Saat awal pandemi, orang-orang terkurung dalam rumah dan butuh hiburan. Film pendek “Tilik” muncul sebagai penghibur dan berhasil viral. Bacep Sumartono, penulis naskahnya berbagi proses kreatifnya di sini.
Siapa yang nggak kenal karakter bu Tedjo yang cas cis cus dan nyinyir luar biasa sampe jadi meme di medsos tahun 2020 lalu? Tokoh bu Tedjo ini adalah penggerak cerita di film pendek berjudul “Tilik” (2018) yang viral dan dibicarakan banyak orang saat negara kita mulai disapu Covid di awal tahun 2020 dan kita banyak yang ‘terpasung’ di rumah.
Film ini plotnya simpel aja: ada serombongan ibu-ibu yang naik truk buat nengok seorang perempuan di desa mereka yang sedang dirawat di rumah sakit. Perjalanan mereka ke RS diwarnai dialog-dialog menggelitik khas ibu-ibu perdesaan di Yogyakarta dalam bahasa Jawa sepenuhnya. Sekilas seperti ibu-ibu yang menggunjing tapi di dalamnya banyak kalimat yang menohok buat para penontonnya. Dan inilah yang bikin “Tilik” melambung dan nama Bacep Sumartono dikenal sebagai penulis naskah yang piawai.
Bacep awalnya terlibat dalam film “Sultan Agung” besutan Hanung Bramantyo. Di situ ia bekerja sebagai periset budaya Jawa. Dalam menjalankan risetnya itu Bacep menjelajahi sebuah daerah bernama Cinomati dan kebetulan berhenti di sebuah tanjakan ekstrim.
“Saya lihat di depan saya sebuah mobil pickup penuh dengan ibu-ibu. Mereka tampak asyik aja saat macet dan ada satu yang turun dengan muka sumringah untuk mengganjal ban dengan batu. Saya heran kok dia bisa demikian tenang,” ungkap pria dengan pembawaan tenang tadi soal kejadian yang memantik ide film ‘Tilik’ dalam otaknya.
Sebelum menuangkan ide itu dalam bentuk naskah, Bacep bertemu dengan Wahyu Agung Prasetyo dari Ravacana Films. Ia memberitahu soal adanya dana pembuatan film dari Dinas Kebudayaan setempat.
“Mas Bacep ada ide nggak?” tanya Wahyu.
“Oh ada tapi film dokumenter tapi bisa kok ditransfer jadi fiksi,” jawab Bacep saat itu.
Dari pertemuan itulah, mereka bekerjasama menggarap ide soal ibu-ibu yang naik mobil pickup ini jadi film pendek.
Kalau biasanya ada yang menulis naskah sampe rampung baru memberi judul, Bacep lain. Di proses kreatif naskahnya, ia udah ada judul untuk film itu.
“Judulnya ‘Tilik’ ya, Gung,” tutur pria yang sebenarnya sudah mulai menekuni kepenulisan naskah sejak 2005 ini pada rekannya tadi.
Kata “tilik” sendiri adalah kata dalam bahasa Jawa yang artinya menjenguk seseorang yang sedang sakit, entah itu di rumah sakit atau di rumah orang tadi sendiri.
Menurut Bacep, kata ini menggelitik karena di masyarakat Indonesia sekarang terutama di Jawa juga sudah lebih banyak yang menggunakan kata “besuk” untuk aktivitas yang dimaksud ini. Cuma kata “besuk” ini serapan dari bahasa Belanda “bezoek”.
Untuk bahasa yang digunakan dalam naskahnya, Bacep secara sengaja memang memilih bahasa Jawa dengan dialek khas Dlingo, Yogyakarta karena dia ingin menonjolkan nuansa lokal. Dengan bahasa Indonesia, nuansa ini bakal kurang kental.
Begitu draft awal naskah “Tilik” rampung, Bacep mengajukannya ke Dinas Kebudayaan dan naskah itu dinyatakan lolos.
Proses selanjutnya adalah kurasi dalam Dinas Kebudayaan. Begitu dinyatakan masuk ke dalam daftar naskah final, mereka pun bisa menjalankan proses syuting filmnya.
“Karena saya kebetulan masih kerja di produksi film ‘Sultan Agung’ tadi, saya nggak bisa ikut mengawasi syuting ‘Tilik’, jadi kru Ravacana Films syuting sendiri tanpa kehadiran saya,” terang Bacep yang meski nggak bisa dateng tapi sempat merekomendasikan beberapa spot di Dlingo yang bagus untuk latar pengambilan gambar.
Sebagai penulis, Bacep mengaku dirinya tipe penulis naskah yang paham bahwa dunia dalam tulisannya dan dunia dalam imajinasi sutradara bisa berbeda.
“Saya sudah mengikhlaskan. Makanya saya bilang ke sutradaranya: ‘Silakan naskah saya diacak-acak. Itu kebebasan Anda sebagai sutradara.’ Pembagian tugasnya menurut saya sudah sepatutnya begitu,” tegasnya.
Bacep sendiri sering ditanya mengapa film ini sudah selesai tahun 2018 tapi baru diunggah ke YouTube tahun 2020. Ia menjawab: “Aturan dari Dinas Kebudayaan Yogyakarta untuk semua peserta yang difasilitasi oleh Dana Keistimewaan Yogyakarta itu menyatakan bahwa kami baru bisa upload karya setelah kontrak selesai. Dan kontrak itu umurnya 2 tahun. Itulah kenapa tahun 2020 baru kami bisa merilis film ini di YouTube.”
Selang beberapa hari setelah upload, Bacep terkejut karena jumlah penonton film pendeknya itu sudah mencapai angka jutaan.
Yang lucu, ponsel pintar Bacep sampai nge-hang karena saking banyaknya permintaan pertemanan, banyaknya panggilan telepon masuk, dan sebagainya.
“Nggak enaknya (dari viralnya film “Tilik”) ya saya harus ganti handphone,” ucapnya sambil disambut tawa dari para audiens Festival Cinta 2022 yang mengundang Bacep sebagai pembicara dalam salah satu sesinya pada tanggal 19 Februari 2022 lalu di Omah Petroek, Sleman, Yogyakarta.
Meskipun Bacep nggak hadir dalam proses syuting, ia menilai eksekusi naskahnya menjadi film oleh Ravacana Films sudah bagus. Bahkan menurutnya “jauh melebihi ekspektasi”.
“Mungkin karena mereka (kru dan para pemain di Ravacana Films) lebih muda dari saya jadi mereka lebih paham cara berkomunikasinya, tipe gambar, dan eksekusi seperti apa,” tuturnya lulusan D3 Komunikasi jurusan Periklanan UGM dan kelas ekstensi jurusan S1 Manajemen ini jujur.
Fakta unik dari proses Bacep menjadi seorang penulis naskah ialah dirinya justru belajar tentang bahasa pemrograman dulu sebelum menulis naskah film.
Ia belajar Visual Basic yang dulu dipakai untuk membuat animasi di web dan di sini ia menemukan adanya istilah-istilah yang di kemudian hari ia temukan juga dalam dunia sinema, misalnya “cast”, “timeline”, “sprite”, dan sebagainya.
Begitu ia tak lagi menggeluti dunia teknologi informasi, ia masih bisa membawa logika berpikir dalam software pembuatan website dan animasi itu dan menerapkannya dalam teknik menulis naskah.
Namun, sebelum menjadi penulis naskah, Bacep pertama kali bekerja sebagai seorang penata artistik.
“Tahun 2005, saya iseng ikut sayembara penulisan naskah drama panggung yang diadakan oleh Taman Budaya Yogyakarta,” kenang pria yang di media sosialnya sering menggunakan istilah ‘Crazy Rich Imogiri’ ini sebagai satir.
Meski ini drama panggung, ia menerapkan format skenario. Tak disangka ia jadi juara satu. Dari situ, ia beralih ke bidang penulisan film dengan menerima tawaran menulis naskah untuk sejumlah proyek film. Ia pun makin banyak belajar tentang konten audiovisual.
“Secara umum konten kreatif bisa dibagi 3: film naratif (cerita fiksi), film non-naratif (dokumenter), dan film eksperimental,” jelasnya.
Bacep pernah menggarap penulisan naskah film eksperimental. Uniknya di sini naskahnya bukan berupa skenario yang biasa dibuat tapi berupa puisi dan film ini tidak menggunakan aktor manusia. Jadi yang di dalam frame cuma benda-benda mati dan alam.
Bagi Bacep, penting untuk bertanya “Kita mau bikin film apa sih?” sebelum menulis naskah. Apakah film ini nantinya jenis naratif, non-naratif, atau eksperimental? Ini pertanyaan yang wajib dijawab dulu.
Meski sudah lumayan malang melintang di dunia film, Bacep mengaku jujur bahwa dirinya nggak begitu paham teori-teori penulisan naskah film Barat yang njlimet. Ia lebih menyukai logika menulis skenario berdasarkan bahasa pemrograman yang ia kenal lebih dulu dan pengetahuan bahasa Indonesia di masa ia duduk di bangku SMP dan SMA. Jadi ia gunakan formulasi anak sekolah seperti struktur 3 babak dalam pengerjaan.
Struktur 3 babak (pengenalan tokoh, konflik, dan resolusi) digunakan Bacep untuk menulis naskah “Tilik”.
Bagi Bacep, untuk nulis naskah yang menarik nggak perlu menerapkan teori atau metode penulisan naskah yang ‘ndakik’ atau rumit. Cukup yang sederhana tapi mengena di hati pemirsa.
“Nggak mereka-reka tapi memang proses saya sesederhana ini,” tukasnya saat ditanya sebagian orang yang merasa teori menulisnya kelewat sederhana.
Begitu “Tilik” viral di dunia maya, Bacep kebanjiran tanggapan dan pertanyaan.
Seorang ibu ada yang menghubunginya dan bertanya: ‘Mas, saya ingin anak saya jadi YouTuber. Ajarin dong!’
Terus terang Bacep bingung. Dia tanya balik kenapa memilih dia untuk mengajari anaknya. Si ibu menjawab karena film karyanya berhasil populer.
“Dan saya tanya lagi: ‘Memangnya niat anak ibu mau jadi YouTuber itu apa?’ Di situ si ibu nggak bisa jawab,” terang Bacep.
Pertanyaan kayak gini dia kerap temui di lapangan saat bertemu.
Satu asumsi yang Bacep ingin luruskan tentang kepopuleran di dunia maya ialah bahwa orang yang populer di dunia maya itu nggak selalu langsung jadi kaya raya.
“Banyak teman yang mengira saya langsung kaya raya setelah film ‘Tilik’ ditonton jutaan orang. Kenyataannya saya memang dapet duit dari situ, tapi nggak sekaya raya yang dikira orang-orang,” tuturnya.
Karena asumsi keliru inilah, Bacep malah tergelitik untuk memparodikan dirinya menjadi ‘Crazy Rich Imogiri’ di media sosial.
Bagi Bacep, niatnya berkarya bukan untuk menjadi kaya tapi ia berkarya untuk ibunya sebagai bentuk rasa terima kasihnya pada orang tua.
Dari niat tulus itu, ia memberi saran bagi si ibu tadi supaya nggak buru-buru mendorong anaknya menjadi YouTuber tapi memberikan kesempatan bagi anaknya untuk menemukan niatnya sendiri dalam berkarya seni dengan bimbingan Tuhan sebagaimana yang ia rasakan dalam proses kreatif film “Tilik” ini.
Pentingnya niat ini terbukti saat tahun lalu Bacep terkena penyakit jantung dan ambeien. Otomatis ia tak bisa banyak keluar rumah dan lebih sering tergolek di rumah.
“Saya masih ada tanggungan pekerjaan untuk diselesaikan. Ada skenario drama panggung, dan film pendek Dinas Kebudayaan juga. Saya menulis dengan posisi di tempat tidur dan laptop di atas meja,” kenangnya soal masa sakitnya.
Di momen itu, Bacep mengatakan inilah pentingnya memiliki niat yang tepat dalam berkarya. Dengan niat untuk berbakti pada orang tua tadi, ia merasa masih sanggup menulis padahal harus terbaring didera penyakit.
Bagi penulis naskah film, ada hal yang nggak kalah penting: riset. Ini hal selanjutnya bagi Bacep yang paling penting setelah niat berkarya dan belajar. Begitu riset sudah dilakukan, seseorang udah bisa nulis naskah film.
Dari draft pertama, skenario masih akan digodok lagi sampai bener-bener disetujui oleh produser, sutradara, dan penulis naskah sendiri.
Selanjutnya proses syuting bisa dimulai. Kemudian mereka akan bisa lanjut ke proses distribusi karya.
Dibandingkan era analog dulu, Bacep mengatakan teknologi digital saat ini sangat memudahkan proses distribusi karya.
“Bayangkan kalau masih harus mendistribusikan dengan pita seluloid yang mahal dan menuntut presisi yang tinggi. Dulu juga saya masih harus ngamen kalo mau mempromosikan film ke komunitas-komunitas baru bisa diputer. Kalau nggak, kita harus ikut festival-festival film,” kenangnya tentang masa-masa menjadi pekerja film tahun 2000-an. (*/)