Valentine lalu, sejumlah pasangan muda, juga para penggebet ramai berdatangan ke Taman Indonesia Kaya. Mereka berpacaran secara kultural dan akademik dengan nonton pementasan Pecah Kulit “Penjara Bawah Tanah” yang dibawakan oleh Teater Terjal.
FROYONION.COM - Teater yang aktif di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta itu memang sudah secara periodik melakukan pementasan keliling sejak 2018 lalu. Diprakarsai oleh Lutfi Dwi Kurniawan, sebagai sutradara yang terus aktif sejak tahun tersebut, Teater Terjal juga menggaet Gati Andoko sebagai pembimbing dan penulis naskahnya.
Dengan gabungan pengalaman Gati Andoko sebagai aktor, sutradara, dan penulis naskah di masa kejayaan W.S. Rendra dulu, Teater Terjal pun banyak belajar bagaimana sebuah pementasan dipertontonkan.
Hingga kini, Teater Terjal memiliki identitas dalam teknik pemanggungan yang dilakukan, yakni dengan menghadirkan unsur persilatan di dalam setiap gestur dan mimik.
Dalam keseharian proses produksi, Teater Terjal kerap kali belajar ilmu bela diri, mulai dari Silat tradisional, sampai teknik bela diri dari negeri seberang seperti Taekwondo.
Hal ini terutama disebabkan hadirnya para lulusan ilmu persilatan dan beladiri lainnya yang ikut aktif membangun pondasi Teater Terjal—dan mereka semua masih anak-anak muda loh! Bayangin di usia yang masih 20-an tahun mereka sudah menjadi master ilmu bela diri, yah setidaknya dalam tingkat I, dan itu bisa dipakai sebagai dasar pola gestur dan mimik dalam permainan teater.
BACA JUGA: TEATER 7: WADAH BAGI TEMAN TULI UNTUK TAMPIL DI BIDANG SENI PERTUNJUKAN
Nah, dalam pementasan Pecah Kulit “Penjara Bawah Tanah” tersebut, Teater Terjal menggunakan teknik bela diri untuk membangun latar fenomena dan peristiwa tahun 1949. Kala itu seorang wanita yang menjadi mata-mata telah mengorbankan dirinya demi merebut kembali kebebasan Indonesia.
Tentu saja, seorang mata-mata dapat dikenal dengan berbagai nama dan dengan berbagai samarannya itu ia mampu mengirimkan berita strategis ke berbagai daerah di Jawa Tengah dan Yogyakarta, sehingga para tentara pembebasan mampu bergerak lebih bebas.
Bagaimanapun, kala itu, Sekutu dan NICA datang kembali ke Indonesia untuk mengakuisisi kemerdekaan yang dianggap tidak sah. Namun demikian, pergerakan di balik bayangan ternyata mampu menggerogoti Sekutu dan NICA untuk akhirnya mengembalikan kemerdekaan Indonesia.
Meskipun sejatinya, pergerakan itu justru membuatnya tertangkap secara tidak sengaja sebab ia adalah perempuan Indonesia. Sebagai seorang berjiwa Jawa, ia dikisahkan menolong seorang perempuan berwajah pribumi yang hendak naik kereta. Hanya saja, tiba-tiba sosok perempuan pribumi itu tiba-tiba lenyap dan secara simbolik digambarkan sebagai double agent yang sengaja menjebak mata-mata dari Indonesia.
Jebakan ini kemudian menjadi sebuah rentetan kisah pilu yang membuat sosok wanita mata-mata dari Indonesia harus kehilangan anaknya dan kewarasannya. Dengan sebuah hukuman mati menyakitkan, yakni dengan mengikat tangan dan kaki seorang laki-laki yang dikenal masih sedarah dengan wanita tersebut, empat ekor kuda berlari ke arah yang berlawanan.
Tangan kiri lelaki tersebut copot dan darah mengucur deras, membuatnya lemas sampai kehilangan nyawa. Darah yang mengucur itu tiba-tiba menjadi selimut ingatan dalam kewarasan wanita tersebut. Menjadi seorang wanita gila, Sekutu dan NICA pun tidak lagi mempedulikannya.
Wanita itu pun menggelandang berkeliling Jawa Tengah dan Yogyakarta, bergumam tentang kisahnya. Hingga akhirnya, ia pun menghembuskan napas terakhirnya pada sebuah panti kejiwaan di tanah Kraton Yogyakarta.
Narasi historis itu digambarkan oleh Teater Terjal dengan pola panggung yang minim properti. Dengan dua aktor di atas panggung, mereka mewujudkan diri sebagai banyak hal. Kadang-kadang menjadi mobil secara pantomim. Kadang-kadang mengambil wajah garang tentara NICA dengan mengubah ekspresi.
Selain itu, berbagai adegan gorr mereka pentaskan dengan pola tubuh yang sangat plastis. Seperti ketika sosok laki-laki ditarik oleh empat ekor kuda, sang aktor mampu melakukan split cepat dan membuat salah satu tangannya seperti patah dengan gerakan break dance.
Pola pemanggungan itu juga dibumbui interaksi kedua aktor dengan penonton. Sesekali komunikasi simbolis dan komedik dihadirkan agar pementasan tidak membuat penonton terbawa dalam nuansa yang terlalu serius. Beberapa aksi aktor yang membuat gue cukup terkesan adalah ketika mereka meminta minum dari penonton ketika kehausan.
Selain itu, ada juga beberapa momen bernyanyi yang membuat penonton tidak bisa diam begitu saja. Hal itu seperti sebuah ilustrasi pesta teater yang membuat penonton ikut terlibat di dalam pementasan, bukan hanya sekadar penikmat yang duduk di depan panggung saja.
Pementasan yang mendekatkan aktor dengan penonton itu juga dilakukan secara intim. Umumnya, para penonton akan menyaksikan pementasan dari tribun dan pemeran aktif bergerak di atas panggung. Bedanya, malam itu Teater Terjal mengajak penonton ikut naik ke atas panggung dan ikut merasakan pementasan dari jarak dekat. Tak ayal, penonton pun ikut terbawa dalam suasana menyayat hati, ngeri, dan sesekali bernyanyi bersama kedua aktor.
“Bagiku ini membuktikan bagaimana pemuda Kota Semarang mau diajak berbudaya, menjadi berwawasan, daripada hanya sekadar menimati valentine dalam nuansa romantis yang mainstream,” ungkap Lutfi sebagai sutradara dalam pementasan ini.
Ungkapan Lutfi tersebut juga disetujui oleh beberapa komunitas teater di Semarang Raya yang ikut hadir. Hal itu secara visual membuktikan bagaimana pemuda dari Kota Semarang dengan para aktivis seni dan kebudayaan di dalamnya mau ikut bergerak dalam ruang romansa yang berbeda.
Pertemuan berbagai kalangan ini menjadi sebuah momen silaturahmi kebudayaan yang juga sudah menjadi ciri khas dari pementasan Teater Terjal itu sendiri. Nantinya, perjalanan ini akan terus diadakan untuk membawa potret baru pementasan teater eksperimental ke berbagai kota lain di Indonesia. (*/)