Akhir-akhir ini, teknologi makin mutakhir aja ya. Nggak cuma belanja di tanggal kembar aja yang bisa tinggal transfer, parkir juga bisa loh! Tapi emang untungnya bayar parkir cashless apa sih? Yuk simak pembahasannya!
FROYONION.COM - Fenomena bayar parkir nontunai atau cashless akhir-akhir ini lagi naik banget di jagat maya. Banyak warganet yang turut serta menyambut dan mendukung ide praktis nan cemerlang ini agar diterapkan juga di daerah asal mereka. Bukan tanpa alasan, tapi bayar parkir cashless ini nyatanya memang lebih efisien, terutama di era pandemi seperti ini yang mengharuskan kita untuk mengurangi kontak fisik dengan orang lain.
Bayar parkir cashless juga membantu banget dalam menghadapi kondisi dilema loh, Civs. Misal gini, pernah nggak sih ketika lagi narik uang di ATM, terus pas keluar bingung gimana bayar parkirnya karena dompet isinya uang merah semua? Mau bayar tapi sayang karena uangnya kegedean dan masih fresh, tapi kalau nggak bayar juga nggak enak sama juru parkirnya.
Belum lagi dengan adanya kejadian-kejadian nyebelin seperti pungutan liar atau tarif parkir selangit yang nggak jarang terjadi ke kita. Beberapa hal ini mungkin yang jadi pertimbangan warganet di balik dukungan serentaknya terhadap fenomena ini. Namun, apabila ditelaah lebih jauh lagi, apa iya bayar parkir cashless memang lebih efisien dan efektif untuk diterapkan di seluruh Indonesia?
Ngomongin seputar parkir pasti nggak bisa lepas sama tarif yang berbeda-beda. Jangankan antar daerah di Indonesia, antar tempat di suatu kota aja terkadang kerasa banget perbedaannya. Misalnya di suatu tempat itu tarif untuk motor adalah 2000 rupiah dan mobil itu 5000 rupiah. Sementara itu, di tempat lain tarifnya bisa jadi jauh lebih mahal atau malah lebih murah.
Apalagi kalau perbedaan tarif ini terjadi di tempat wisata, pasar tradisional, atau lahan-lahan milik pemerintah daerah yang seharusnya memiliki tarif parkir yang sama. Sebab, penerapan retribusi parkir pada lahan-lahan milik pemerintah ini sejatinya memang ada regulasinya. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Maka dari itu, seharusnya ada pertanggungjawaban oleh pemerintah mengenai perbedaan tarif parkir ini.
Fenomena parkir cashless yang sedang hangat diperbincangkan ini kemudian menjadi opsi alternatif dalam hal transparansi dan akuntabilitas terhadap tarif parkir. Dalam cuitan milik akun Twitter @Vabyo selaku pihak yang memviralkan fenomena ini, nampak seorang juru parkir dari Kota Gianyar, Bali dengan co card berisikan barcode QRIS yang tergantung di lehernya.
Ngomong-ngomong soal QRIS, memang sebenarnya apa sih itu? Quick Response Code Indonesian Standard atau disingkat QRIS ini merupakan standar kode QR nasional yang diluncurkan oleh Bank Indonesia untuk memfasilitasi pembayaran melalui kode QR di negara kita. Maka dari itu, melalui QRIS ini masyarakat nantinya tidak perlu lagi mengeluarkan uang tunai untuk membayar tarif parkir, tetapi dapat membayarnya langsung dengan memindai kode QR tersebut menggunakan e-walletnya masing-masing.
Selain lebih efisien, penerapan bayar parkir cashless ini juga lebih transparan karena nominalnya jelas dan tidak ada perbedaan tarif. Dalam hal akuntabilitas, pemerintah daerah juga menjadi lebih mudah dalam memantau pendapatan asli daerah (PAD) yang mereka terima dari sektor parkir. Hal ini juga meminimalisir kemungkinan terjadinya aksi pungli, tarif parkir semena-mena, dan adanya juru parkir liar yang begitu meresahkan banyak orang.
Sejauh ini, prosedur membayar parkir di kebanyakan daerah masih menggunakan uang tunai dan karcis parkir. Seperti yang kita tahu juga nih, Civs, kalau karcis parkir itu terbuat dari kertas dan kertas berasal dari pohon. Tak jarang juga karcis parkir yang diberikan oleh juru parkir ini berakhir di tempat sampah atau berserakan di jalanan. Hal ini tentu saja kurang baik buat lingkungan kita.
Di samping itu, eksistensi parkir cashless bisa dibilang lebih ramah lingkungan, selain karena paperless juga dapat membantu mengurangi maraknya sampah-sampah kertas di jalanan. Hal ini juga berkaitan langsung dengan digitalisasi yang secara masif terjadi di berbagai macam sektor di Indonesia.
Kita bisa lihat sendiri industri dan sektor-sektor yang sudah menerapkan sistem cashless dalam mekanisme pembayarannya. Mulai dari F&B, transportasi, ekspedisi, dan lain sebagainya. Terus, kalau bayar ojek dan warteg aja bisa cashless, masa bayar parkir nggak?
Pandemi Covid-19 yang sudah dua tahun merebak di seluruh dunia juga secara tidak langsung mengubah kehidupan sosial masyarakat banyak. Kontak fisik dan mobilitas sosial sangat dibatasi demi mencegah penyebaran virus ini. Kemudian, lagi-lagi bayar parkir cashless menjadi sangat relevan mengingat mekanismenya yang tidak memerlukan kontak fisik maupun kontak barang.
Namun, kita pada akhirnya kembali ke ungkapan bahwa segala sesuatu itu tidak ada yang sempurna. Meskipun ada begitu banyak benefit dari bayar parkir cashless ini, kita nggak bisa mengesampingkan tiga hal esensial dari prosesnya, yaitu gadget, internet, dan e-wallet. Sebab, di Indonesia sendiri masih ada begitu banyak masyarakat yang belum memiliki itu dan kita nggak boleh tutup mata sama hal tersebut.
Bayar parkir cashless memang efektif dan efisien dalam penerapannya di era sekarang. Namun, hal ini juga memerlukan catatan bahwa pemerintah tetap harus memberikan opsi alternatif lain bagi orang-orang yang terkendala pada akses dan sarana penunjang parkir cashless. Evaluasi bersama sangat diperlukan agar dampak positifnya dapat dirasakan oleh masyarakat banyak, alih-alih malah merugikan dan menyusahkan nantinya.
Saran dari gue sih, kalau memang fenomena bayar parkir cashless atau nontunai ini mau diterapkan di seluruh Indonesia, ada baiknya dilakukan secara bertahap. Mungkin bisa dicoba di kota-kota besar terlebih dahulu, kemudian berlanjut di tiap-tiap kabupaten. Jangan lupa juga bahwa pemerintah tetap harus memperhatikan keadaan di lapangan dan senantiasa mendengarkan respons atau aspirasi dari masyarakat. (*/)