Lifestyle

MENGENAL ‘FRIENDSHIP MARRIAGE’ DI JEPANG, PERNIKAHAN ATAS DASAR CINTA PLATONIK

Trend friendship marriage merebak di kalangan anak muda. Pernikahan dengan konsep tersebut berbeda dengan pernikahan biasa. Lalu seperti apa konsepnya?

title

FROYONION.COM - Dalam banyak karya fiksi bahkan film, kita mudah menjumpai kisah cowok dan cewek yang sebelumnya hanya bersahabat kemudian menjalin hubungan romantis. 

Hubungan yang sebelumnya hanya didasari cinta platonis, berubah menjadi cinta yang punya intensi seksual.

Dari sinilah istilah ‘temen jadi demen’ kemudian lahir dan populer. Fenomena ini juga agaknya menjawab perdebatan panjang anak muda di semua generasi: benarkah cowok dan cewek bisa berteman tanpa punya ketertarikan secara seksual?

BACA JUGA: PLATONIC RELATIONSHIP: KARENA CINTA NGGAK MELULU SOAL NAFSU

Belakangan di Jepang muncul sebuah tren yang menggabungkan dua kata yang tak cocok dipadukan ini, yakni: pernikahan dan persahabatan. Pernikahan yang identik dengan seks, justru disandingkan dengan persahabatan.

Tren itu akrab disebut friendship marriage atau dalam versi bahasa Jepang disebut yūjō kekkon. Lantas, apakah tren ini sama dengan ‘temen jadi demen’ yang populer di Indonesia atau justru punya makna berbeda?

APA ITU FRIENDSHIP MARRIAGE?

Berdasarkan laporan dari laman SCMP.comfriendship marriage berbeda dengan cinta romantis yang mendasari pernikahan tradisional pada umumnya maupun pernikahan yang terjadi karena ‘temen jadi demen’. 

Jadi bisa dibilang tren tersebut bukan soal menikahi sahabat kalian. Friendship marriage lebih kepada kesepakatan dua orang untuk menikah berdasarkan minat yang sama dan nilai-nilai yang juga sejalan. 

Bahkan sebelumnya kedua belah pihak adalah orang asing yang tak saling kenal dan pertemuan mereka justru terjadi lewat perantara seorang agen.

Menurut data yang dihimpun oleh Colorus, lembaga yang menangani tren baru pernikahan ini sejak tahun 2015 lalu, menyebutkan bahwa ada sekitar 500 orang yang menjadi bagian dari tren tersebut. 

Bahkan beberapa diklaim telah memiliki anak. Meskipun dalam friendship marriage, salah satu aturan yang paling ditekankan adalah komitmen kedua belah pihak untuk tidak melakukan interaksi seksual. 

BACA JUGA: SERING MERASA KESEPIAN? BISA JADI MENGALAMI MOUSE EATING

Cara yang bisa mereka tempuh untuk punya anak dari pernikahan semacam ini adalah lewat inseminasi atau pembuahan buatan. Sehingga tujuan pernikahan mereka murni hanya untuk menjalin ‘persahabatan’.

“Tren friendship marriage itu seperti mencari teman sekamar yang punya minat yang sama,” ungkap anggota yang mengadopsi konsep pernikahan ini dikutip dari wawancara SCMP.

Sebelum memutuskan untuk menikah, kedua belah pihak akan bertemu, mendiskusikan banyak hal dan mencari titik kompromi atas kehendak masing-masing yang pasti punya beberapa perbedaan.

Bahkan keduanya juga membahas detail-detail kecil seperti siapa yang akan mencuci baju dan piring, siapa yang akan memasak, bagaimana pembagian ongkos rumah tangga, bagaimana pembagian ruang untuk lemari es hingga apakah mereka akan tinggal bersama atau terpisah setelah resmi menikah?

Diskusi semacam ini mungkin memang terdengar kaku. Namun hal ini sebetulnya diskusi yang wajar bagi mereka yang ingin menikah.

Hanya saja, besar kemungkinan mereka yang melakoni friendship marriage akan mendiskusikannya dengan pikiran lebih jernih. Juga tanpa terbawa perasaan layaknya pasangan berdasarkan cinta romantis yang bisa mengaburkan penilaian.

BACA JUGA: FANGIRL DAN FANBOY HARUS TAU! AWAS KENA JEBAK PARASOCIAL RELATIONSHIP

Terlepas dari dalil agama yang menyebut pernikahan sebagai ibadah, mesti diakui bahwa pernikahan memang punya sifat transaksional. 

Kedua belah pihak yang terlibat, masing-masing membutuhkan satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan dan kehendaknya.

Pada pernikahan tradisional, lelaki membutuhkan seks dan mungkin ingin mendapatkan keturunan dari perempuan yang dinikahinya. Sedangkan perempuan membutuhkan rasa aman dan nyaman dari pasangannya.

Sementara itu pada friendship marriage, kedua belah pihak mendiskusikan lebih dulu apa yang masing-masing mereka butuhkan dan melihat apakah mereka bisa mendapatkannya dari partner mereka sebelum melakukan komitmen.

Tak heran jika kedua belah pihak perlu memiliki minat yang sama dan mengusung nilai-nilai yang sejalan, untuk menghindari konfrontasi berlebihan. 

Mengusung pemikiran yang selaras ini bahkan bisa dibilang terjadi sejak mereka sepakat untuk menjadi bagian dari friendship marriage.

PEMICU TREN FRIENDSHIP MARRIAGE?

Seperti disebutkan dalam banyak berita yang bertebaran di internet, Jepang tengah menghadapi penurunan populasi yang cukup serius dalam beberapa tahun terakhir. 

Angka kelahiran lebih rendah ketimbang angka kematian, sehingga Jepang bisa saja lebih banyak diisi orang-orang lansia daripada generasi mudanya.

Isu tersebut makin diperparah dengan sikap generasi muda yang yang banyak menunda bahkan enggan untuk menikah. 

Alasan mereka beragam, bisa karena ingin fokus dalam membangun karir, biaya hidup di Jepang yang mencekik dan bikin harga rumah melambung gila-gilaan, hingga kesibukan pekerjaan yang menguras waktu dan tenaga sehingga mereka tak punya kesempatan untuk berkencan.

Depopulasi di Jepang kemudian melahirkan beberapa masalah baru, utamanya di dunia kerja. Akibat isu tersebut, banyak karyawan harus merangkap beberapa pekerjaan sekaligus karena perusahaan kekurangan orang untuk mengisi slot pekerjaan itu.

Kecemasan terhadap isu depopulasi tersebut, membuat para orangtua di Jepang mendesak generasi muda untuk mulai memikirkan soal pernikahan. 

Hal inilah yang kemudian memicu generasi muda Jepang banyak melakoni friendship marriage dengan alasan untuk menyenangkan orang tua mereka sementara mereka bisa fokus pada karir.

Di lain sisi, banyak generasi muda Jepang memilih untuk menjalani friendship marriage karena mereka tak menyukai konsep pernikahan tradisional yang dirasa kelewat mengekang. 

Bahkan beberapa menganggap dengan melakoni tren friendship marriage akan membangkitkan citra ‘stabil dan dewasa’ pada diri mereka.

Ini sesuai dengan laporan dari Colorus yang mengungkapkan, bahwa mereka yang menjalani friendship marriage ini rata-rata berusia 32,5 tahun. 

Bahkan mereka punya pendapatan yang bagus dan melebihi rata-rata pendapatan nasional. Selain itu, sekitar 85 persen dari keseluruhan telah bergelar sarjana bahkan punya jenjang pendidikan lebih tinggi dari itu.

Namun, anggota dari tren ini juga berasal dari orang-orang aseksual atau mereka yang tidak mampu merasakan hasrat seksual dan jatuh cinta. 

Mereka menempuh konsep pernikahan ini untuk merasa terkoneksi dengan orang lain dan memenuhi kebutuhan batin mereka sebagai makhluk sosial.

Uniknya, beberapa pasangan memutuskan untuk menjadi bagian dari tren ini dengan alasan untuk mendapatkan keringanan pajak dan kompensasi bagi pengantin baru, namun mereka belum siap untuk sebuah pernikahan. 

Terlebih, mereka bisa lebih berhemat karena biaya hidup yang tinggi ditanggung bersama-sama.

LEBIH BERHASIL KETIMBANG CINTA ROMANTIS

Pertanyaan yang banyak timbul dari tren ini adalah: apakah pernikahan atau hubungan yang berdiri di atas cinta platonis semacam ini bisa bertahan lama?

Sayangnya berdasarkan laporan dari Colorus, disebutkan bahwa hubungan semacam ini pun terkadang akan berakhir dengan perceraian. 

Namun, bukankah cinta romantis yang identik dengan hasrat seksual juga bukan penentu keberhasilan suatu pernikahan maupun hubungan?

Sebagai catatan, Froyonion pernah membahas esensi dari cinta platonis ini. Dalam tulisan itu si penulis menjelaskan, bahwa istilah cinta platonis kali pertama diperkenalkan oleh Plato, seorang filsuf terkenal asal Yunani.

Plato disebut percaya bahwa dengan mengeliminasi hasrat seksual dalam hubungan, manusia bisa menghindari perpecahan dan permasalahan yang seharusnya tidak perlu terjadi. 

Atau dengan kata lain, menaruh logika maupun pemikiran rasional di atas perasaan dan emosi yang cenderung mengaburkan penilaian.

Namun, saya juga sepakat ketika si penulis bilang, bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dari hasrat seksual atau cinta romantis. Sehingga kunci dari keberhasilan sebuah hubungan sebetulnya terletak pada seberapa bagus komunikasi kedua belah pihak.

Utamanya saat mendiskusikan kehendak masing-masing dan menemukan jalan tengah yang sama-sama disepakati. Juga soal seberapa jauh keduanya mampu meredam ego masing-masing dan berkompromi.

Meski terdengar jauh dari kata romantis, cinta platonis dalam friendship marriage bisa dibilang punya keunggulan dibanding pernikahan berdasarkan cinta romantis. 

Karena kedua belah pihak punya peluang untuk mendiskusikan terkait rumah tangga yang akan mereka tempuh dengan mengedepankan rasionalitas.

Memang bagi kebanyakan orang, sulit membayangkan menikahi seseorang yang tidak ia cintai secara seksual. Namun perlu diakui bahwa pernikahan atas tujuan persahabatan ini membawa manfaat bagi sebagian orang.

Friendship marriage bisa jadi telah membantu mereka untuk tetap terkoneksi dengan orang lain. Di satu titik, hubungan ini juga membantu mereka untuk mengetahui apa-apa saja yang ingin mereka dapatkan dari sebuah komitmen pernikahan.

Mungkin tren ini tidak berlaku untuk semua orang. Namun belum tentu tren friendship marriage merupakan suatu gejala perilaku menyimpang dan tidak sehat. Kita masih punya kesempatan untuk mendiskusikannya lebih mendalam. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Shofyan Kurniawan

Shofyan Kurniawan. Arek Suroboyo. Penggemar filmnya Quentin Tarantino. Bisa dihubungi di IG: @shofyankurniawan