Lifestyle

STOIKISME ADALAH AGAMA YANG TERSELUBUNG, INI BUKTINYA!

Stoikisme menawarkan panduan hidup yang sangat mirip dengan agama. Hal ini membuat stoikisme menjadi alternatif bagi yang mencari makna hidup tanpa mengikuti agama tradisional.

title

FROYONION.COMUntuk sebagian besar sejarah manusia, kita hidup dalam bayang-bayang para dewa. Setiap abad sebelum ini jauh lebih religius dibandingkan zaman sekarang. 

Orang-orang berdoa setiap hari kepada para dewa yang seolah selalu hadir. Mereka melihat yang ilahi dalam segala hal. 

Dewa-dewa menciptakan dunia, dan hal itu memberikan dunia makna. Sistem keagamaan menjawab pertanyaan seperti bagaimana cara hidup dan mengapa kita harus melakukannya. 

Segalanya didefinisikan oleh komitmen metafisik tertentu seperti surga, neraka, samsara, atau jiwa. Segala sesuatu dan semua orang berpusat pada bintang keagamaan.

Saat ini, keadaannya berbeda. Atheisme dalam berbagai bentuknya sedang meningkat. Kehadiran dalam ritual keagamaan menurun, filsafat sekuler meningkat, dan pandangan dunia ilmiah telah menggantikan yang spiritual sebagai pusat perhatian. Ini menimbulkan masalah. 

Sebagai spesies yang selama ribuan tahun terbiasa hidup dengan cara tertentu, dibutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri. 

Friedrich Nietzsche pernah berkata, "Tuhan telah mati." Dan di kalimat berikutnya ia bertanya, "Lalu apa selanjutnya?" Apa yang akan mengisi kekosongan setelah kekuatan yang telah memandu kita begitu lama hilang?

Dikutip dari Bigthink, beberapa berpendapat bahwa modernitas mencoba mengisi kekosongan itu dengan pengganti agama. Kita membuat gereja dari olahraga dengan perpecahan, bidah, dan perang suci. 

Kita menemukan transendensi dalam musik, seni, atau obat-obatan. Kita menemukan komunitas dalam teknologi dan ritual dalam obsesi kita. Namun, semuanya terasa kurang lengkap. 

Pengganti ini mungkin memenuhi satu atau beberapa kebutuhan spiritual, tetapi mereka tidak memiliki kekuatan sistem yang kohesif. Mereka tidak memberikan makna dan komitmen yang dibutuhkan untuk menjadi agama yang sesungguhnya.

Di sisi lain, ada fenomena menarik yang patut dicermati, yaitu kebangkitan Stoisisme. Dalam banyak diskusi, Stoisisme sering dianggap sebagai alternatif atau bahkan pengganti agama. 

Banyak orang melihatnya sebagai filsafat kehidupan yang menawarkan cara untuk menghadapi krisis makna atau kehampaan eksistensial. Namun, apakah Stoisisme sebenarnya adalah agama yang tersembunyi?

Dikutip dari theconversation, Stoikisme berasal dari kata Yunani “stoikos” atau “stoa,” yang merujuk pada Stoa Poikile, sebuah “sekolah filsafat” di Athena. 

Di tempat inilah Zeno dari Citium, seorang filsuf terkemuka, mulai menyebarkan ajarannya sekitar tahun 301 SM, membawa pengaruh besar bagi peradaban pada masa itu.

Zeno memiliki pendekatan unik dalam mengajar, yaitu berbicara dan berdiskusi di teras pendopo yang terletak agak jauh dari keramaian pasar. 

Metode pengajaran ini menjadi inspirasi untuk penamaan aliran filsafat tersebut, yakni stoikisme, dengan istilah “stoik” mengacu pada tiang penopang yang mendukung teras tempat diskusi itu berlangsung.

Sejarah stoikisme secara garis besar dibagi menjadi tiga periode. Stoa Awal mencakup tokoh-tokoh seperti Zeno (334–262 SM), Cleanthes (331–232 SM), dan Chrisipus (280–206 SM). 

Selanjutnya, terdapat periode Stoa Perantara yang dikembangkan oleh Panaetius dari Rhodes (185–110 SM) dan Posidonius dari Apamea (135–51 SM). 

Terakhir, periode Stoa Akhir atau Stoikisme Romawi, yang dipengaruhi oleh tokoh-tokoh filsuf seperti Lucius Annaeus Seneca (1–65 M), Epictetus (55–135 M), dan Marcus Aurelius (121–180 M).

Dalam buku Ataraxia: Bahagia Menurut Stoikisme karya A. Setyo Wibowo, disebutkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang cenderung teralihkan oleh hal-hal di luar kendali mereka. 

Padahal, inti dari kebahagiaan, kekuatan, dan kebijaksanaan adalah fokus pada apa yang dapat kita kendalikan, bukan larut dalam kecemasan terhadap hal-hal yang berada di luar jangkauan kita.

Stoikisme menekankan bahwa kebijaksanaan dan ketenangan batin berakar pada kemampuan kita untuk mengelola respons terhadap peristiwa eksternal. 

Meskipun peristiwa tersebut seringkali berada di luar kendali kita, kita selalu memiliki kuasa atas cara kita meresponsnya.

Dalam agama dan filsafat kehidupan, terdapat tiga elemen utama yang menjadi dasar sistem tersebut, yaitu metafisika, etika, dan praktik. 

Metafisika memberikan gambaran tentang bagaimana dunia bekerja, etika memberikan panduan tentang cara hidup, dan praktik melibatkan meditasi serta latihan untuk menerapkan etika tersebut dalam kehidupan. Jika kita bandingkan, agama juga memiliki ketiga elemen ini. Misalnya, agama Kristen memiliki metafisika berupa keyakinan pada Tuhan yang mahakuasa, etika berupa Sepuluh Perintah Tuhan dan ajaran Yesus, serta praktik berupa doa, refleksi, dan kegiatan komunitas.

Stoisisme juga memiliki elemen-elemen tersebut. Dalam hal metafisika, Stoisisme mengajarkan tentang logos, yaitu prinsip rasional yang mengatur alam semesta. 

Dalam etika, Stoisisme menekankan hidup dengan kebajikan sebagai jalan menuju kehidupan yang baik. Praktiknya melibatkan refleksi harian, meditasi, dan latihan mental untuk menerima takdir dengan tenang.

Namun, dalam Stoisisme modern, banyak elemen metafisika kuno yang diabaikan. Banyak orang hanya mengenal Stoisisme dari kutipan-kutipan inspiratif di media sosial atau sebagai tips hidup praktis. 

Akibatnya, mereka sering mengasosiasikan Stoisisme hanya dengan praktik dan meditasi, tanpa memahami dasar metafisiknya. Pertanyaannya adalah apakah Stoisisme tetap bisa bertahan tanpa elemen metafisika tersebut. 

Beberapa ahli seperti Massimo Pigliucci berpendapat bahwa sulit untuk sepenuhnya memisahkan Stoisisme dari akarnya, karena elemen-elemen tersebut saling terkait dan membentuk kesatuan sistem.

Prinsip stoikisme menawarkan beberapa manfaat utama yang relevan untuk menghadapi tantangan di era transformasi teknologi yang cepat dan masif.

Pertama, Stoikisme mengajarkan kita untuk mengelola reaksi emosional terhadap kejadian-kejadian yang tidak dapat kita kendalikan. 

Misalnya, ketika menerima kabar buruk atau menghadapi situasi sulit, filosofi ini mendorong kita untuk menjaga kendali atas respons emosional agar tetap tenang dan terhindar dari dampak negatif yang dapat memengaruhi kesejahteraan mental maupun fisik.

Kedua, stoikisme mendorong refleksi rutin atas tindakan dan perilaku sehari-hari. Dengan menerapkan pendekatan ini, kita dapat mengambil keputusan yang lebih bijaksana dan memahami bagaimana setiap tindakan memengaruhi diri sendiri maupun orang lain.

Ketiga, stoikisme membantu kita membedakan antara hal-hal yang dapat kita kendalikan, seperti sikap dan perilaku pribadi, dan hal-hal yang berada di luar kendali kita, seperti tindakan orang lain atau kejadian tak terduga. 

Prinsip ini memungkinkan kita untuk tidak terjebak dalam kekhawatiran berlebihan terhadap hal-hal yang tak bisa kita ubah, sehingga dapat lebih fokus mengelola aspek yang berada dalam kendali kita.

Keempat, stoikisme mengajarkan pentingnya empati dan pandangan yang menyeluruh terhadap kemanusiaan. Dengan memahami dan mendukung pengalaman orang lain, kita dapat memperkuat hubungan serta menciptakan interaksi yang lebih positif dan penuh makna dengan lingkungan sekitar.

Stoisisme memberikan banyak manfaat psikologis, termasuk inspirasi untuk terapi perilaku kognitif. Namun, untuk benar-benar memahami Stoisisme sebagai filsafat kehidupan, seseorang perlu menerima elemen-elemen dasarnya, termasuk pemahaman tentang logos dan nilai-nilai kebajikan. 

Dengan begitu, stoisisme tidak hanya menjadi alat untuk bertahan hidup, tetapi juga menjadi panduan untuk menemukan makna, tujuan, dan arah dalam hidup. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Abdillah Qomaru Zaman

Lulusan Ilmu Politik, freelance penulis dan pelatih silat.