Martin Suryajaya berusaha mendobrak kemungkinan kolaborasi antara dunia sastra dengan AI. Hal ini berbuah manis dengan terciptanya buku berjudul Penyair sebagai Mesin dari eksperimennya terhadap korpus puisi-puisi asal penyair Indonesia.
FROYONION.COM - Martin Suryajaya yang dikenal sebagai penulis filsafat sekaligus kritikus sastra, kembali merilis karya buku terbarunya. Lewat buku Penyair sebagai Mesin, ia mencoba mendobrak dan mencari kemungkinan yang ada di dunia sastra Indonesia dengan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Peluncuran buku tersebut digelar di Atelir Ceremai, Rawamangun, Jakarta pada Sabtu (10/6/2023) pukul 19.00 WIB malam. Martin tidak sendiri. Pria berambut panjang ini ditemani oleh kawan-kawan sastra seperti Kelana Wisnu selaku peneliti, Gratiagusti Chananya Rompas selaku penyair, dan dimoderatori oleh Fena Basafiana selaku pembaca sastra.
Dengan konsep diskusi terbuka, acara ini begitu dinikmati muda-mudi pencinta sastra. Tampak pada susunan acara pertama, Gratiagusti Chananya Rompas atau disapa Anya Rompas memberikan tanggapan yang menggelitik dan menarik seputar buku Penyair sebagai Mesin.
“Buku ini bukan hanya manusia sebagai penyair tapi manusia sebagai copywriter. Topik di dalamnya juga sebenarnya pengulangan sejarah yang bikin gue inget sama budaya pop. Intinya, buku ini kasih gambaran soal AI tentang pengalaman itu apa? Feelings itu apa? Dan data yang bertebaran di buku ini apa?” jelas Anya.
Seolah masih penasaran dengan buku bersampul sosok penyair Chairil Anwar ini, Anya memberikan pernyataan bahwa buku tersebut ibarat petunjuk baru bagi perkembangan dunia sastra Indonesa yang ternyata dapat membantu seseorang mencari ide, gagasan, atau wawasan terbaru.
“Di bab 4 sampai bab 5, menurut gue, Martin menggambarkan penyair-penyair dengan segala ke-chaos-annya dalam menghadirkan sutau karya puisi hybrid. Bahkan, buku ini juga membantu kita dalam mencari ide sebuah campaign, atau gue sebagai copywriter di suatu agency untuk menurunkan a series of headlines dan gimana caranya gue harus me-mashup istilah-istilah kekinian,” pungkasnya.
Usai Anya, giliran Kelana memberikan kritik terhadap eksperimen yang dibuat oleh Martin. Sembari menampilkan salindia, buku yang tercipta dengan penggunaan beberapa model algoritma ini masih ditemui banyak bias dari data yang dikumpulkan.
“Meski Martin menginginkan mesin berlatih dengan bahasa Indonesia, namun ini bisa menjadi bias. Misalnya, Martin mengolah puisi lain memakai Bi-LSTM, tapi puisi Afrizal memakai RNN, maka hasilnya riskan jika disandingkan bersama. Bisa saja mesin dilatih memahami bahasa Indonesia, tapi sekali lagi memang bukan itu tujuan Martin,” terang Kelana.*
Sebelumnya, Kelana juga bereksperimen dengan alat ChatGPT yang tengah tenar. Namun, alat tersebut masih terdapat kelemahan dalam mengenali bunyi yang digunakan untuk pembuatan puisi. Tak lupa, ia merekomendasikan buku ini untuk dibaca penyandang disleksia karena dapat membantu mereka dalam berkarya.
“Saya coba tulis ke ChatGPT untuk menulis suatu puisi tapi hasilnya terbatas pada unsur pembentuk kata fonetik. Misalnya akhiran bunyi “-ng”, serta alat ini masih kebingungan dalam mengenali bunyi. Buku ini bagus untuk dibaca sebagai panduan bagi orang dengan disleksia karena sastra bukan hanya tempat orang jenius tapi membuka ruang demokratis sastra Indonesia,” timpalnya. **
BACA JUGA: KOMBINASI ANTARA ILUSTRASI DAN SASTRA DALAM BUKU ‘MENJELANG PETANG’
Lalu, bagaimana cerita di balik buku Penyair sebagai Mesin karya Martin Suryajaya? Jawabannya tidak jauh-jauh dari rasa simpati Martin untuk mendukung seluruh generasi dalam memaknai sejarah alternatif, khususnya tentang puisi-puisi lain dari penyair.
“Tujuan saya melatih AI dalam menulis puisi adalah untuk membantu melihat sejarah puisi alternatif. Mulai dari kemungkinan puisi-puisi lain dari seorang penyair, apa saja puisi-puisi yang laten dalam korpus seorang penyair, dan puisi-puisi yang tidak pernah dituliskan tapi mungkin dituliskan berdasarkan gaya penyair tersebut,” ucap Martin.
Menurutnya, menjaga sejarah alternatif di dunia sastra Indonesia juga sama pentingnya seperti ketika menjaga tradisi karena dengan ini ada banyak teka-teki yang bisa diungkap perihal kebangsaan, makna hidup, dan keberagaman sejarah yang kaya.
“Kenapa sejarah alternatif ini penting? Karena ini membuat kita bertanya ulang tentang tardisi, kebangsaan, dan makna hidup di tengah keberagaman sejarah personal yang beragam,” tegasnya.
Pada kesempatan ini, eksperimen yang ia lakukan di dalam buku Penyair sebagai Mesin akan membuat siapapun menjadi lebih rileks di tengah gempuran krisis klaim sejarah dan identitas. Tentunya juga dapat menerima perbedaan apapun latar belakangnya.
“Eksperimen ini membuat kita lebih rileks di hadapan klaim-klaim sejarah dan identitas, serta lebih bisa menerima perbedaan. Inilah inti dari pendidikan estetika yang ditawarkan dalam buku ini,” pungkasnya.
Martin mengawali proses kreatifnya dengan memindai semua data sastra yang dibutuhkan, kemudian melatih mesin dan menghasilkan semua puisi, hingga sampai tahap menulis kajian atas hasil eksperimennya dengan lama pengerjaan mencapai 2,5 bulan.
Alih-alih memanfaatkan ChatGPT dalam membuat percobaan sastranya, ia melatih sendiri mesin dengan dataset custom yang berasal dari puisi-puisi Indonesia melalui arsitektur deep learning berbasis RNN, LSTM, Bi-LSTM, dan attention-based model.
“ChatGPT tidak digunakan karena adanya keterbatasan data latihan, sehingga puisi yang dihasilkannya cenderung faktual, seperti reportase. Oleh karena itu saya melatih sendiri mesin dengan dataset custom, diambil secara spesifik dari puisi-puisi Indonesia. Saya menggunakan arsitektur deep learning berbasis RNN, LSTM, Bi-LSTM, dan attention-based model,” ujarnya.
Teks-teks seperti La Galigo, Negarakertagama, Hikayat Abdullah, kemudian teks-teks tradisi kebangsaan moderen seperti Madilog dan Risalah Sidang BPUPKI juga ia latih melalui mesin. Hasilnya adalah informasi seputar sejarah yang terus berubah setiap kali teks-teks itu dipindai ulang.
“Setiap kali teks-teks itu di-generate ulang, hasilnya sejarah yang terus berubah dan tidak lagi given atau fixed. Misalnya dalam eksperimen saya di buku tentang penulisan Risalah Sidang BPUPKI oleh mesin menghasilkan Indonesia yang tidak jadi merdeka karena tidak tercapai kesepakatan antar founding fathers,” tambah Martin.
Serupa dengan Martin, Kelana yang juga tertarik meneliti buku Penyair sebagai Mesin, bercerita bahwa eksperimennya lebih fokus terhadap korpus dari puisi karya Chairil Anwar sembari menjalankan pembelajaran mesin.
“Pertama saya memindai korpus Chairil Anwar. Kemudian saya membersihkan korpus tersebut, menghilangkan kata yang kurang signifikan untuk topic modeling, seperti menghilangkan konjungsi dan preposisi, serta beberapa kata yang berdiri tunggal dan tidak dikenali oleh NLTK bahasa Indonesia. Selanjutnya, saya menjalankan pembelajaran mesin,” ucap Kelana.
Lantas, apa ini waktu yang tepat bagi kemajuan sastra Indonesia untuk beradaptasi dengan AI? Jawaban menarik dari Martin adalah adanya relevansi atau keterkaitan antara puisi, penyair, dan seniman secara umum terhadap AI yang bisa memberikan prediksi berdasarkan sumber karya sastra di masa kini.
“Puisi, penyair, dan seniman secara umum menurut saya masih relevan di era AI ini. Apa yang dilakukan AI dalam bahasa adalah next word prediction berdasarkan korpus teks tempat ia dilatih,” jelas Martin.
Terakhir, ia mengatakan jika banyaknya tanggapan negatif terhadap keberadaan AI yang diprediksi menggantikan posisi manusia khususnya penyair malah akan menjadi lawan yang baik karena masing-masing punya karakteristik dan keunggulan tersendiri.
“Buat penyair, ini bisa jadi sparring partner yang baik. Mesin bisa menghasilkan susunan kata puitis yg nggak terpikir sebelumnya oleh penyair. Jadi penyair dan seniman ngga perlu takut sama AI. Justru AI bisa jadi baseline yang baru bagi kegilaan kreatif kita. Kalau AI aja bisa gini, masa kita bikin karya yang biasa-biasa aja?” ujarnya saat diwawancarai. (*/)
*) Telah disunting 19 Juni 2023 sesuai perbaikan dari penulis
**) Telah disunting 19 Juni 2023 sesuai perbaikan dari penulis
BACA JUGA: MARAKNYA PENGGUNAAN ARTIFICIAL INTELLIGENCE (AI), BAKAL JADI ANCAMAN BAGI PEKERJA KREATIF?