Bagi industri media kreatif, kreativitas memang faktor penting. Tapi, jika kreativitas tidak diimbangi dengan kemanusiaan, apakah dapat diterima? Mari kita timbang, diskusikan, dan ambil intisarinya lewat kasus satu ini.
FROYONION.COM - Kalau bergelut di dunia kreatif, pasti sering denger saran seperti, “Ayo pakai kreativitas tanpa batas, dong”. Kalimat seperti itu tidak luput juga dari pendengaran orang-orang di industri media dan kreatif di Indonesia. Pasalnya, sejauh mana kreativitas itu? Apa saja batas-batasnya? Dan bagaimana agar kreativitas kita bisa diterima oleh orang lain?
Mungkin, jawabannya adalah norma dan rasa kemanusiaan. Apa maksudnya?
Baru-baru ini, sebuah bisnis bertajuk experience dining di Bali mengunggah beberapa post tentang konsep terbaru dari bisnis mereka. Sesuai namanya, yang disuguhkan adalah pengalaman unik saat menyantap berbagai rangkaian makanan yang akan dihidangkan. Mulai dari makanan pembuka hingga penutup, semua ingin dikemas secara unik nan kreatif.
Sayangnya, dilansir dari The Finery Report, Bogaria Bali bersama FDA Foundation Bali dan Laparmata Food yang mengusung konsep ‘Rakin Dining Experience’ justru menuai banyak kecaman.
Dilansir dari Laporan Lapangan SMERU, Beras Untuk Keluarga Miskin (RASKIN): Apakah Program Tahun 2002 Berjalan Efektif?, Raskin sendiri adalah singkatan untuk ‘beras miskin’, yaitu jenis beras yang diperuntukkan bagi kategori Keluarga Miskin menurut klasifikasi status sosial Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2002.
Bogaria Bali, mengaku ingin mengangkat konsep raskin demi menjadikannya sebagai hidangan edukasi budaya yang dikemas ulang menjadi hidangan baru. Rencana awal, konsep ini akan go public dan dapat dinikmati pada tanggal 24 Mei 2022 lalu. Namun, belum sempat terlaksana, konsep ini justru menuai banyak kecaman karena hidangan ‘raskin’ yang justru dijual dengan harga Rp300.000 termasuk 2 cocktail.
Dianggap tidak peka dengan sejarah kelam Indonesia, apa yang sebenernya terjadi dengan raskin?
Dilansir dari Laporan Lapangan SMERU, Beras Untuk Keluarga Miskin (RASKIN): Apakah Program Tahun 2002 Berjalan Efektif?, akibat krisis moneter 1998 yang merambat pada krisis ekonomi, solusi untuk memberikan beras subsidi kepada masyarakat dalam kategori miskin.
Sebelum dinamakan ‘beras miskin’, beras subsidi ini dinamakan beras Operasi Pasar Khusus (OPK). Setiap kepala keluarga dijatahkan mendapat 10 kg hingga maksimum 20 kg dengan harga Rp1000/kg.
Namun dalam pelaksanaannya banyak hal blunder yang terjadi. Seperti harga yang dibayarkan masyarakat justru lebih tinggi dibanding harga awalnya. Mayoritas membayar Rp1.800-Ro2.600/kg. Distribusinya juga tidak merata dan justru jatuh ke tangan keluarga yang tidak menjadi target.
Melihat hal itu, kualitas beras malah dikorbankan dengan pemikiran: jika kualitas berasnya rendah, maka mereka yang paling membutuhkan saja yang membeli. Keluarga yang masih mampu tidak akan sudi membeli beras berkualitas rendah. Dengan begitu, distribusi beras raskin akan lebih ‘tepat sasaran’.
Akibatnya, beras raskin yang awalnya punya kualitas standar dan layak dikonsumsi menjadi penuh pecahan beras (di atas 25%), kutu, hingga berbau tengik. Secara moral, strategi ini jelas perlu dipertanyakan. Apalagi hal ini kemudian mempengaruhi gizi dan kesehatan rakyat.
Hal ini juga turut didukung oleh beberapa komentar netizen tentang sejarah kelam raskin.
Pihak Bogaria Balipun sudah mengunggah permohonan maaf atas hal ini. Semoga kasus ini dapat menjadi pelajaran bagi pelaku industri kreatif maupun masyarakat luas untuk lebih teliti dan hati-hati dalam berinovasi. Selain itu, mengenal sejarah negara sendiri juga penting agar kita tidak menyeleweng dari etika dan empati sebagai manusia. (*/)