Template ‘Winamp Playlist’ ramai dijadikan Instagram story. Apalah aplikasi ini bakal digunakan kembali—di era maraknya Spotify dan YouTube Music—atau sekadar nostalgia?
FROYONION.COM - Setelah Instagram ramai template ‘All Eyes on Rafah’ dan ‘All Eyes on Papua’, netizen menyambut template ‘Winamp Playlist’ dengan hangat dan penuh nostalgia.
Penggunaan template Instagram dapat diartikan bahwa pengguna merasa relevan, memiliki sikap, ataupun sekadar seru-seruan.
Beberapa yang merasa nyambung dengan viral tersebut memasangnya sebagai Story. Tak lupa mereka juga memasang lagu-lagu lawas kesukaan yang populer di era kejayaan Winamp, yakni menjelang akhir tahun 90’an hingga tahun 2000’an ke atas.
Ada ‘Dear God’ dari Avenged Sevenfold yang sejak dulu jadi andalan abang-abangan warnet. Ada yang memutar lagu-lagu dari band-band pop Indonesia seperti Wali, Ungu, Dewa 19 hingga Peterpan.
BACA JUGA: BASBOI: MENGHIDUPKAN KEMBALI NOSTALGIA URBAN DALAM ERA MODERN
Tak jarang juga ada yang memasang lagu-lagu milik Green Day, rock melayu cengeng, artis dangdut koplo, ‘The Reason’ dari Hoobastank, bahkan lagu yang lebih lawas milik Queen.
Lagu-lagu itu juga kebanyakan populer di masa anak-anak generasi Milenial dan Gen Z era akhir 90’an mulai tumbuh gede sebagai remaja.
Dengan kata lain, viral yang diinisiasi oleh akun @creamovemedia tersebut menunjukkan bahwa Winamp lebih sekadar aplikasi pemutar audio. Ia hadir sebagai memory anchors yang mengingatkan banyak orang pada lagu favorit di masa lalu.
Namun, dengan reputasi yang dimilikinya, bisakah Winamp kembali bersinar dan berjaya di era media sosial ketika orang-orang lebih mengandalkan Spotify dan YouTube?
Winamp kali pertama diluncurkan pada tahun 1997 lalu dan dikembangkan oleh Justin Frankel dan Dmitry Boldyrev.
Aplikasi ini menjadi salah satu pilihan pengguna komputer era pentium di masa itu sebagai pemutar audio, selain nama-nama lainnya seperti KMP dan Windows Media Player.
Pengoperasian Winamp yang terbilang gampang dengan tampilan yang robotik, juga tersedianya beberapa pilihan ‘skin’ yang bisa digonta-ganti, menaikkan pamornya di antara audio player kompetitornya.
Namun, Winamp hanyalah riak kecil di tengah danau jika dibandingkan migrasi besar-besaran pendengar musik dari musik fisik menuju musik digital yang dipelopori oleh format audio MP3.
Penemuan ini dipimpin oleh Karlheinz Brandenburg, seorang insinyur Jerman. Ia berhasil mengubah suara menjadi serangkaian kode yang kemudian ia compress menjadi MP3.
BACA JUGA: SERIAL ‘AVATAR’ DI NETFLIX SAJIKAN NUANSA NOSTALGIA YANG BERBEDA
Kemunculan MP3 mendapat kecaman dari banyak musisi. Alasannya mudah dilihat dari dampak yang ditimbulkan setelahnya.
Seperti runtuhnya pondasi industri musik lama hingga menurunnya penjualan musik fisik. Namun, dampak negatif yang paling mengkhawatirkan adalah masifnya pembajakan.
Di era itu marak penjual CD bajakan yang menghimpun ratusan lagu dalam sekeping CD dan dijual dengan harga murah.
Tak lama setelahnya, konter-konter pulsa yang berada di era kejayaannya bersama hape Nokia, menyediakan jasa ‘isi lagu’ dengan ongkos 1000 rupiah per lagu.
Dengan biaya semurah itu, mudah diduga bahwa semua MP3 yang mewakili lagu-lagu yang dijual tersebut didapat dengan mengabaikan hak cipta dan royalti musisinya.
BACA JUGA: TEDDY ADHITYA LUNCURKAN VIDEO MUSIK ‘KEMBALIKANKU’ YANG PENUH NOSTALGIA
Di Indonesia, salah satu situs yang terkenal menyediakan MP3 bajakan adalah Stafaband. Dengan kata lain kepopuleran Winamp tentu saja tak bisa dilepaskan dari kepopuleran Stafaband pada masa itu.
Namun, secara global, Napster disebut sebagai sumber utama dan paling populer dalam urusan ini. Aplikasi tersebut memungkinkan pengguna menyalin musik dari perpustakaan musik digital.
Berkat inilah sejarah kepopuleran Winamp tak bisa lepas dari era kegelapan pembajakan musik digital. Terlebih Winamp bukanlah media streaming musik melainkan hanya sebuah audio player.
Kepopuleran Winamp di Indonesia melaju bersama menjamurnya rental warnet pada masa itu. Musik-musik yang diputar di Winamp mendampingi remaja-remaja di era itu bermain Friendster, membaca blog kesukaan hingga chattingan.
Namun, eksistensi Winamp mulai terkikis sejak kemunculan YouTube pada tahun 2005. Terlebih setelah label-label besar seperti Universal, Sony dan Warner menggunakan YouTube sebagai media promosi pada tahun 2009.
Hadirnya Spotify sebagai media streaming musik sekaligus toko musik digital semakin memadamkan kejayaan Winamp. Konsep berlangganan yang diusung oleh Spotify memungkinan pengguna menyewa lagu favorit mereka.
Dengan segudang fitur andalan yang dimiliki oleh YouTube dan Spotify yang memungkinkan pengguna tak ketinggalan rilisan single teranyar.
Terlebih lagi layanan streaming seperti Spotify dan Apple Music sudah jadi pemain lama dalam lini bisnis ini. Sulit rasanya membayangkan Winamp mampu mencicil ketertinggalan biarpun diuntungkan karena faktor nostalgia yang mereka punya.
Bukan kali ini saja gaung ‘Winamp is Back’ diserukan, melainkan sudah sejak 2021 lalu. Setelah nyaris disuntik mati oleh pengembangnya, Nullsoft pada tahun 2013; Radionomy mengakuisisinya dan berjanji akan meluncurkan versi baru Winamp.
Rencana itu baru terealisasi pada 2023 lalu dengan tampilan UI yang lebih modern dan menggugah bahkan terlihat mirip dengan tampilan Spotify ketimbang Winamp klasik. Namun rilisan baru Winamp ini pada awalnya hanya bisa diakses lewat web.
Versi baru Winamp ini direncanakan tidak hanya hadir sebagai layanan musik streaming saja. Melainkan juga sebagai hub untuk semua jenis sumber audio.
Winamp bahkan punya fitur baru bernama Fanzone yang memungkinkan pengguna membeli akses lagu dan konten lainnya dari musisi atau kreator favorit yang dijual mulai 1 euro.
Fitur ini berbeda dengan Spotify dan Apple Music yang mengizinkan pengguna yang berlangganan untuk mengakses semua lagu yang ada dalam perpustakaan musik digital milik mereka.
Lewat Fanzone, pengguna Winamp hanya bisa menikmati konten dari album atau musisi yang mereka beli aksesnya saja. Langkah ini menarik di mata konten kreator namun tidak bagi calon pembeli. Hal inilah yang bikin Winamp sepi peminat.
Pada akhirnya, seperti yang dilaporkan oleh laman Fast Company, Winamp versi baru ini menjelma sebagai connective tissue.
Ia hadir sebagai market bagi para musisi untuk menjual fasilitas seperti NFT eksklusif, sembari mengelola hak cipta hingga mendistribusikan karya mereka ke platform lainnya.
Tampilan baru Winamp versi web ini mungkin akan mengecewakan pengguna lama karena menghilangkan unsur nostalgianya. Beruntung versi Winamp klasik masih dipertahankan oleh pengembang.
Berdasarkan laporan tahun 2023 lalu, tercatat ada sekitar 83 juta pengguna masih setia dengan Winamp, meski jumlahnya terus merosot.
Pengguna Winamp klasik terbanyak ada di Brazil yang menyumbang 10,3 persen dari keseluruhan pengguna. Di peringkat selanjutnya ada India, Rusia dan Amerika Serikat.
Hanya saja berdasarkan fakta yang ditemukan oleh laman Fast Company, terungkap bahwa banyak pengguna memanfaatkan Winamp klasik untuk mengakses radio streaming.
Bahkan terungkap dari banyaknya stasiun radio yang mendaftarkan diri untuk dicantumkan dalam list direktori yang ada di Winamp klasik.
Di Indonesia, masih ditemukan ada beberapa orang yang menggunakannya sebagai pemutar audio di era persaingan layanan streaming yang keras. Fakta ini bisa dilihat pada tweet dari akun @XtremeMerch di X.
Selain itu, biarpun kebanyakan bersifat nostalgia, beberapa komentar dalam tweet tersebut juga menunjukkan eksistensi pengguna Winamp klasik di Indonesia.
Namun pada akhirnya, kejayaan Winamp hanya akan menjadi nostalgia yang manis. Ia mungkin tidak lagi terulang di masa depan dan sama redupnya dengan kejayaan rental warnet sekarang.
Ketimbang Winamp, banyak cafe-cafe dan coffee shop di Indonesia misalnya, lebih mengandalkan playlist dari Spotify atau platform streaming musik lainnya.
Menengok di tongkrongan kelas akar rumput pun tak jauh berbeda. Di warkop, lebih banyak pemiliknya memutar dangdut koplo lewat YouTube secara gratis meski seringkali terjeda oleh iklan.
Viral template ‘Winamp Playlist’ di Story Instagram, tak akan benar-benar membangkitkan Winamp dari tidurnya. Ia hanya mengingatkan bahwa kita pernah muda dan menjadi fans lagu-lagu Green Day, Avril Lavigne, Muse, Ungu hingga Kangen Band. (*/)