Tari Denok bukanlah simbol yang mengakar lama di Semarang, namun tari tersebut hadir dengan menyerap perkembangan zaman melalui pondasi seni tari yang sudah ada sejak lama. Simbol budaya itu pun diabadikan di Kaliwiru, Kota Semarang, sebagai patung instalasi.
FROYONION.COM - Berlokasi di Bundaran Kaliwiru, tepat di pusat Kecamatan Candisari, Kota Semarang, sebuah patung dengan warna khas pesisir mampu mencuri pandangan para pengendara. Patung itu dinamai Penari Denok, dengan tidak memberi nama khusus pada patung tersebut, sebuah simbol yang sarat kesenian itu dapat diserap secara lebih luas oleh masyarakat. Lokasinya yang strategis membuatnya mudah untuk ditemui para pengendara, baik itu masyarakat lokal, hingga wisatawan yang keluar dan masuk Kota Semarang.
Kecamatan Candisari merupakan sebuah gapura simbolik yang membuka semua peradaban di Kota Semarang. Peradaban yang dimaksud adalah sentuhan peradaban Jawa realistik, Jawa pesisir, kebudayaan Arab, hingga pertemuan yang memunculkan pertumbuhan peradaban Tionghoa.
Kota Semarang pada masanya pernah menjadi sebuah daerah yang menyambut kedatangan seluruh pelayar dari luar Indonesia. Salah satu simbol pelayaran yang ditemukan dan diabadikan hingga saat ini adalah datangnya Sam Poo Kong. ia dikenal sebagai seorang Jenderal yang hendak mencari peradaban baru, terutama setelah pertikaian yang terjadi antara masyarakat China dengan Mongolia.
Sentuhan kebudayaan dari pelayaran Sam Poo Kong itu pulalah yang muncul sebagai eksotisme Tari Denok. Eksotisme yang dimaksud mulainya harus dirunut dari sejarah Ronggeng (terutama pemakaian kostum yang diserap Tari Denok) dan alat musik Gambang. Kedua unsur itu menjadi nilai yang tidak bisa dilepaskan dalam hasil kreasi Tari Denok.
Bintang Hanggoro Putra, pada tahun 1991, mengenalkan Tari Denok kepada masyarakat Kota Semarang dan membuat sentuhan kebudayaan yang ada ikut dalam arus kebudayaan yang dibawanya. Arus kebudayaan itu merupakan citra yang muncul dari nada-nada Gambang Semarang.
Gambang ini sendiri memiliki corak yang mirip dengan kapal yang digunakan oleh pasukan Sam Poo Kong. Untuk memperlihatkan nilai-nilai dari citra kebudayaan itu, sebuah patung Penari Denok pun dibuat di Bundaran Kaliwiru dengan sebuah konsep instalasi interaktif.
“Seni instalasi adalah sebuah bentuk kontemporer yang berusaha mendekatkan benda seni dengan masyarakat secara umum. Konsep instalasi sendiri membuat seolah-olah para pengunjung yang melihat karya seni bukan hanya menginderakan dengan penglihatan, tetapi juga ikut serta menyentuhnya, meskipun secara simbolik,” terang Sekar, pengamat budaya lulusan Universitas Gadjah Mada yang kini sedang aktif berkesenian di Semarang.
Ungkapan tersebut dekat dengan konsep Patung Penari Denok yang kini aktif menghibur masyarakat secara simbolis. Patung tersebut bisa bergerak selama tiga menit mengikuti dendang liris dari lagu Gambang Semarang.
Dengan didendangkannya lagu tersebut sentuhan kebudayaan Jawa realistik dengan Jawa Pesisir pun terjadi. Gambang yang didesain mirip dengan kapal pelayaran memiliki bunyi dan konstruksi nada seperti Saron dalam susunan kompleks sebuah set Gamelan.
Hanya saja, bunyi-bunyi Gambang mengalami pergeseran ritmis seolah menggantikan tiupan angin pada susunan nada. Tiupan angin itu muncul secara konkret dan sekaligus mendapat bantuan akustik dari alat musik lain.
Secara konkret bunyi gemerisik seperti tiupan angin ini diibaratkan sebagai embusan angin pantai. Embusan angin ini kemudian dipertegas oleh suara seruling yang tidak bisa dilepaskan dari kelengkapan set Gambang Semarangan.
Bunyi-bunyi semacam ini dipertajam pula oleh nada-nada keroncong dalam penadaan lirik lagu Gambang Semarang. Itulah yang membuat gambang berkerabat dengan saron, tetapi juga menjadi sebuah identitas tersendiri bagi masyarakat Kota Semarang.
Selain dari unsur alat musik dan lagu yang mengiringinya, warna kostum yang dipakai oleh Penari Denok juga perlu dibahas sebagai akulturasi kebudayaan. Pertama, warna hijau dari kebaya yang dipakai oleh Patung Penari Denok mendekatkan kebudayaan Jawa dengan Arab.
Kedekatan ini sebagai sebuah cara memperingkas anggapan dari masyarakat Arab yang berlayar ke Indonesia terhadap keagungan Indonesia. Keagungan ini bahkan diibaratkan sebagai tenggalan surga.
Emha Ainun Nadjib (akrab dipanggil Cak Nun) mengisahkan bagaimana Sunan Ampel (guru para sunan dan seorang penyebar agama Islam dari Arab) adalah orang pertama yang menganggap nusantara sebagai tenggalan surga.
Ungkapan itu kemudian dituliskan sebagai lirik lagu Ilir-Ilir yang dinyanyikan Sunan Kalijaga. Lirik tersebut sarat akan makna kemakmuran masyarakat Indonesia melalui ijo royo-royo dan tanggungjawab yang perlu dilakukan oleh masyarakat Indonesia terhadap ijo royo-royo tersebut.
Pertemuan kebudayaan ini menjadi simbol yang terlihat jelas dalam warna hijau kebaya para Penari Denok, yang kini muncul dalam simbol patung instalatif tersebut.
Selain warna hijau, pertemuan kebudayaan itu juga dimunculkan dalam kain jarik yang melingkungi bagian tubuh bawah Patung Penari Denok. Warna jarik yang dipakai berwarna merah yang mana menyimbolkan pertemuan kebudayaan Tionghoa dengan masyarakat Jawa.
Warna merah adalah salah satu simbol keberuntungan dari masyarakat Tionghoa. Warna tersebut juga menjadi salah satu warna fundamental yang bisa ditemukan di berbagai ornamen kebudayaan di Semarang. Tak ayal, jarik yang dipakai oleh Patung Penari Denok pun mendekatkan unsur akulturatif tersebut dengan nilai-nilai yang ada di Jawa Tengah, utamanya Semarang.
Melalui berbagai hal tersebut, Patung Penari Denok telah hadir sebagai simbol kebudayaan yang benar-benar milik Semarang, seperti jembatan gading di Sragen yang menyimbolkan penemuan peradaban purba. Semarang sebagai kota dengan berbagai kreasi menjadikan Patung Penari Denok ini sebagai nilai kreatif kebudayaan di Kota Semarang yang akan terus berkembang. (*/)