Bagi kita, untuk bisa move on dari mantan paling lama yah 1-2 tahun. Tapi bagi Arifin, menunggu hingga akhir hayatnya adalah sebuah kebanggaan.
FROYONION.COM – Arifin adalah seorang lelaki yang lahir sejak Indonesia belum merdeka. Tak ada yang tahu pasti kapan dia pertama kali melihat dunia, setidaknya tidak bagi warga Kayutangan, Malang.
Yang jelas saat Pak Soeharto masih bertahta, Arifin sangat menikmati masa-masa mudanya.
Kala itu selayaknya anak muda pada umumnya, Arifin jatuh cinta dengan seorang perempuan yang amat menarik baginya. Tak ada yang tahu bagaimana rupa perempuan yang membuat Arifin jatuh hati, tapi kalau dilihat dari kesetiaan yang ditunjukin Arifin, kayanya perempuan ini sangat cantik.
Mungkin dia modis dengan rambut gelombang, pakaian kemeja sederhana dengan rok span, dan mungkin juga dibalut dengan kulit sawo matang khas Indonesia. Mungkin juga dia berambut pendek, matanya bersinar, dan punya senyum yang manis. Yang jelas perempuan ini sudah menjadi perempuan paling diidamkan oleh Arifin.
Kayak kata orang-orang, masa PDKT jadi masa yang paling indah. Malang di tahun 1970-an jadi saksi kedekatan Arifin dan kekasihnya. Berjalan di sore hari yang cerah di alun-alun Kota Malang sambil menikmati angin sepoi-sepoi serasa jadi kencan paling indah bagi mereka. Menikmati waktu berdua sambil naik bemo dan berjalan kaki juga terasa romantis banget.
Tak jauh dari alun-alun, tampak para kuli bangunan sedang sibuk bekerja membangun gedung tinggi yang nantinya jadi mall paling ngehits pada masanya, Mall Sarinah Malang. Sayangnya mall itu belum jadi saat Arifin lagi pacaran. Sebagai gantinya, mereka mampir ke daerah pertokoan di Kayutangan untuk lihat-lihat dan ngemil.
Kayak perangko sama amplop, begitulah cara orang menggambarkan Arifin dan kekasihnya. Selepas kencan, Arifin bermaksud untuk mengantar pacarnya pulang. Dengan maksud minggu depan akan ngedate lagi, tapi mungkin ke daerah lain alih-alih di tengah kota terus.
Sayangnya niat Arifin untuk memastikan pacarnya sampai dengan selamat ke rumah harus diurungkan, karena perempuan itu tiba-tiba dijemput keluarganya untuk masuk ke mobil. Tampak semua barang sudah dikemas dan dimasukkan ke mobil itu. Dengan wajah panik, ibunya segera menarik anaknya untuk ikut masuk ke mobil dan segera pergi dari tempat itu.
Kebingungan, Arifin menarik tangan kekasihnya. Dia ingin bertanya apa yang terjadi, tapi mulutnya terasa kaku.
“Mas, tunggu aku di sini ya? Di depan toko ini. Besok aku ke sini nyamperin. Aku janji. Mas juga janji ya?” kata perempuan itu.
“Iya! Aku janji! Besok ya?” balas Arifin setengah berteriak.
Perempuan itu sudah di dalam mobil dan hanya membalas Arifin dengan anggukan. Raut muka yang bingung campur sedih terlihat jelas di wajah perempuan itu. Tidak ingin membuat suasana semakin keruh, Arifin melepas kepergian kekasihnya dengan senyum dan lambaian tangan.
Pergolakan politik yang terjadi kala itu cukup dapat disalahkan sebagai biang kerok kegalauan Arifin. Tapi ya bagaimana, hanya rakyat kecil yang bersuara pun tak terdengar. Semua kebijakan pemerintah dan segala dampaknya ternyata meninggalkan luka di hati Arifin, terutama karena bikin dia kehilangan cintanya.
Begitulah, tahun 1970-an, lagi-lagi tak jelas kapan, di depan toko di Kayutangan, Arifin terpisah dari kekasihnya.
Esoknya Arifin menepati janjinya untuk datang lagi ke pertokoan di Kayutangan. Duduk di depan toko dari pagi menuju sore hari menunggu kekasihnya untuk datang. Tapi harapan Arifin hari itu pupus ketika adzan Maghrib berkumandang dan tetap tidak ada tanda-tanda kedatangannya.
“Gapapa, mungkin hari ini ada masalah. Besok dia pasti datang,” kata Arifin dalam hati.
Esoknya ia datang lagi ke depan toko itu. Kali ini mengenakan kemeja rapi dan celana kain terbaik miliknya. Ia duduk dengan tenang sambil menunggu kekasihnya datang. Tapi hari itu Arifin kembali dikecewakan.
“Ah, mungkin dia datangnya malam? Besok aku tunggu saja sampai malam tiba,” tekadnya dalam hati.
Keyakinan Arifin kembali membawa langkah kakinya ke depan toko itu. Penjaga toko sampai heran mengapa dia bolak-balik ke depan tokonya selama tiga hari ini.
“Nunggu orang, Pak. Saya janjian di sini, di depan toko bapak,” katanya sambil tersenyum, memamerkan dasi kupu-kupu yang ia kenakan.
Lagi, Arifin menunggu kedatangan perempuan itu. Hari itu matahari terasa lebih panas di langit Malang. Debu-debu beterbangan jauh lebih pekat dibanding biasanya. Sungguh cuaca yang tidak bagus. Walaupun cuaca itu membuat tubuhnya keringetan dan dahaganya serasa berteriak, Arifin tetap duduk dan menunggu.
Sesuai tekadnya, ia menunggu lebih lama, kali ini sampai jam 8 malam. Hingga toko itu ditutup oleh penjaganya, perempuan yang ditunggu Arifin tidak kunjung datang. Lagi-lagi, Arifin pulang dengan kecewa.
Hari demi hari, Arifin terus melangkah dan menuju toko di Kayutangan. Seperti alarm yang sudah dipasang di tubuhnya, setiap pagi ia segera melangkah menuju tempat yang sudah dijanjikan untuk menanti kekasihnya.
“Apa kabar ya dia? Di mana dia sekarang? Apakah dia baik-baik saja?” semua pertanyaan itu terus berulang di dalam hati Arifin.
Sambil menyaksikan perubahan Kota Malang dari zaman mobil belum banyak, handphone hanya dimiliki orang kaya, dan kripik singkong masih jadi jajanan favorit, sampai kota kelahirannya itu dipenuhi mobil keren, handphone bisa buat foto, dan kentang goreng McD jadi jajanan favorit.
Dari yang tadinya punya rumah, sekarang teras depan toko jadi rumahnya. Yang tadinya punya tikar untuk tidur, jadi beralaskan kardus. Tadinya bernama Arifin, jadi dikenal sebagai Pak Gombloh oleh orang sekitar.
Mungkin orang sekitar terlalu naif untuk mengerti kesetiaan Arifin sampai-sampai memanggil dirinya bodoh (arti gombloh adalah bodoh). Tapi Arifin tahu apa yang dia lakukan bukanlah hal bodoh. Itu adalah bentuk cintanya kepada satu-satunya perempuan yang ia cintai.
Tapi Arifin juga sadar bahwa ia harus bertahan hidup demi menunggu kekasihnya.
“Aku harus hidup kuat kalau mau ketemu dia,” pikirnya.
Maka kadang Arifin jadi tukang parkir membantu temannya, Sempu. Uang yang ia dapatkan dipakainya untuk makan atau beli rokok. Yang penting cukup untuk bertahan hidup, itu saja pikirnya. Kan nggak lucu kalau kekasihnya datang dan lihat dia kelaparan. Ia ingin tampil prima di depan pujaan hatinya itu, entah kapan hari itu akan datang.
Tahun 2017 di sore hari yang gerimis, Arifin seperti biasa sedang duduk di teras depan toko. Malang terasa lebih dingin karena cuaca itu. Arifin kini sudah tak sekuat dulu lagi. Tubuhnya sudah renta, tulang belakangnya sudah tidak bisa menopang tubuhnya seperti seharusnya.
Dengan tubuh bongkok itu, Arifin berdiri perlahan-lahan. Rasa lapar yang dirasakannya membuat dia ingin ke seberang sebentar untuk beli makan.
Perlahan dia berjalan menyeberangi jalan. Selangkah demi selangkah menuju warung nasi itu. Tiba-tiba terdengar deru motor yang melaju sangat kencang. Arifin menoleh, namun kakinya tidak bisa berlari. Seketika Arifin terpelanting dan terbentur trotoar, kepalanya pusing, pandangannya menggelap, dan ia kehilangan kesadaran.
Orang-orang di sekitar langsung panik, mencoba mencari pertolongan untuk Arifin. Begitu dilihat, matanya biru karena memar. Tangannya berdarah karena terkena aspal jalan. Kepala yang ditutupi rambut beruban itu juga bersimbah darah.
Mereka langsung melarikan Arifin ke Rumah Sakit Saiful Anwar untuk mendapatkan pertolongan pertama. Syukurlah para tenaga kesehatan di sana cukup cekatan untuk merawat Arifin.
Selama 3 hari Arifin di rawat, tidak ada satupun sanak saudaranya yang berkunjung. Maklum, ia memang sebatang kara. Maka hanya warga sekitar Kayutangan saja yang sesekali menjenguknya.
Di masa tua yang pada umumnya sudah melihat anak berkeluarga dan bisa gendong cucu, Arifin harus menahan sepi yang selama ini ia rasakan. Hanya kekasihnya, perempuan yang ia tunggu, yang menjadi satu-satunya harapan untuk terus bertahan.
“Apa kabar ya dia? Di mana dia sekarang? Apakah dia baik-baik saja?” semua pertanyaan itu sekali lagi berulang di dalam hati Arifin.
Tak ada yang tahu kabar perempuan itu. Mungkin ia juga sudah setua Arifin. Mungkin ia punya keluarga yang hangat untuk menemaninya di hari tua. Tapi mungkin juga dia sama-sama menunggu Arifin, hanya saja di tempat yang berbeda.
Akhirnya Arifin merasa siap untuk melepaskan semua yang ada di dunia. Jika ia belum bisa bertemu kekasihnya di sini, mungkin ia bisa sekali lagi memeluknya di alam lain. Masih memegang cinta dan keyakinannya, Arifin memejamkan mata, dan tertidur pulas.
7 April 2017, Arifin berpulang ke keabadian. (*/Grace)