Lifestyle

FILOSOFI KEREN 'MOTTAINAI' DARI JEPANG UNTUK HIDUP LEBIH BIJAK

Nilai-nilai Mottainai diterapkan dalam kehidupan modern melalui seni tradisional dan pendekatan kontemporer seperti metode Marie Kondo. Filosofi dari Jepang ini berakar pada ajaran Shinto dan Buddhisme.

title

FROYONION.COM Saat ini, semakin banyak orang yang mencari cara untuk hidup lebih sederhana dalam kehidupannya. 

Di tengah tren minimalisme dan gaya hidup berkelanjutan, filosofi Jepang yang dikenal sebagai "Mottainai" menawarkan pendekatan unik yang bisa menginspirasi kita semua. 

Lebih dari sekadar menolak pemborosan, Mottainai adalah ajakan untuk menghargai setiap barang yang kita miliki, memahami nilai mereka, dan memperlakukan mereka dengan rasa hormat.

Filosofi ini mengakar dalam budaya dan sejarah Jepang, merangkum ajaran agama dan kepercayaan lokal yang telah ada selama berabad-abad. 

FILOSOFI “WASTE NOT, WANT NOT” DI JEPANG

Ketika mendengar frasa "waste not, want not," banyak dari kita mungkin mengaitkannya dengan gagasan umum untuk tidak membuang-buang sesuatu. 

Namun, ketika di Jepang, konsep ini memiliki makna yang jauh lebih dalam dan menyentuh berbagai aspek kehidupan dari agama dan budaya hingga perilaku sehari-hari. 

BACA JUGA: MENGENAL ‘FRIENDSHIP MARRIAGE’ DI JEPANG, PERNIKAHAN ATAS DASAR CINTA PLATONIK

Dalam budaya Jepang, filosofi ini dikenal dengan istilah mottainai, yang tidak hanya menekankan pentingnya menghindari pemborosan, tetapi juga menghargai dan meresapi setiap barang yang kita miliki. 

Mottainai adalah cerminan dari keseimbangan antara manusia dengan alam, serta manifestasi dari penghormatan terhadap benda-benda yang melayani kehidupan kita.

AKAR FILOSOFI DALAM TRADISI SHINTO DAN BUDDHISME

Filosofi mottainai berakar pada ajaran Shinto yang merupakan kepercayaan asli dari Jepang. Shinto mengajarkan bahwa setiap benda, bahkan yang tidak hidup sekalipun, memiliki jiwa atau roh yang disebut “kami”.

Kepercayaan ini memicu lahirnya konsep tsukumogami, yaitu benda-benda yang telah berumur lebih dari seratus tahun dan menjadi hidup karena diisi oleh roh. 

Kisah-kisah seperti "Tsukumogami-ki" menggambarkan bagaimana benda-benda ini, jika dibuang tanpa rasa hormat, bisa menjadi marah dan menyebabkan kekacauan sebagai bentuk balas dendam atas ketidakpedulian manusia.​ 

BACA JUGA: MENGENAL KAROSHI, BUDAYA BEKERJA BERLEBIHAN DI JEPANG YANG MEMATIKAN

Namun, pengaruh filosofi ini tidak berhenti di Shinto saja. Zen Buddhisme, salah satu cabang utama Buddhisme di Jepang, juga memiliki peran penting dalam memperkuat konsep mottainai. 

Zen Buddhisme menekankan pada pengosongan pikiran dan kebijaksanaan yang dicapai melalui praktik minimalisme, yang secara tidak langsung mendorong untuk hidup sederhana dan menghargai apa yang dimiliki. 

Ajaran Buddhisme tentang karma bahwa segala tindakan, termasuk bagaimana kita memperlakukan benda, memiliki konsekuensi moral menambah dimensi spiritual dari filosofi ini​.

Selain itu, konsep pratityasamutpada dalam Buddhisme, yang mengajarkan tentang keterhubungan segala sesuatu, menjadi landasan bagi pemahaman bahwa setiap benda, sekecil apapun, memiliki dampak pada kehidupan kita dan lingkungan sekitar. 

Dengan demikian, menjaga benda-benda yang ada dengan baik bukan hanya soal etika, tetapi juga tentang menjaga keseimbangan alam dan kehidupan​.

DARI KINTSUGI HINGGA MARIE KONDO, BAGAIMANA KEHIDUPAN SEHARI-HARI?

Dalam praktik sehari-hari, filosofi mottainai terlihat jelas dalam berbagai tradisi dan kebiasaan. 

Misalnya, seni kintsugi merupakan seni memperbaiki keramik yang retak dengan emas, tidak hanya menunjukkan penghargaan terhadap barang yang rusak, tetapi juga menambahkan nilai estetika baru pada benda tersebut. 

Kintsugi adalah simbol bagaimana orang Jepang melihat nilai dalam setiap retakan dan ketidaksempurnaan, menjadikannya bagian dari keindahan dan sejarah objek tersebut​.

Selain itu, Jepang juga memiliki berbagai ritual penghormatan seperti upacara pembakaran boneka atau ritual perpisahan jarum jahit yang telah tidak digunakan. 

Ritual-ritual ini menunjukkan penghormatan terakhir kepada benda-benda yang telah melayani pemiliknya dengan baik, sebelum akhirnya dilepaskan​.

Filosofi ini juga mendapatkan sentuhan modern melalui metode Marie Kondo, yang terkenal dengan pendekatannya dalam merapikan rumah dengan hanya menyimpan benda-benda yang memberikan kebahagiaan atau "spark joy". 

Pendekatan Kondo ini sejalan dengan esensi mottainai, di mana setiap benda dihargai dan dipertahankan selama masih membawa manfaat atau kebahagiaan​.

Kondo juga mengajarkan bahwa ketika kita harus melepaskan barang, kita harus melakukannya dengan rasa syukur, bukan sekadar membuangnya tanpa berpikir. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Muhamad Hendra Prasetya

Budak startup nyambi freelance