Lifestyle

MENGATASI ROOMMATE SYNDROME: MENYULUT KEMBALI API KEHIDUPAN ROMANTIS

Roommate syndrome terjadi ketika hubungan romantis yang awalnya hangat, berubah menjadi sekadar berbagi tempat tinggal tanpa kedekatan emosional dan fisik. Kalian pernah mengalami hal ini?

title

FROYONION.COMRoommate syndrome menggambarkan situasi ketika hubungan yang dulunya hangat berubah menjadi sekadar hubungan berbagi tempat tinggal. 

Pasangan yang mengalaminya sering merasa terputus secara emosional; mereka hidup bersama dan berbagi tanggung jawab, tetapi kehilangan keintiman yang seharusnya menjadi dasar dari hubungan yang sehat. 

Alih-alih menjadi pasangan atau sahabat, mereka berubah menjadi dua individu yang sekadar menghuni ruang yang sama.

Menurut theknot.com, istilah "roommate syndrome" atau "housemate syndrome" mengacu pada kondisi ketika hubungan romantis menjadi hambar, seolah-olah pasangan hanya seperti teman sekamar biasa. 

Timbul rasa keterasingan di antara keduanya seperti "kapal yang hanya berpapasan di malam hari" karena hilangnya ikatan emosional dan keintiman fisik. Akibatnya, hubungan mereka lebih menyerupai hubungan teman tinggal yang hanya berbagi ruang tanpa ikatan yang mendalam.

Adrine Davtyan, LCSW, seorang psikoterapis yang berbasis di Los Angeles, sependapat. Dia menambahkan bahwa seiring waktu, rutinitas dan tanggung jawab pasangan dapat mengalahkan spontanitas dan gairah yang awalnya menjadi ciri khas hubungan mereka. 

Tiba-tiba, hubungan pun terasa lebih seperti teman sekamar daripada pasangan romantis yang penuh gairah.

MENJALANI KEHIDUPAN YANG TERPISAH

Pasangan dalam sindrom ini sering menjalani kehidupan yang terpisah dengan hobi, rutinitas, dan lingkaran pertemanan yang berbeda. 

Walaupun sekilas tidak terlihat sebagai masalah, hal ini dapat menjadi perhatian ketika pasangan jarang meluangkan waktu bersama di luar tugas sehari-hari. 

Mereka biasanya sibuk dengan aktivitas masing-masing, seperti pergi bersama teman, tenggelam dalam hobi individu, atau mengurus kehidupan mereka secara terpisah. 

Menikmati waktu sendiri atau mengejar minat pribadi sebenarnya sehat, tetapi masalah muncul saat hidup mereka hampir tidak beririsan. Ini lebih seperti dua individu yang menjalani hidupnya di bawah satu atap.

Penelitian menunjukkan bahwa meluangkan waktu untuk pasangan adalah hal penting untuk menjaga kualitas hubungan. 

Dalam studi tahun 2020 yang diterbitkan di Personality and Social Psychology Bulletin, ditemukan bahwa pasangan yang secara aktif meluangkan waktu untuk satu sama lain memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi. 

Namun, hal ini hanya berlaku bagi pasangan yang sudah merasa puas dalam hubungan mereka. 

Jika dasar hubungan terasa lemah atau tidak memuaskan, penambahan waktu bersama mungkin tidak akan meningkatkan kebahagiaan; inilah sebabnya beberapa pasangan yang mengalami sindrom teman sekamar tidak merasakan dampak positif dari menghabiskan waktu bersama.

INTIMASI YANG MEMUDAR

Intimasi baik dalam bentuk fisik maupun emosional adalah kunci dalam hubungan yang sehat. Ketika momen ini terasa seperti rutinitas atau kewajiban, atau saat keinginan mulai memudar, kedua pasangan pasti akan merasa terputus. 

Seks bisa terasa seperti sesuatu yang "harus dilakukan" daripada momen yang penuh gairah, dan gestur kecil seperti berpegangan tangan atau berciuman mungkin mulai terasa tidak penting.

Sebuah studi tahun 2019 yang diterbitkan dalam Personality and Individual Differences menekankan pentingnya hasrat dalam hubungan. 

Para peneliti mencatat bahwa pasangan yang mempertahankan keinginan seksual kuat dan alami satu sama lain cenderung memiliki kehidupan seks yang lebih memuaskan dan responsif. 

Artinya, ketika pasangan benar-benar menginginkan satu sama lain secara mendasar, baik secara emosional maupun fisik, kehidupan seks mereka akan tetap hidup, aktif, dan saling menyenangkan. 

Namun, saat keinginan tersebut mulai memudar, kemungkinan besar akan terjadi penarikan emosional yang lebih dalam.

Ketika momen-momen kecil seperti ini menghilang, mudah bagi pasangan untuk merasa lebih seperti kenalan yang jauh daripada rekan yang romantis. 

Jika pemikiran tentang kedekatan fisik terasa janggal, seolah menjadi rutinitas, atau bahkan sesuatu yang ingin dihindari, mungkin hubungan mulai berubah menjadi sekadar hubungan berbagi tempat.

MINIMNYA KOMUNIKASI

Komunikasi adalah tulang punggung setiap hubungan; tanpa itu, pasangan akan merasa jauh. Pasangan dalam sindrom teman sekamar biasanya tidak hanya menghindari percakapan sulit, tetapi juga jarang berbicara sama sekali. 

Mereka mungkin tidak melihat pentingnya bertanya tentang hari masing-masing atau berbagi pikiran dan perasaan. 

Bahkan obrolan ringan bisa menjadi jarang, mungkin karena mereka merasa kehabisan hal untuk dibicarakan. Tanpa dialog yang terbuka, tulus, atau bahkan sekadar percakapan ringan, mereka akan merasa kekurangan secara emosional dan sosial.

Pentingnya komunikasi yang tulus dalam menjaga hubungan yang sehat ditekankan dalam sebuah studi pada tahun 2021. Studi tersebut mengungkapkan bahwa komunikasi yang efektif didasari oleh prinsip keterbukaan terhadap satu sama lain. 

Namun, ketika keterbukaan dan ketulusan ini memudar, hubungan bisa terasa hampa; mereka mungkin tidak lagi merasa aman secara emosional atau merasa memiliki sesuatu yang menarik untuk dibicarakan.

Coba pikirkan tentang peran komunikasi dalam hubungan. Kapan terakhir kali ada percakapan yang mendalam dengan pasangan sesuatu yang melampaui logistik kehidupan sehari-hari? 

Jika percakapan santai tentang pikiran, impian, atau sekadar cerita harian menjadi jarang, ini bisa menjadi tanda bahwa jarak emosional mulai terbentuk. 

Seiring waktu, minimnya komunikasi ini dapat membuat pasangan merasa mereka hidup dengan orang asing, seseorang yang tidak lagi dikenal atau dipahami.

Meski mungkin terasa canggung untuk membicarakan situasi yang terjadi, penting untuk secara perlahan mengangkat topik ini dengan pasangan. 

Hal ini membantu kedua belah pihak memiliki pemahaman yang sama sehingga dapat bersama-sama merawat kembali hubungan. Banyak orang mengalami hal serupa, dan selalu ada cara untuk memperbaikinya. 

Pendekatan terbaik adalah menangani masalah roommate syndrome sebagai tim, mengambil tanggung jawab atas tantangan yang terjadi, sering melakukan pengecekan satu sama lain mengenai kondisi yang berjalan, serta mencari solusi bersama untuk masa depan, tanpa saling menyalahkan atas kesalahan masa lalu. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Abdillah Qomaru Zaman

Lulusan Ilmu Politik, freelance penulis dan pelatih silat.