Kreatif

TEATER KOMA TAMPILKAN KARYA KE-230 BERTAJUK MATAHARI PAPUA: SAATNYA MERDEKA DARI NAGA

Setelah penantian lama, Teater Koma mempersembahkan produksi ke-230 berjudul “Matahari Papua: Saatnya Merdeka dari Naga” di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki pada 7 - 9 Juni.

title

FROYONION.COMSiapa yang tak kenal Teater Koma? Setelah vakum karena pandemi Covid-19, pementasan berjudul Matahari Papua: Saatnya Merdeka dari Naga akhirnya terlaksana di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, 7 - 9 Juni 2024.

Lakon yang menjadi produksi ke-230 dari Teater Koma ini merupakan cerita terakhir yang digarap oleh Nano Riantiarno (Alm.) dan diadakan berdekatan dengan hari lahirnya pada 6 Juni. Penampilan ini sekaligus menandai geliat Teater Koma yang terus berkarya.

“Kembalinya kami tampil di Graha Bhakti Budaya menjadi tempat yang penuh mengesankan. Di tempat bersejarah ini, Teater Koma telah mementaskan berbagai karyanya, dan kini kami kembali hadir, meskipun tanpa kehadiran Mas Nano,” ujar Ratna Riantiarno yang juga berperan sebagai produser.

BACA JUGA: TEATER KOMA WUJUDKAN NASKAH TERAKHIR ALM. NANO DALAM PENTAS ‘MATAHARI PAPUA’ 

“Sosok sang guru, bapak, saudara, sahabat itu akan selalu menyertai di hati kami. Setiap langkah kami diiringi oleh wejangan dan ajarannya. Kami takkan pernah berhenti melangkah, selalu bergerak maju, tanpa henti, bagaikan koma yang tak pernah berakhir,” timpalnya.

“Almarhum telah mengabdikan hidupnya untuk memajukan dunia teater Indonesia melalui kisah-kisah yang menyentuh hati dan sarat makna. Karya terbarunya menjadi bukti nyata dedikasi dan kecintaannya yang mendalam terhadap seni pertunjukan. Kita berharap warisannya akan terus menginspirasi dan membangkitkan semangat generasi penerus untuk melestarikan dan menghargai kekayaan seni budaya bangsa,” ucap Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.

SINOPSIS PEMENTASAN “MATAHARI PAPUA: SAATNYA MERDEKA DARI NAGA”

Pementasan Matahari Papua berlatarkan suatu dusun di wilayah Kamoro, Papua, yang mengisahkan seorang pemuda bernama Biwar tumbuh dewasa di bawah asuhan sang Mama, Yakomina dan didikan Dukun Koreri.

Aksi naga yang tengah mengganggu Papa dan tiga paman Biwar. (Sumber: Teater Koma)

Saat mencari ikan di sungai, Biwar menolong Nadiva dari serangan Tiga Biawak, anak buah Naga, yang meneror Tanah Papua. Lantas, Biwar bercerita kepada Mamanya, sang Mama justru mengisahkan memori pahit. 

Ternyata, Naga berhasil membunuh mati Papa beserta tiga paman Biwar. Mama, yang sedang mengandung, lolos lalu melahirkan Biwar. Biwar bertekad balas dendam, membunuh Sang Naga. Apakah Biwar mampu membunuh Naga?

Bicara soal naskah, ternyata pertama kali ditulis pada tahun 2014, sebagai naskah pendek untuk pertunjukan bertajuk Cahaya dari Papua di Galeri Indonesia Kaya. 

Alih-alih berhenti saat pandemi Covid-19 merebak, naskah ini justru dikembangkan oleh Nano Riantiarno hingga terpilih dalam Rawayan Award.

“Naskah anonim karya Pak Nano ini dikirimkan ke Sayembara Penulisan Naskah Dewan Kesenian Jakarta (Rawayan Award) 2022 dan berhasil meraih penghargaan. Karya panjang terakhir ini menunjukkan dedikasi dan semangat Pak Nano yang luar biasa dalam berkarya, bahkan di masa-masa sulit. Kontribusinya terus menginspirasi dunia teater Indonesia dan meninggalkan warisan yang tak ternilai,” ujar Rangga Riantiarno, Sutradara pertunjukan Matahari Papua.

LIKA - LIKU PERSIAPAN PEMENTASAN MATAHARI PAPUA

Penampilan yang dihelat selama kurang lebih dua jam ini menyiratkan kisah menarik di balik persiapan yang memakan waktu selama tiga bulan. Terhitung sejak Maret 2024, Teater Koma telah giat mengadakan latihan rutin.

Tak jarang ada saja tantangan yang mesti dihadapi demi menampilkan suatu pementasan yang apik, terlebih produksi ini bukanlah sembarang karya, yakni secara khusus dipersembahkan sebagai pengingat karya Nano Riantiarno yang fenomenal.

BACA JUGA: INGAT KELUARGA CEMARA? KINI TAMPIL DALAM FORMAT DRAMA MUSIKAL YANG SERU NAN MENGHARUKAN

Seperti halnya menyajikan properti sebuah naga raksasa. Sebagai sutradara, Rangga Riantiarno sampai-sampai mengajak para pemain naga untuk berlatih secara jarak jauh karena kapasitas ruang sanggar yang terbatas.

“Tantangannya adalah membayangkan pergantian adegan ke adegan, serta lalu lintas keluar benda-benda besar, seperti keluar masuknya dua rumah di panggung, dan pemunculan sang naga. Sanggar latihan kami tidak muat, jadi naga latihan sendiri dan kirim video ke tim kami untuk kami beri masukan. Tapi semua memang hanya bisa disesuaikan dengan ruang aslinya ketika sudah sampai gedung,” jelasnya.

DIDUKUNG PEMAIN ANDAL DAN TIM YANG BERPENGALAMAN

Tercatat ada beberapa pemain andal di pentas ini antara lain Tuti Hartati, Lutfi Ardiansyah, Joind Bayuwinanda, Netta Kusumah Dewi, Daisy Lantang, Bayu Dharmawan Saleh, Sir Ilham Jambak, Sri Qadariatin. 

Selain itu, terdapat beberapa nama lain yang berkontribusi, seperti Zulfi Ramdoni, Angga Yasti, Rita Matumona, Dana Hassan, Adri Prasetyo, Andhini Puteri, Dodi Gustaman, Indrie Djati, Pandu Raka Pangestu, Hapsari Andira, Radhen Darwin, Edo Paha, dan masih banyak lagi.

Pementasan Matahari Papua
Pementasan Matahari Papua: Saatnya Merdeka dari Naga oleh Teater Koma. (Sumber: Teater Koma)

Pementasan ini disutradarai oleh Rangga Riantiarno, dengan Nino Bukir sebagai asisten sutradara. Tim kreatifnya terdiri dari Deden Jalaludin Bulqini (tata artistik dan multimedia), Fero A. Stefanus (tata musik), Subarkah Hadisarjana (tata rias), Rima Ananda Omar (tata busana), Sena Sukarya (tata rambut), Deray Setyadi (tata cahaya), Ratna Ully (tata gerak), Bona (tata suara), Ajeng Destrian (pandu vokal), Saut Irianto Manik (rancang grafis), Rasapta Candrika (pimpinan produksi) yang dibantu Tinton Prianggoro (pengarah teknik), Sari Madjid Prianggoro (manajer panggung), dan Ratna Riantiarno (produser).

Lantas, bagaimana peran Teater Koma melakukan regenerasi pemain khususnya terhadap generasi muda? Melalui pemanfaatan media sosial seperti Facebook, X, dan Instagram, Teater Koma senantiasa aktif merekrut pemain baru dan informasi terkini seputar pementasan.

“Melalui media sosial. Baru-baru ini setelah lama punya Facebook Fan Page, akun X dan akun Instagram, kami membuat akun TikTok setelah menentukan konten apa saja yang bisa diunggah ke situ,” jawabnya.

Lakon ini berakhir bahagia, seiring antusiasme penonton yang luar biasa dan sangat menantikan penampilan dari Teater Koma. Selaku putra dari sang maestro, sutradara serta produser, Rangga Riantiarno menyampaikan harapan dan pesan menarik.

“Semoga lakon ini bisa membuat kita tak hanya memedulikan apa yang terjadi nun jauh di sana, tapi juga melihat apa yang terjadi di dekat kita, karena naga-naga penindas selalu ada di mana-mana. Dan dengan lakon ini, kami menunjukkan bahwa kami tak pernah titik, selalu Koma,” pungkasnya. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Lukman Hakim

Penulis lepas yang menuangkan ide secara bebas tapi tetap berasas