Creative

PERIIBUMI AJAK GEN-Z UNTUK LEBIH MENGENAL DONGENG SEBELUM BERENCANA MENIKAH

Dongeng makin jarang ditemui saat ini. Periibumi, sebuah komunitas yang diinisiasi anak-anak sastra UGM, ingin membangkitkan kembali kebahagiaan dari dongeng.

title

FROYONION.COM - Periibumi—kalau kita cermati sebenarnya dibangun oleh tiga kata dasar, yakni periibu, dan umi. Tiga kata dasar ini merupakan awal dari sebuah tujuan yang ingin dibangun oleh komunitas bentukan anak-anak sastra UGM itu. 

Kata peri menyasar sesuatu yang fantasis dan sekaligus menjadi wakil dari semua keajaiban dari dongeng. Sementara itu, ibu dan umi adalah dua contoh yang mewakili setiap panggilan anak kepada ibunya.

Melalui hal mendasar itulah Periibumi bergerak untuk menyuarakan dongeng. Lahir di masa Covid, awalnya Periibumi menggagas Episode Dongeng, yang mana memberikan katalog dongeng digital dalam platform yang mereka buat. 

Namun, setelah waktu berjalan, mereka tidak hanya ingin memberikan dongeng mentah kepada para pembaca di media sosial. Tujuan yang berubah itu bermuara pada pentingnya kehadiran seorang teman atau sahabat untuk para ibu yang sejak masa Covid telah diisi oleh nama-nama dari generasi terkini.

Kita tahu, pada masa Covid kemarin dan menjelangnya, banyak yang menikah bukan? Angka kelahiran di masa pandemi pun ikut meningkat. 

Hal ini terutama diisi oleh keberanian generasi millenia dan gen-z untuk merayakan cinta bersama pasangan dan menjadi halal dalam pandangan agama. 

Tidak mengherankan apabila di masa sekarang banyak kita temui ibu muda yang harus merasakan kagetnya mengasuh anak. Periibumi pun mencoba hadir menemani ibu-ibu tersebut.

Banyaknya tontonan di YouTube, Netflix, Disney+dan banyak lainnya—yang seolah-olah ditujukan untuk mempermudah pengasuhan anak, justru menghadirkan pertanyaan lain. 

Bagi Khairani Fitri Kananda pertanyaan lain adalah “Apakah orang dewasa sudah berhenti bercerita kepada anak-anaknya?”, atau setidaknya para orang tua pencerita telah berkurang jumlahnya, sehingga akan lahir pertanyaan baru, “Kenapa ya orang dewasa udah gak mempercayai dongeng lagi?”

Bagi pendiri Periibumi yang akrab dipanggil Hani itu, segala percepatan teknologi dewasa ini justru menghadirkan kondisi di mana seseorang berat untuk merelakan waktunya, sebuah proses untuk mendidik anak dengan sebuah keluangan waktu melalui cerita dongeng. 

Dugaan Periibumi itu dipotret melalui kehidupan yang serba instan dan cepat oleh hadirnya beragam platform virtual. Hal itu sekaligus dipandang Periibumi sebagai indikator dongeng sebagai sesuatu yang muluk, yang tidak realistis, yang tidak menjamin kondisi happily ever after.

Kondisi ini melalui refleksi ilmu sosial sesungguhnya merekam kondisi mimpi dan kebahagiaan sebagai dua objek yang dapat dipercepat proses pemerolehannya. Orang dewasa yang memilih pandangan itu, tentunya menjadikan dongeng sebagai sesuatu yang tak perlu. 

Gue cukup miris ketika melihat data kualitatif yang ditangkap oleh Periibumi ini. Seolah-olah, dunia imajinatif telah benar-benar memudar. Padahal, kalau gue ingat-ingat lagi, orang seperti Einstein dan Edison adalah contoh dua manusia yang melahirkan sebuah inovasi melalui mimpi dan imajinasi.

Dongeng, dalam hal ini menjadi sebuah media yang coba digunakan oleh Periibumi untuk memunculkan inovasi-inovasi cemerlang seperti Kedua tokoh tersebut. 

Hani pun bercerita ke gue begini, “Kami memperkenalkan dongeng dengan konsep edukasi, inspirasi, dan imajinasi. Kami menawarkan dongeng-dongeng yang sarat dengan pengetahuan alam dan sosial, jadi anak-anak bisa sekalian belajar di sana.” 

Ilmu-ilmu itu adalah inspirasi yang melahirkan orang-orang hebat seperti Aristoteles atau Newton. Bahkan, kalau kita telisik lebih jauh lagi, semua manusia yang mampu memproduksi inovasi adalah orang-orang yang bersedia belajar, mengolah segala sesatu yang imajinatif.

Melalui pengetahuan dasar itu, Periibumi menargetkan lahirnya kedekatan anak-anak dengan orang tuanya. Dalam hal ini, Periibumi menawarkan metode dongeng yang kreatif melalui berbagai media yang sudah dimutakhirkan. 

Lebih dari itu, Periibumi sendiri menginovasikan beragam avatar di platform media sosial mereka untuk menjadi wakil dari kedekatan orang tua dan anak. 

Ruang virtual yang mereka buat ini sekaligus menjadi refleksi bagaimana dongeng di masa lalu telah diperbaharui, menjadi lebih dekat dengan zaman ini, sehingga orang tua pun bisa belajar mendongeng dengan segala kemajuan yang ada. 

Anak-anak yang diperdengarkan dongeng pun menjadi lebih interaktif dalam berhubungan sosial, baik dengan kedua orang tuanya, juga masyarakat luas. Nantinya, Periibumi berharap hal ini dapat menjadi pondasi bagi anak-anak generasi sekarang dalam menciptakan inovasi melalui mediasi dongeng.

Nah, kalau gue boleh cerita nih, Periibumi sendiri memproduksi peri secara kultural. Baru-baru ini, peri bernama Naraya dihadirkan oleh Periibumi. 

Dengan makna ‘harapan semua makhluk’, Peri Naraya memiliki tujuan untuk mengajak para ibu dan anak yang tergabung dalam kegiatan Periibumi ke berbagai ruang imajinasi. Disebut sebagai dunia ajaib, Peri Naraya akan berpetualang bersama dua tokoh kultural lain, yakni Bumi dan Putri

Unggahan pertama Peri Naraya adalah menggambar sederhana. Kali ini, peri imajiner itu mengajak anak-anak untuk belajar bagaimana menggambar karakter peri. Dimulai dengan lingkaran besar untuk kepala, lalu dua lingkaran kecil untuk kedua matanya. 

Akhirnya, setiap pengikut Periibumi yang melihat Peri Naraya pun diajak untuk menciptakan gelombang rambut sesuai dengan seleranya. Hal sesimpel ini ternyata bisa loh buat melatih cara berpikir anak, yang kemudian bisa disambungkan bagaimana seseorang mencipta inovasi di masa depannya. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Hamdan Mukafi

Selamanya penulis