Lifestyle

TV ANALOG RESMI DIMATIKAN, BAGAIMANA NASIB GENERASI TUA YANG JADI PENIKMATNYA?

Jutaan memori masa kecil terletak di siaran TV analog waktu kita kecil. Juga generasi senja yang terhibur dengan TV di masa tuanya. Nggak disangka ternyata dia tergerus juga sama zaman.

title

FROYONION.COM - Pada Rabu (2/11), siaran TV analog resmi dihentikan di wilayah Jabodetabek dan ratusan kota lainnya. 

Momen penting yang juga bagian dari sejarah ini turut diabadikan lewat acara Hitung Mundur Analog Switch Off di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Jakarta. 

Kebijakan untuk menghentikan penyiaran TV analog sejalan dengan rencana pemerintah di tahun 2020 yang akan mengganti siaran TV analog dengan digital. Rencana ini sebenernya udah ada sejak tahun 2012 dan baru terealisasi pada 2 November 2022 lalu. 

Didukung juga dengan catatan sejarah yang bilang kalo pemberhentian TV analog sudah ada sejak tahun 1996, tepatnya di Belanda. Barulah setelah itu negara-negara lain secara bertahap mengganti siaran analog dengan digital. 

Sebagai generasi yang banyak menghabiskan masa kecil di depan TV, pastilah kita sedih harus kehilangan berbagai hiburan yang dulu mengisi waktu luang. 

Seperti MTV Ampuh waktu Aldi Taher masih jadi DJ, ratusan episode Doraemon yang mewarnai Minggu pagi, dan Benteng Takeshi yang otentik dengan quote “Bodoh sekali dia, Yang Mulia.”

BACA JUGA: SERING MAKAN SAMBIL NONTON, BISA JADI LO KESEPIAN

Tapi perubahan ini ada bukan hanya karena ‘ikut-ikutan’ negara lain, tapi ada alasan lain yaitu untuk menghemat frekuensi karena penyiaran analog membutuhkan frekuensi lebih besar dibanding digital, menghadirkan tayangan televisi yang lebih berkualitas dari segi audio dan video, serta menambah pendapatan negara. 

Lah, kok bisa? 

Dalam teknis penyiaran, dibutuhkan pita frekuensi agar siaran analog baik TV dan radio bisa dinikmati masyarakat. Nah, penyiaran analog butuh lebih banyak pita frekuensi dibanding siaran digital. Dengan peralihan dari TV analog ke digital ini, pita frekuensi yang dibeli negara bisa digunakan untuk pengembangan teknologi lain, kayak 5G misalnya. 

Momen ini sih bikin anak muda Indonesia seneng-seneng aja yah. Toh, zaman sekarang jumlah anak muda yang nonton TV mulai berkurang karena adanya jasa Over The Top (OTT) seperti Netflix, Disney+ Hotstar, dan lainnya. 

Tapi buat para orang tua, kayak nenek dan kakek kita, yang hiburan masa tuanya adalah TV tabung, tentunya sedih banget harus merelakan siaran TV jadi penuh semut. Udah nggak ada lagi sinetron cheesy yang bikin nenek ketawa atau siaran wayang yang bikin kakek melek sampe subuh. Walaupun sampe sekarang beberapa stasiun TV milik MNC masih bisa ditonton.

Dilansir dari Jurnal Televisi dan Masyarakat Usia Lanjut, minat orang tua yang udah menginjak usia senja di Kecamatan Klojen, Kota Malang untuk nonton TV sangat tinggi. Bahkan TV jadi sumber informasi dan hiburan utama untuk mereka. Berbarengan dengan hal itu, ternyata mayoritas TV yang mereka punya adalah TV tabung yang hanya bisa menangkap siaran analog.

Padahal peralihan dari TV analog ke digital ini juga harus diimbangi dengan distribusi Set Top Box (STB) untuk mengubah sinyal digital jadi gambar dan suara. 

Set Top Box (STB) yang harus dibeli para pemilik TV analog supaya bisa tetep nonton TV. (Foto: Jakarta Note Book)

Pasalnya, STB ini harus dibeli sendiri. Padahal tidak semua lapisan masyarakat bisa membeli STB yang seharga Rp300.000-Rp500.000 bukan? 

Bagi kita yang mampu sih oke-oke aja, tapi balik lagi ke kerasahan peralihan TV analog ke digital bagi para orang tua yang ada di pelosok Indonesia. Bagaimana nasib mereka? Apakah mereka harus merelakan uang makan hanya untuk beli STB?

Semoga pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya punya solusi untuk hal ini ya, Civs. Supaya perkembangan teknologi ini nggak hanya menyenangkan generasi muda, tapi juga generasi senja. (*/) 

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Grace Angel

Bercita-cita menjadi seperti Najwa Shihab. Member of The Archipelago Singers.