Memperjualbelikan produk bajakan sudah pasti melanggar hak cipta penciptanya. Sayangnya, kegiatan niaga untuk menjual produk-produk bajakan ini masih kerap terjadi di Indonesia.
FROYONION.COM - Pada Kamis (17/2) lalu, Pemerintahan Amerika Serikat khususnya Office of United States Trade Representative (USTR) sebagai lembaga eksekutif di bawah Presiden Amerika Serikat yang bertugas untuk mengembangkan regulasi terkait perdagangan di Amerika.
Dalam laporan yang berjudul ‘2021 Review of Notorious Markets for Counterfeiting and Piracy’, USTR melakukan penelitian terkait e-commerce di berbagai belahan dunia yang terbukti memperjualbelikan produk-produk bajakan.
Dari 42 daftar pasar daring yang ada dalam laporan tersebut, 2 diantaranya berasal dari Indonesia, yaitu Tokopedia dan BukaLapak.
USTR menyebutkan secara gamblang bahwa Tokopedia dan BukaLapak terang-terangan membiarkan para penjual sebagai pihak ketiga, menjual produk-produk bajakan.
Produk bajakan tersebut termasuk kosmetik, pakaian, barang elektronik, buku, dan lain sebagainya. Mungkin barang-barang ini lebih familiar dengan sebutan ‘KW’ di telinga kita.
Bayangin aja, ada salah satu penulis yang lihat bukunya dijual di Tokopedia. Waktu tanya ke seller apakah buku ini asli atau enggak, dengan jujur si penjual bilang kalo ini KW.
Wajar aja kan kalo miris bahkan geram? Padahal zaman sekarang, baca buku legal udah gampang banget karena ada aplikasi Perpustakaan Nasional sehingga lo bisa pinjem ribuan buku secara daring.
USTR juga menyebutkan bahwa langkah pencegahan dan penanganan terkait hal ini juga dinilai belum efektif. Pasalnya, para pemegang hak cipta yang produknya di-KW-in, nggak punya akses untuk tahu toko mana aja yang melakukan pembajakan, nggak tahu udah berapa banyak produk KW yang terjual, dan ini semua secara nggak langsung turut melanggengkan praktek pembajakan.
Di dalam laporan tersebut bahkan disebutkan kalo BukaLapak bahkan membiarkan akun-akun toko yang jual produk bajakan, untuk register lagi pake nama yang beda dan tetep jual produk bajakan. Artinya, selalu ada kemungkinan untuk para seller nakal ini mencoba meraup untung dari dagangan palsunya.
Hal ini juga turut menjadi bukti bahwa penegakan hak cipta di Indonesia khususnya di lini e-commerce masih sangat rendah. Pihak yang paling dirugikan tentunya para pemegang hak cipta terhadap produk asli.
Selain e-commerce, Pasar Mangga Dua juga termasuk ke dalam daftar pasar yang menjual barang bajakan.
Emang apa aja bisa ditemuin di Mangga Dua. Dari pakaian, tas, aksesoris, sampe elektronik semua ada. USTR bilang, kalo kegiatan jual-beli di Mangga Dua sangat minim peran pemerintah untuk mencegah jual-beli barang-barang palsu.
Kalo diperhatiin, eksistensi penjual barang palsu di Indonesia juga cerminan dari kebiasaan masyarakatnya. Nggak sedikit orang Indonesia yang lebih memilih beli barang KW ketimbang asli karena harganya emang harga banting banget.
Balik lagi ke penulis buku yang pergokin penjual yang menjual buku palsunya, bayangin kalo ternyata banyak penulis, pencipta, seniman, musisi, yang karyanya dipalsukan. Nggak heran kalo mereka mikir, Indonesia nggak bisa menghargai karya anak bangsanya. Lha wong begini kelakuannya.
Selain penegakan hukum yang rupanya udah digadang oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Indonesia sejak tahun 2021 lalu, peran masyarakat yang secara sadar membeli barang asli ketimbang palsu juga penting.
Miris. Soalnya slogan salah satu e-commerce tersebut bilang kalo kita bisa temukan apa aja di platform-nya. Tapi, nggak perlu sampe produk bajakan, kan? (*/)
BACA JUGA: GIATKAN INDUSTRI KREATIF, KEMENPAREKRAF GELAR WORKSHOP FILM PENDEK DI MANDALIKA