Lifestyle

TAGAR ‘KABUR AJA DULU’ TRENDING, BENARKAH KELUAR DARI INDONESIA ADALAH SOLUSI?

Orang-orang yang jengah mulai menyerukan #KaburAjaDulu di media sosial sebagai respons atas kebijakan pemerintah yang dinilai kontroversial. Apakah "kabur" ke luar negeri bisa jadi solusi?

title

FROYONION.COM Trending topic Twitter belakangan ini dipenuhi berita negatif soal kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat kelas bawah. 

Sebut saja mulai dari larangan pengecer menjual gas LPG 3 kg berujung kelangkaan, ulah staf khusus Kementerian yang diduga menyalahgunakan fasilitas negara, hingga efisiensi anggaran yang membuat banyak pegawai honorer terdampak PHK. 

Tidak hanya itu, belakangan muncul wacana pemangkasan anggaran pendidikan. Imbasnya adalah mahasiswa penerima KIP-K terancam putus kuliah.

BACA JUGA: WASPADA LOKER ‘BODONG’ KE LUAR NEGERI! SIAP-SIAP JADI PENIPU JUDI ONLINE HINGGA INVESTASI ABAL-ABAL 

Di tengah huru-hara yang terjadi, muncul tagar #KaburAjaDulu. Banyak warga negara Indonesia beranggapan bahwa keluar sementara dari tanah airnya adalah solusi atas aneka permasalahan yang sedang terjadi. 

Tapi, apakah benar kabur dulu dari Indonesia adalah jalan keluarnya? Dan jika memang benar, apa saja sih yang harus dipersiapkan? 

GERAKAN KABUR AJA DULU SUDAH ADA SEJAK DULU 

Dilansir dari laman BBC, tagar #KaburAjaDulu merupakan ungkapan kekecewaan akan berbagai masalah sosial di Indonesia. Tren ini juga berisi keinginan mencari kehidupan baru yang lebih baik di luar negeri. 

Banyak faktor pendorong viralnya tagar ini. Mulai dari permasalahan ekonomi yang tidak kunjung membaik, makin sulitnya mencari pekerjaan dengan gaji yang layak hingga ketidakpuasan pada sistem politik serta hukum yang dirasa tidak adil. 

BACA JUGA: INILAH 5 BEASISWA LUAR NEGERI YANG TIDAK PERLU TAKUT BATAS USIA 

Dari data yang dilacak Drone Emprit, lembaga pemantau media sosial, tagar #KaburAjaDulu baru mulai digunakan sejak Januari 2025. Tagar ini makin jadi tren setelah akun-akun besar seperti @hrdbacot turut mencuitkannya. 

Kelompok usia yang paling banyak menggunakannya ada di rentang 19 hingga 29 tahun yaitu sebanyak 50.8%. 

Ahli sosiologi UGM, Arie Sujito, menyatakan sebagaimana dilansir dari BBC News Indonesia bahwa narasi dalam tagar viral tersebut berisi ajakan ke luar negeri sebagai cermin akan kebingungan publik pada kondisi terkini di tanah air. 

Lebih lanjut, Arie menyebut bahwa masalah sosial, politik serta ekonomi yang banyak diperbincangkan belakangan membuat warga menjadi bingung. 

Ia mencontohkan kebijakan pemerintah soal pembatasan distribusi gas LPG 3kg, kasus pagar laut hingga pemangkasan anggaran pendidikan. 

Perubahan-perubahan kebijakan di level negara inilah yang memunculkan ketidakpastian. Ia sendiri tidak mempermasalahkan kelompok yang berniat keluar negeri karena memang tersedia lebih banyak pilihan hidup di sana. 

Walau baru viral belakangan, namun sebenarnya jauh sebelum ini sudah ada orang-orang yang terlebih dulu mencari kehidupan baru untuk mereka di luar negeri. 

Contohnya adalah tiga narasumber yang diwawancarai BBC News Indonesia. Mereka memilih untuk tinggal dan bekerja di Amerika Serikat, Korea Selatan serta Thailand sejak beberapa tahun lalu. 

Ketiganya rata-rata memberikan alasan yang sama mengenai kepindahannya ke luar negeri, yaitu ketidakpuasan pada pemerintah dan mencari peluang hidup yang lebih baik. 

Ke depannya, bukan tidak mungkin jika akan semakin banyak orang Indonesia yang turut bergabung dalam tren kabur aja dulu ini, mengingat semakin maraknya isu sosial, politik dan ekonomi tanah air yang makin bergejolak. 

MENGHITUNG ONGKOS DAN RESIKO 

Memang benar, di luar sana ada lebih banyak peluang pekerjaan yang cenderung tidak memakai batasan usia. 

Namun, perlu digarisbawahi bahwa  kabur sementara ke luar negeri jelas adalah keputusan yang harus dipikirkan baik-baik karena prosesnya yang tidak mudah. 

Mulai dari memilih negara tujuan, mempelajari bahasa ibu di negara yang dituju, hingga mengasah skill untuk mendapat pekerjaan supaya dapat bertahan hidup di sana.

Ini belum termasuk mempersiapkan fisik dan mental akan perbedaan iklim, bahasa dan budaya yang pasti akan didapatkan. 

Selain tidak mudah, pindah bekerja ke luar negeri juga tidak murah. Untuk mendapat Working Holiday Visa atau WHV di Australia, misalnya, kita harus memiliki tabungan minimal AUD 5000 atau setara Rp50.000.000 di rekening untuk berjaga-jaga. 

Tinggal dan bekerja di luar negeri juga tidak selamanya indah. Orang-orang seringkali hanya menceritakan bagian enak-enaknya namun meninggalkan detail tentang bagian sedih-sedihnya. 

Homesick karena tidak bisa pulang kampung dalam waktu lama, merindukan makanan khas dari kampung halaman, mendapat perlakuan rasis hingga kesulitan menemukan tempat ibadah adalah beberapa hal yang kerap dijumpai diaspora luar negeri. 

Beberapa orang berpendapat bahwa kerja remote bisa jadi alternatif untuk mereka yang ingin mengikuti tren ini namun terkendala biaya. 

Apalagi, sekarang sudah makin banyak platform kerja freelance yang merekrut pekerja dari jarak jauh. 

Pada akhirnya, pilihan untuk tetap bertahan di dalam negeri, bekerja remote atau kabur sementara ke luar negeri memang ada di tangan kita masing-masing. 

Jika ada kesempatan untuk mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri, tidak usah ragu untuk mengambilnya. 

Dengan catatan kita sudah memahami betul resikonya dan tidak melakukannya sekedar untuk ikut-ikutan tren. 

Namun, jika keadaan belum memungkinkan untuk keluar dari Indonesia mengikuti #KaburAjaDulu, tetap bertahan sembari mengupayakan yang terbaik bukanlah keputusan yang salah juga. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Wahyu Tri Utami

Sometimes I write, most of the time I read