurut Hikmat, sikap masyarakat yang menentang kritik film yang dianggap kelewat ofensif ini, lahir dari kebiasaan yang terbentuk selama bertahun-tahun.
BACA JUGA: KRITIK MUSIK DAN PERIHAL EKOSISTEM MUSIK DI KEDIRI
Sejak lama masyarakat terbiasa melihat kritik film sebagai instrumen pendukung industri film yang harusnya memberi pujian.
Maka ketika pada akhirnya ada orang yang memberikan kritik sebagaimana mestinya, dianggap menjelekkan film tersebut, bahkan dianggap tidak mendukung.
Padahal kritik itu sendiri merupakan salah satu bentuk dukungan bagi film itu sendiri dan industri yang menaunginya.
“Kritik tidak harus membangun, melainkan membangunkan kesadaran,” jelas Hikmat.
Bagi Hikmat, kritik diperlukan untuk menjaga kualitas film yang dihasilkan oleh industri perfilman itu sendiri. Agar nantinya ketika mesti bersaing dengan film lainnya di kancah internasional, tidak malu-maluin.
BACA JUGA: ‘LEVITATING’: FILM KETIGA WREGAS BHANUTEJA, KETIKA KESURUPAN MENJADI HIBURAN
Sedangkan Runi di lain sisi menambahkan bahwa sikap masyarakat yang seolah antipati dengan kritik film barangkali lahir dari anggapan, bahwa untuk menyampaikan pendapat sepenting kritik film, orang tersebut harus penting juga.
Ada anggapan bahwa yang boleh memberi kritik film adalah mereka yang pernah membuat film atau filmmaker. Dari sini kemudian lahir anggapan lain bahwa untuk mengkritik sebuah film, seseorang juga harus bisa membuat film.
“Padahal kritik film dan film itu sendiri merupakan dua hal yang berbeda,” kata Runi.
Pada akhirnya, jika menyoal kritik film, keduanya bersepakat bahwa kritik film tidak harus membangun. Justru kritik film sudah seharusnya mengusik dan membangunkan kesadaran kritis kita sebagai masyarakat yang (katanya) menjunjung demokrasi.
Untuk menjadi kritikus film yang bertanggung jawab, seorang kritikus film harus memiliki landasan argumentatif yang mendukung kritik yang disampaikannya. Sehingga kritik itu tidak terkesan mengada-ngada dan dapat dipertanggungjawabkan.
Hikmat mengatakan untuk menjadi kritikus film yang bertanggung jawab, pintar saja tidaklah cukup. Baginya, perkara pintar hanya persoalan memiliki pengetahuan lebih banyak ketimbang orang lainnya.
Lebih dari itu, diperlukan adanya ‘etos menjadi’. Yang artinya pengetahuan yang dimiliki seseorang harus tercermin juga dalam sikap seseorang, utamanya saat memberikan kritik. Sehingga tak sekadar teori, melainkan menjadi satu bagian dengan orang tersebut.
“Etos memiliki adalah menimbun sebanyak-banyaknya. Jadi dia (sudah) menonton banyak film, seolah-olah memberinya otoritas terhadap apa yang dia nilai,” jelas Hikmat.
“Padahal ada yang namanya etos menjadi. Mungkin seseorang itu baca bukunya sedikit, tapi yang dia baca menjadi bagian dari dirinya, menjadi sesuatu yang mengubah pandangannya,” lanjut Hikmat.
Selain itu, Hikmat juga berpendapat untuk menjadi kritikus yang bertanggung jawab, seseorang mesti terus belajar.
Ia misalnya mencontohkan, bagaimana seorang J.B. Kristanto yang tak pernah menulis soal film sebelumnya, berkemauan keras untuk belajar pengetahuan soal film agar bisa membuat kritik yang bertanggung jawab.
Kritik film sudah semestinya dipandang sebagai bentuk kepedulian seseorang terhadap industri film. Ia hadir bukan untuk mengganggu apalagi menghancurkan, melainkan guna mengawal agar kualitas film tetap terjaga, baik dari segi estetikanya maupun dari esensinya.
Sebagai penyintas yang pernah mendapat tanggapan kurang menyenangkan gegara mengkritik film, Runi mengharapkan sikap yang lebih sehat dari sekadar makian saja dalam menanggapi kritik yang dijabarkannya.
BACA JUGA: REVIEW FILM ‘WOMEN FROM ROTE ISLAND’, ANGKAT ISU PELECEHAN SEKSUAL YANG DEPRESIF
Jika pun ada bantahan untuk kritik yang disampaikan, sudah semestinya itu dibalas dengan kritik yang juga memiliki landasan argumentatif. Sehingga tercipta ruang-ruang diskusi yang akan melahirkan pemahaman-pemahaman baru.
Sepakat dengan Runi, Hikmat juga mengharapkan adanya keleluasaan ruang untuk kritik itu tumbuh. Ia juga berharap para filmmaker yang karyanya kena kritik juga ikut mendukung hal tersebut dan tidak mengganggapnya sebagai penghalang bagi penjualan tiket bioskop.
Sebelum era digital tumbuh secara masif, kritik film biasanya ditayangkan di berbagai media massa seperti koran dan majalah.
Namun, dengan adanya media sosial, kini kritik film bisa ditayangkan lewat akun-akun pribadi. Sekarang setiap orang bisa membagikan pendapatnya terhadap film yang ditontonnya.
Meski disampaikan oleh akun-akun pribadi, semestinya tidak membuat kritik tersebut menjadi tidak valid maupun kurang berkelas. Kritik film di media sosial tetap valid asalkan dibangun dengan argumen yang bertanggung jawab.
Hanya saja menurut Hikmat, yang menjadi kendala kemudian seringnya “kritik film” yang dianggap valid di media sosial adalah yang paling banyak viewers-nya. Padahal untuk menilainya, seseorang mesti melihat esensi dari kritik film itu sendiri.
Hikmat secara tidak langsung ingin menyampaikan bahwa sudah semestinya kita tidak terpaku oleh jumlah viewers maupun siapa yang menulisnya saja. Sudah seharusnya juga sebagai pembaca, kita punya sikap kritis dalam menghadapi ulasan maupun kritik film.
Salah satu kalimat yang saya suka dari Hikmat dalam diskusi itu adalah: “Di era internet ini menjadi bodoh itu pilihan.”
Saya mengartikannya, bahwa tidak hanya kritikus film saja yang mesti banyak belajar dan memperkaya pengetahuannya. Melainkan juga para pembaca kritik film itu sendiri. (*/)