Jadi tamu di desa lokasi KKN kok ngelunjak? Situ mahasiswa apa tamu pemerintah?
FROYONION.COM - Tingkah mahasiswa kembali disorot dunia maya. Bukan karena mereka berprestasi, justru tingkahnya di lokasi Kelompok Kerja Nyata (KKN) yang bikin netizen sampai gigit jari!
Tingkah mereka terjadi selama pelaksanaan KKN. Pada sebuah universitas negeri di Indonesia, beberapa oknum mahasiswa membagikan keluh kesah mereka selama melaksanakan KKN di desa yang ditempati melalui media sosial masing-masing.
Dikarenakan konten yang dibagikan mengandung unsur kebencian, beberapa warga desa memutuskan menemui anggota KKN untuk memberikan klarifikasi. Keadaan berakhir dengan anggota KKN dipulangkan ke rumah masing-masing.
Kalau dilihat dari video mereka, inti keluhan yang disampaikan berkaitan dengan fasilitas selama KKN. Rumah ngontrak, minim air, sampai harus mandi di musala. Ketiga masalah di atas berkaitan dengan fasilitas tempat tinggal yang mereka tempati selama mengabdi di desa.
Yang saya sayangkan sebenarnya adalah sikap yang mereka ambil. Dibandingkan menyelesaikan masalah secara personal, mereka lebih milih buat ngajak netizen merasakan yang sedang terjadi di desa. Dipikir kalau ngumbar-ngumbar di sosmed bisa menyelesaikan masalah? Sayang sekali tidak semudah itu ferguso. Takdir tidak selalu menguntungkan kalian.
Perlu diingat bahwa mahasiswa melakukan KKN bukan rangka merayakan liburan semester, melainkan untuk mempertanggung jawabkan status mereka sebagai calon masa depan bangsa.
Mahasiswa ditugaskan kampus untuk datang ke desa menyelesaikan masalah yang sedang terjadi berbekal pendidikan yang didapatkan selama menempuh perkuliahan. Oleh karena itu, KKN bisa disebut sebagai masa pengenalan mahasiswa menghadapi kenyataan.
Saya memahami bahwa sistem plotting tempat KKN sulit memuaskan beberapa mahasiswa. Ada mahasiswa yang beruntung maupun tidak dari sistem plotting tersebut.
Nah, mahasiswa yang nasibnya kurang beruntung ini sering mengeluhkan masalah yang sedang dialami kasus oknum mahasiswa di atas. Masalahnya kan kualitas SDA dan SDM tiap desa berbeda satu sama lain. Mau kalian gimana? Minta buat disewakan hotel selama KKN?
Kalian itu loh datang sebagai tamu. Desa menyambut kalian dengan harapan membuat perubahan. Tentu saja ekspektasi warga desa sangat tinggi sama mahasiswa KKN dikarenakan tidak semua orang beruntung menikmati bangku kuliah.
Tidak semua warga desa menempuh pendidikan tinggi seperti kalian. Buat apa juga desa menyambut mahasiswa KKN kalau seluruh warganya merupakan lulusan perguruan tinggi? Maka dari itu, desa mau menerima permintaan kampus supaya dijadikan tempat pelaksanaan KKN.
Nah, lalu bagaimana sikap mahasiswa mendapatkan fasilitas yang kurang nyaman selama melaksanakan KKN? Ya nggak ada. Mau nggak mau, mahasiswa harus menerima kenyataan jika desa yang ditempati hanya memberikan fasilitas semampunya.
Tidak ada solusi lain, kecuali kalau anggota kelompok kalian pandai bernegosiasi dengan pihak desa agar kedua belah pihak tidak ada yang saling dirugikan. Cara tersebut lebih baik dibandingkan mengeluh di medsos.
Lagipula, nggak ada gunanya buat ngumbar keluhan kalian di medsos. Apakah dana desa akan turun setelah melapor lewat medsos hanya untuk memanjakan fasilitas kalian? Saya jamin nggak ada perubahan signifikan. Toh, KKN juga dilakukan selama sebulan.
Warga desa juga manusia. Memiliki ketersinggungan jika perasaan mereka disakiti. Terutama dengan kehadiran media sosial zaman sekarang.
Dunia sekarang telah terbagi menjadi dua antara dunia nyata dan maya. Mengumbar kejelekan di medsos tentu menyakiti perasaan seseorang. Kelakuan oknum mahasiswa KKN di atas telah menyakiti perasaan warga desa yang sedang mereka tempati sekarang.
Image desa yang sedang berproses menjadi lebih baik malah diganggu warga asing yang bahkan belum tentu memberikan kontribusi positif bagi warga. Nggak heran kalau warga di sana langsung turun tangan menuntut oknum mahasiswa memberikan klarifikasi.
Bukan cuma warga desa yang merasa dirugikan. Kampus kalian juga malu melihat tingkah mahasiswanya kayak gitu. Kalau sudah tau masalahnya kayak gini, dijamin deh desa yang bersangkutan nggak mau lagi dijadikan tempat KKN.
Bisa jadi, perangkat maupun warga desa tidak menyarankan desa lainnya untuk bekerja sama dengan kampus yang sedang bermasalah.
Pada akhirnya, kampus kalian mendapatkan citra buruk dari masyarakat. Maka dari itu, kampus langsung bertindak dengan memberikan skorsing supaya mahasiswa ke depan tidak berani mengulangi kejadian memalukan yang pernah terjadi sebelumnya.
Pada intinya, mahasiswa KKN tetaplah seorang tamu. Sebagai tamu, dilarang hukumnya memprotes fasilitas yang telah diberikan tuan rumah. Tamu seharusnya bersyukur diberi fasilitas yang masih layak untuk tinggal sementara dalam beberapa hari. Kalaupun ada yang merasa kurang, coba deh lebih sering berkomunikasi sama warga desa supaya bisa diperhitungkan kembali.
Lagipula, desa juga tidak tega memberikan fasilitas buat kalian selama KKN. Cuma ya kembali ke kemampuan desa seberapa besar mereka mampu memfasilitasi kalian. Jangan malah memperkeruh suasana dengan cara mengumbar aib desa ke medsos. Bukannya jadi pahlawan malah dipecundangi warga.
Komunikasi merupakan syarat penting untuk meminimalisir segala bentuk miskomunikasi. Semakin sering mahasiswa KKN berinteraksi sama warga, semakin besar peluang dipermudah urusannya selama KKN.
Desa justru lebih senang sama mahasiswa KKN yang nggak bikin ulah di tempat mereka. Bahkan, jika mahasiswa KKN berhasil mewujudkan program desa, bukan nggak mungkin kalau kedatangan kalian pasti dirindukan warga desa. Warga senang, nilai kuliah auto dapat A.
Buat mahasiswa yang belum mengambil KKN semester sekarang, jadikan ulah oknum di atas sebagai pelajaran. Jangan bikin malu almamater yang telah kalian tempuh selama beberapa tahun.
KKN termasuk langkah terakhir menuju kelulusan mahasiswa. Skripsi maupun tugas akhir kalian tidak berarti kalau tanggung jawab KKN belum tuntas. Maka dari itu, jangan bikin ulah selama KKN kalau nggak mau jadi donatur kampus! (*/)